Ide Redenominasi Rupiah Bergulir Lagi, Ini yang Harus Dikaji
MENTERI Keuangan Sri Mulyani Indrawati bilang jika Presiden Joko Widodo minta rencana rewdenominasi alias penyederhanaan nilai mata uang rupiah dikaji mendalam lagi. Bahas dulu sisi sosial, sisi politik, dan sisi ekonominya.
Perintah presiden itu muncul setelah Bank Indonesia mengajukan pembahasan RUU Redenominasi. Langkah BI ini sebetulnya merupakan lanjutan dari rencana sama yang sudah munsul sejak era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, 2013 lalu.
Lantas mengapa redenominasi perlu dikaji dari berbagai sisi lagi? Kata Sri Mulyani nih, Presiden tak ingin rencana tersebut menimbulkan persepsi negatif di masyarakat. "Jangan sampai disalahartikan dan jangan sampai menjadi persoalan yang tidak produktif bagi ekonomi kita,'' tuturnya.
Redenominasi adalah penyederhanaan nilai mata uang menjadi lebih kecil tanpa mengubah nilai tukarnya. Dengan redenominasi, maka satuan yang baru menggantikan satuan yang lama dengan sejumlah angka tertentu dari satuan lama yang dikonversi menjadi satuan baru. Prosedurnya dengan menghilangkan jumlah nol dalam mata uang.
Misalnya, satuan mata uang rupiah tertinggi di Indonesia sekarang adalah Rp 100.000. Jika dilakukan redenominasi dengan menghilangkan tiga nol di belakangnya, maka Rp 100.000 menjadi Rp 100. Dengan demikian, nilai tukar atas kurs lain juga menjadi kecil angkanya.
Dalam masyarakat, praktik redenominasi ini sebetulnya sudah berjalan. Cobalah pergi ke sejumlah toko dan minimarket. Mereka sudah banyak yang memasang harga dengan mengurangi angka nol dalam rupiah. Biasanya diganti dengan huruf "k". Misalnya, 10 ribu ditulis dengan 10 K. Begitu seterusnya.
Memang, mata uang yang mempunyai nilai rendah memberi kesan ada masalah ekonomi kita. Dan memang, negara-negara yang bermasalah secara ekonomi, nilai tukar mata uangnya rendah. Zimbabwe, misalnya. Pada umumnya, nilai tukar mata uang yang rendah bersumber dari adanya inflasi yang berkepanjangan.
Berdasarkan penelusuran Ngopibareng.id, sejumlah negara telah sukses dan ekonominya menjadi lebih baik setelah melakukan redenominasi. Misalnya, Turki dan Yaman. Saat Yaman Selatan dan Yaman Utara disatukan, terjadi inflasi yang luar biasa. Nilai tukar mata uangnya ambrol. Mereka lalu melakukan redenominasi tahun 1990 dan berhasil.
Lalu kenapa Indonesia perlu melakukan redenominasi saat ini? Sebab, uang pecahan kita terbesar saat ini merupakan pecahan terbesar kedua di dunia setelah mata uang Dong Vietnam yang mencetak pecahan 500.000. Ini tanpa menghitung Zimbabwe yang pernah mencetak pecahan 100 triliun dolar Zimbabwe dalam 1 lembar mata uang.
Pecahan rupiah yang selalu besar juga menimbulkan ketidakefisienan dalam bertransaksi. Diperlukan waktu banyak untuk mencatat, menghitung, dan membawa uang. Jadi membuat transaksi ekonomi tidak efisien.
Nilai tukar rupiah yang rendah atas Dolar AS dan Euro bisa menimbulkan keresahan. Padahal, fundamental ekonomi kita baik. Kekuatan mata uang rupiah relatif stabil, cadangan devisa aman, inflasi terjaga, investasi tidak ada persoalan, dan kinerja ekonomi baik.
Selain redenominasi penting untuk kesetaraan ekonomi Indonesia dengan kawasan Asean, juga diperlukan guna menghilangkan kesan bahwa nilai nominal uang yang terlalu besar seolah-olah mencerminkan bahwa pada masa lalu kita pernah mengalami inflasi yang tinggi atau pernah mengalami kondisi fundamental ekonomi yang kurang baik.
Redenominasi itu tidak sama dengan sanering. Yang disebut terakhir adalah pemotongan nilai uang sehingga terjadi penurunan daya beli masyarakat. Kebijakan ini biasanya dilakukan dalam kondisi perekonomian yang tidak sehat. Indonesia pernah melakukan sanering tahun 1966 atau di jaman pemerintahan Soekarno.
Redenominasi bukan pemotongan uang atau revaluasi rupiah terhadap valuta asing. Tapi semata-mata penyederhanaan bilangan atau hitungan. Karena itu, RUU Redenominasi rupiah yang sedang disiapkan BI juga sangat sederhana: hanya 17 pasal.
Lantas mengapa Presiden Jokowi masih minta dikaji lagi jika redenominasi lebih menguntungkan perekonomian Indonesia? Tampaknya, presiden hanya ingin lebih hati-hati. Jangan sampai kebijakan tersebut menciptakan persepsi negatif masyarakat dan tidak produktif bagi perekonomian kita.
Namun, proses redenominasi membutuhkan waktu penyesuaian yang lama. Untuk menyedot uang lama yang beredar diperkirakan perlu waktu lima tahun. Kita bisa membayangkan, tahu pertama kita sudah punya dua jenis mata uang. Pasti banyak yang lebih suka mengunakan hasil redenominasi.
Saat itu, kita akan bisa berbangga. Sebab, USD 1 hanya sama Rp 13 jika per dollar Rp 13.000. (Azhari)