Ichlasul Amal (3): Berkah Amaliyah Seorang Guru
Oleh: Himawan Bayu Patriadi, PhD.
*) Dosen Hubungan Internasional, Universitas Jember
Bahwa ilmu seorang guru melipat waktu, semua orang nyaris setuju. Tapi, tentang pengaruh pribadinya yang melintasi masa, kadang, orang tak menduga. Henry Brooks Adams meracik ungkapan apik: “A teacher affects eternity; he can never tell where his influence stops”. Makna mendalam untaian kata ini, saya rasakan dari pribadi Pak Ichlasul Amal (Profesor, MA., PhD.). Maklum, selain guru untuk menimba ilmu, bagi saya, Pak Amal juga mentor dalam banyak hal.
Kenal pertama kali tak lama setelah kepulangannya dari studi PhD di Australia. Momen ini terjadi, kala International Relations English Club (IREC), salah satu unit kegiatan di bawah Korps Mahasiswa Hubungan Internasional (KOMAHI), FISIPOL–UGM; dalam perhelatannya mengundang Pak Amal dan Pak Amien Rais. Meski melibatkan dosen yang baru pulang dari studi di luar negeri, suasana acara begitu cair. Bahkan, Pak Amal sempat di-gojlog Pak Amien: “Dari segi angkatan, saya dan Amal sebaya. Tapi, untuk studi ke luar negeri (USA), saya lebih dulu pergi; karena skor TOEFL saya 10 point lebih tinggi”. Tak ada sakit hati. Yang ada hanya derai tawa. Dengan senyum yang khas, Pak Amal pun larut di dalamnya. Tercatat kemudian, pada tahun 1974, keduanya sama-sama meraih Master degree dari dua universitas yang berbeda. Pak Amal meraihnya dari Northern Illinois University (NIU), De Kalb, sedangkan Pak Amien mendapatkannya dari University of Notre Dame, Indiana, USA. Dari acara IREC itulah, perkenalan saya dengan Pak Amal bermula.
Namun, perkenalan segera berubah menjadi keakraban. Perubahan ini terjadi ketika Pak Amal memerlukan asisten dosen. Almarhum Pak Jahya A. Muhaimin (Profesor, PhD.; mantan Mendiknas), yang telah mengangkat saya menjadi asisten beliau untuk mengajar mata kuliah pada semester yang berbeda, menyodorkan nama saya ke Pak Amal. Berkat rekomendasi Pak Jahya, diperkuat dengan SK Rektor UGM, saya akhirnya juga ditugaskan membantu Pak Amal mengajar mata kuliah “Kekuatan-Kekuatan Politik Indonesia”. Tak pelak, tugas akademis ini ikut merajut keakraban pribadi.
Sekian banyak atribut melekat pada pribadi Pak Amal. Salah satunya, adalah sifat egaliternya. Setiap awal semester, saya diminta datang ke rumahnya. Agendanya, merancang perkuliahan, lengkap dengan referensinya. Keluh kesahnya sempat terungkap tentang bukunya yang lenyap, menyusul kepulangannya dari studi PhD di Australia. “Sekian koli buku yang saya kirim dari Melbourne tak pernah nyampai ke saya, entah nyasar kemana!,” ungkapnya. Saya jadi faham mengapa saya sering ditugaskan mencari referensi yang diperlukan. Biasanya, perjumpaan terjadi di teras rumahnya nan asri. Di setiap perbincangan, nyaris tak ada hegemoni. Yang menonjol justru diskusi. Dikenal sebagai pengamat politik yang kritis dan tajam, dalam setiap diskusi dengannya sifat itu juga saya rasakan. Setiap saya menyodorkan referensi, baik buku maupun artikel di jurnal, selalu ditanya apa alasannya. Tujuannya, menguji kekuatan analisa dan argumennya. Jelas, beliau selalu menginginkan sumber bacaan perkuliahan yang kredibel.
Sifat egaliter Pak Amal tercermin juga dalam sikap dan perlakuannya terhadap asistennya. Suatu waktu, saat perkuliahan, Pak Amal ‘terlambat’ datang. Melihat mahasiswa yang mulai gelisah, saya berinisiatif memulai kuliah, sesuai tema yang sudah direncanakan. Sekitar seperempat jam kemudian, Pak Amal datang. Saya pun bertanya kepadanya: “Apakah Pak Amal akan meneruskan perkuliahan?”. Dengan lugas beliau menjawab: “Tidak! Sudah, kamu lanjutkan saja!”. Yang menarik, sampai perkuliahan berakhir beliau tetap setia duduk di deretan bangku belakang, berjejer dengan mahasiswa. Dari wajahnya, nampak beliau mencermati saya mengajar. Tak ada komentar atau interupsi yang diajukan selama perkuliahan berlangsung. Tapi, setelah kuliah, di ruangannya, beliau secara kritis memberi masukan, baik tentang substansi perkuliahan maupun dalam metode pengajaran. Baru saya tersadar, keterlambatannya nampaknya disengaja. Tujuannya, memberi kesempatan pada saya untuk memberi perkuliahan, sehingga bisa memberikan evaluasi dari apa yang telah saya lakukan. Evaluasi ini merupakan salah satu pengalaman akademis yang sangat berharga, yang pernah saya dapatkan.
