Idaman Bakul Kopi
Idaman para bakul kopi di dunia ini tidaklah banyak. Yang tak banyak itu, kalau disaring-saring lagi, paling ketemunya hanya tinggal satu atau dua di urutan teratas.
Urutan pertama jelas, kopi laris manis. Laku terjual. Sold out. Urutan kedua, adalah masalah tempat. Tempat miliki daya dukung luar biasa agar kopi mampu menggelinding laris manis. Tempat representatif, mudah dijangkau, parkir luas, view bagus, adalah "undangan" mengiurkan untuk para coffee lovers.
Kopi, sebagai bahan baku utama, relatif mudah dicari. Sudah banyak di zaman now ini orang beralih profesi sebagai suplier kopi. Dari yang kecil-kecilan hingga yang partai raksasa.
Malah, kini, hanya perlu pencet tombol hape sedikit, kopi sudah mak cling sampai di tempat. Seperti sulapan, seperti iklan rokok yang sangat terkenal itu, "saya beri tiga permintaan", cling apa yang diinginkan sudah ada di depan mata.
Tempat, sebagai daya dukung utama untuk jualan kopi, susah dicari. Sebab, tak semua tempat cocok untuk jual kopi. Tempat itu magnitut. Tempat itu punya ruh. Tempat itu bagian senyawa dalam kopi.
Makelar tempat sih banyak. Tapi makelar capainnya adalah laku, adalah fee, adalah persenan, adalah ceperan. Makelar tidak menghitung ruh, tidak menghitung senyawa. Kalau pun mampu menghitung magnitut cantolannya adalah tempat cepat laku disewa atau dibeli, lalu datang persenan dong...
Balai Pemuda, di Surabaya, adalah idaman banyak orang. Sebuah tempat yang memiliki ruh. Tempat yang "bernyawa". Tempat yang memiliki magnitut. Lokasinya di tengah. Persis di jantung Kota Surabaya.
Tempat itu, dulu, menjadi bagian dari Jalan Pemuda. Nomor pengenalnya adalah 15. Jadi kalau menyebut Jalan Pemuda 15, ya Balai Pemuda itu. Namun, bertahun lalu, Jalan Pemuda berganti nama menjadi Jalan Gubernur Suryo.
Memang, tak ada selamatan, tak ada bancakan saat pergantian nama itu. Toh semuanya menggelinding seperti apa adanya. Para tukang pos, para ekspedisi pengantar paket, para tukang taxi, dan terakhir para tukang ojeg seperti otomatis juga menggunakan pengenal Balai Pemuda adalah Jalan Gubernur Suryo.
Tempat ini strategisnya bukan main. Sebelah kanan persis adalah Grahadi Jawa Timur, tempat Gubernur Jawa Timur memiliki acara-acara penting disana. Di seberang Grahadi ada patung Pahlawan Gubernur Suryo berikut tamannya. Kanan Grahadi ada Hotel Simpang, lalu mal legendaris di Surabaya, Tunjungan Plaza. Berikutnya, adalah pusat bisnis Surabaya bagian tengah.
Di dalam Balai Pemuda, menghadap ke Jalan Yos Sudarso ada Gedung DPRD Surabaya. Seberangnya DPRD ada hotel bintang lima Garden Palace. Kiri sedikit gedung DPRD kota adalah Sungai legendaris, Kali Mas. Lalu gedung penting milik Angkatan Laut, biasa digunakan Panglima Armada Timur untuk menjamu tamu penting. Kanan lagi sedikit, adalah Balai Kota Surabaya. Tempat berkantor sang Walikota Surabaya. Sepuluh langkah dari situ, ada rumah dinas Walikota, juga wakil Walikotanya.
Tempat sepenting itu jelas membuat ngiler siapa saja. Makelar juga ngiler. Tak terkecuali para bakul kopi. Andaikan bisa bermimpi, lalu menyulapnya tempat itu menjadi area tempat ngopi, pasti dunia kopi akan berdenyut lebih dari biasanya.
Tak hanya orang datang untuk ngopi plus menikmati keindahan kota, tetapi juga akan mampu membuat kopi menjadi subyek dari kopi sendiri. Kopi akan menjadi makin asyik, dan boleh jadi akan menjadi kenyataan dari impian Pak Presiden Joko Widodo agar kopi Indonesia tidak melulu lari ke luar negeri.
Lalu, lha yo apa mungkin Balai Pemuda dijadikan tempat subyek untuk kopi? Jawabnya cekak saja, mustahil tujuh turunan! Jangankan kok kopi, yang lebih monumental saja dipepet-pepet agar hengkang dari Balai Pemuda kok.
Merunut sejarahnya, kompleks Balai Pemuda itu, diberikan kepada para muda untuk memberi warna kepada wajah kota yang beranjak menjadi metropolitan. Tempat itu menjadi wacana dan representasi dari seni budaya di Kota Surabaya.
Terakhir malah lebih mengerikan, masjid yang berada di kompleks itu juga dibongkar. Dibekas masjid akan dibangun perluasan gedung dewan kota hingga tujuh lantai tingginya. Pembongkaran dilakukan meski belum jelas masjid itu akan menjadi apa di belakang hari.
Maka tak salah ketika para seniman, dimotori Sanggar Merah Putih, Minggu 3 Desember 2017, membuat sebuah gerakan dengan melukis bersama di Komplek Balai Pemuda. Hari itu selesai dan langsung dilanjutkan dengan pameran bersama hasil lukisan hari itu. Hari itu juga! Taglinenya pun sungguh menggugah, #savebalaipemuda.
Idaman bakul kopi itu lagi-lagi tak banyak. Mungkin juga para seniman. Mungkin juga pegiat akselerasi kota yang lain. Bakul kopi hanya butuh tempat yang bernyawa lalu menyuguhkan kopi yang dari kualitas baik. Tapi kalau idaman itu sampai mengganggu akselari denyut sebuah kota, rasanya kok juga ndak pantes untuk berngotot-ngotot ria. Walaupun, meskipun, idaman itu munculnya baru terbetik dari mimpi.
Kalau yang para bakul kopi saja memiliki kesadaran seperti ini sejak dari mimpi, lha mestinya para dewan kota yang pintar-pintar itu, plus gedungnya sudah bercokol di tempat itu yang konon bukan peruntukannya, yang sejatinya juga menggangu pandangan, yang sejatinya juga wakil dari para bakul kopi, mengapa harus memperlihatkan kekuatan kedewanannya untuk menjadikan Balai Pemuda tidak save? Ah, atau, jangan-jangan ada makelar golek persenan main petak umpet disana.