Idul Adha dan Meningkatkan Ketakwaan, Kata Haedar
Saat Idul Adha, umat Islam disyariatkan untuk menunaikan salat Ied di tanah lapang sesuai Sunnah Rasulullah SAW. Selain itu, untuk orang yang lapang pada momen idul adha, disyariatkan untuk menunaikan ibadah kurban.
Idul Adha dalam makna menunaikan salat ied maupun juga Idul Adha yang kita kaitkan dengan ibadah kurban, memiliki makna udyah dan kurban. Udyah atau adha yakni hari penyembelihan dan kurban punya makna mendekatkan.
“Karena itu baik dalam menunaikan salat ataupun berkurban, setiap Muslim harus semakin dekat kepada Allah SWT, dan berkurban berkhidmat dalam mengaktualisasikan ibadah itu dalam kehidupan sehari-hari,” tutur Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Haedar Nashir, dalam keterangan diterima ngopibareng.id, Sabtu 10 Agustus 2019.
Ketika seseorang atau sahibul kurban berkurban, lanjut Haedar, sesungguhnya bukan hanya tentang penyembelihan, tetapi makna di balik itu adalah jiwa berkorban untuk meraih takwa.
Haedar juga menceritakan, bahwa ibadah kurban dalam sejarah terkait dengan dua peristiwa, yang pertama Habil dan Qabil putra Adam yang satu sama lain berkurban, yang Habil diterima dan Qabil ditolak. Pada surah Al-maidah ayat 27, peristiwa itu menunjukkan bahwa diterima atau tidak terimanya kurban tergantung pada takwa.
“Begitu juga dengan peristiwa Nabi Ibrahim dan Ismail, menunjukkan bahwa peristiwa kurban itu tentang kualitas dan tingkat ketakwaan. Pada Al Hajj ayat 37 Allah berfirman, bahwa bagi Allah siapapun yang berkurban tidak akan sampai darah dan dagingnya kepada Allah, tapi yang sampai pada Allah adalah takwa,” jelas Haedar.
Sehingga ketika kita menunaikan kurban dan idul adha, kita perkokoh jiwa ketakwaan yakni senantiasa menjalankan perintah Allah SWT dan menjauhi larangannya. Serta diaktualisasikan dalam kehidupan sehari-hari untuk bermuamalah sebaik-baiknya.
Dari ibadah kurban maupun idul adha, Haedar menurutkan ada beberapa hal yang harus menjadi pembelajaran, pertama, buah dari ketakwaan harus mampu membangun kesalehan.
“Orang yang saleh, yang jiwa dan pikiran, sikap dan tindakannya betul-betul bersih menunjukkan tauhid kepada Allah SWT yang otentik. Orang yang saleh dia akan menjadi orang religius yang habluminannas dan habluminallah sama-sama kuat,” ucap Haedar.
Orang yang bertakwa akan berbuat islah dan tidak fasad. Orang yang saleh, dia akan membangun perbuatan baik, toleran, damai dan segala bentuk kebaikan. Serta menjauhi hal-hal buruk, sehingga kesalehan itu berbuah menjadi rahmatan Lil alamin.
Kedua, dari ibadah kurban, kita diajari untuk taawun yakni berkurban untuk sesama.
“Kita belajar dari keluarga Nabi Ibrahim, melalui mimpi, mereka bertiga bersedia berkurban walaupun digantikan oleh hewan. Jika kita masih berkebaratan hati untuk berkurban, berarti ketakwaan kita masih harus diasah,” imbuh Haedar.
Kemudian, orang yang berkurban harus membagikan daging hewan kurban, bagi Haedar itu bermakna bahwa setiap Muslim dengan ketakwaannya harus mau berbagi dan peduli bagi mereka yang membutuhkan.
“Boleh jadi, masih banyak saudara kita yang masih belum ada rezeki untuk memakan daging, itu lah inti dari berbagai. Kemudian makna lebih jauh, bahwa berkurban kita juga harus belajar untuk menyembelih hawa nafsu kita yang terlalu cinta dunia. Ketika kita berbagi pada sesama, kita telah membebaskan kita dari nafsu dunia yang mengikat.
"Ketika Muslim melalui ibadah kurban dan lainnya, peduli pada sesama, jiwa silaturahim akan tumbuh dengan sendirinya, dan itu bukan karena kepentingan lahiriah tapi karena jiwa takwa,” tutur Haedar.
Terakhir, Haedar mengatakan, tidak dikatakan seorang itu beriman ketika belum mencintai saudaranya.
“Dengan jiwa berkurban, yang ketiga, kita akan mewujudkan ukhuwah yang sejati bagi seluruh umat manusia dari berbagai agama dan golongan tanpa diskriminasi serta mengajarkan kita agar kita menjadi orang yang saling mengasihi sesama lain.
"Insya Allah ibadah idul adha dan kurban akan menjadikan kita orang peduli, mau berbagi dan merekat silaturrahim, ukhuwah dan persaudaraan secara tulus,” kata Haedar mengakhiri.