Idrus Marham Bebas dari LP Cipinang Usai 2 Tahun Penjara
Mantan Sekretaris Jenderal (Sekjen) Partai Golkar, Idrus Marham resmi bebas dari Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Kelas I Cipinang, Jakarta Timur. Pria 58 tahun itu bebas dari Lapas Cipinang, pada Jumat 11 September 2020. Ia hanya dipenjara 2 tahun karena dipotong satu tahun masa tahanan usai mengajukan kasasi.
"Bebas Murni 11 September 2020. (Idrus Marham) telah dibebaskan pagi ini, 11 September 2020 dari Lapas Kelas I Cipinang," kata Kabag Humas dan Publikasi Ditjen Pemasyarakatan Kemenkumham, Rika Aprianti, dikutip dari Antara.
Idrus Marham merupakan terpidana kasus suap terkait proyek Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Riau-1. Mantan Menteri Sosial era Kabinet Kerja itu terbukti bersalah menerima suap dari pengusaha Johanes Kotjo terkait proyek PLTU Riau-1.
Awalnya, Idrus Marham divonis tiga tahun penjara dan denda Rp150 juta subsidair dua bulan kurungan di tingkat pertama atau Pengadilan Tipikor Jakarta. Hakim Pengadilan Tipikor menjatuhkan vonis karena Idrus Marham terbukti bersalah karena menerima suap terkait proyek PLTU Riau-1 bersama-sama Eni Maulani Saragih.
Kemudian, Idrus Marham melalui pengacaranya mengajukan banding. Namun di Pengadilan Tinggi DKI, pria kelahiran 14 Agustus 1962 itu justru diperberat hukumannya menjadi 5 tahun penjara, pada 9 Juli 2019. Lantas, Idrus Marham mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA) dan dikabulkan.
Mahkamah Agung memangkas masa hukuman Idrus Marham menjadi dua tahun penjara, yang semula lima tahun. Hukuman itu diputus oleh Ketua Majelis Hakim Suhadi dan dua Hakim Anggota, Krisna Harahap serta Abdul Latief pada 2 Desember 2019.
"Lama Pidana 2 tahun, berdasarkan Putusan Mahkamah Agung RI pada tingkat Kasasi, tanggal 2 Desember 2019, nomor 3681 K/PID. SUS/2019. Denda Rp50 juta, sudah dibayarkan pada tanggal 3 September 2020," beber Rika Aprianti.
Dalam pertimbangannya, Majelis Hakim Agung berpendapat bahwa Idrus Marham lebih tepat diterapkan dengan Pasal 11 Undang-Undang Tipikor. Sebab, Idrus Marham dianggap telah menggunakan pengaruh kekuasaannya sebagai Pelaksana tugas (Plt) Ketua Umum Golkar untuk mengetahui perkembangan proyek tersebut melalui bekas Wakil Ketua Komisi VII Eni Maulani Saragih.