Atribut lain, yang tak diketahui semua orang, adalah jiwa seni Pak Amal dilengkapi dengan sifatnya yang jeli, telaten, dan teliti. Karakternya ini dapat dilihat dari atensinya, baik terhadap persoalan besar sampai masalah yang kecil. Pak Mohtar Mas’oed (Profesor, MA., PhD.), dengan nada retoris, pernah berkata pada saya: “Lihat, apa yang di FISIPOL [UGM] tidak diubah oleh Pak Amal. Semua [sentuhannya] ada unsur seninya!”. Memang, tak bisa dipungkiri, sejak Pak Amal menjabat Dekan, secara fisik FISIPOL berubah drastis. Selain penataan gedungnya, tampilan wajahnya juga tertoreh sentuhan jiwa seninya.
Ungkapan Pak Mohtar di atas, mengingatkan saya pada ketelitian Pak Amal lainnya, yakni tentang akses perpustakaan. Kala itu, mahasiswa tak boleh masuk ruang koleksi buku dan jurnal. Yang bisa dilakukan hanya mencari kodenya di rak katalog di luar resepsionis; kemudian menyerahkannya ke petugas untuk dicarikan. Mendapati mekanisme ini, saat berbincang dengan saya, Pak Amal bilang: “Mekanisme seperti itu membatasi mahasiswa mengekplorasi referensi. Padahal, jika dibolehkan masuk, mereka bisa leluasa untuk menemukan referensi lain yang berkaitan dengan referensi utama yang dicarinya!”. Berkat binaan Pak Amal, akses perpustakaan berubah menjadi terbuka. Mahasiswa bebas masuk mencari sendiri referensi yang diperlukannya. Saya sendiri ikut merasakan manfaatnya. Dalam koleksi perpustakaan, saya menemukan artikel Pak Moeljarto Tjokrowinoto (Profesor, MPA., PhD.) yang monumental. Diterbitkan oleh Jurnal Sospol, FISIPOL-UGM, tahun 1968; artikel ini memuat gagasannya tentang “Asas Tunggal Pancasila”. Saya sempat terkesima. Ternyata, Azas Tunggal Pancasila yang diadopsi Presiden Soeharto tahun 1985, ternyata, gagasannya sudah ditulis Pak Moeljarto 17 tahun sebelumnya.
Karakter Pak Amal yang jeli dan teliti, mungkin bawaan pribadi. Tapi, kedua karakternya ini bisa jadi juga terasah dalam perjalanan akademiknya. Secara akademik, Pak Amal merupakan salah satu mata rantai yang menghubungkan ilmuwan politik Indonesia dengan Indonesianist mancanegara. Disertasi PhD-nya di Monash University, Melbourne, Australia; bertajuk “Regional and Central Government in Indonesian Politics: West Sumatra and South Sulawesi, 1949-1979”, dibimbing oleh Profesor Herbert Feith; jebolan Cornell University dan murid dari Profesor George McTurnan Kahin, suhu Indonesianist yang tersohor. Dengan rantai akademik ini, tak mengherankan jika disertasi Pak Amal sangat diwarnai tradisi akademik Cornell University. Ciri utamanya, analisisnya dilandasi eksplanasi yang rinci dilengkapi dengan narasi yang kuat.
Tuntutan akan ekplanasi rinci dengan narasi kuat, merupakan tantangan tersendiri bagi Pak Amal dalam menyusun disertasi. Salah satunya, diperlukan data yang tidak sedikit. Masalahnya, kala fieldwork di Sumatera Barat (Sumbar) dan Sulawesi Selatan (Sulsel), informasi yang dibutuhkannya relatif minim. Dalam perjumpaan terakhir dengannya, tanggal 8 Nopember 2018, beliau cerita: “Kala itu (awal 1980-an), informasi tertulis di daerah (Sumbar dan Sulsel) sangat terbatas. Koran lokal sebagian besar isinya hanyalah copy berita dari koran nasional, sehingga untuk mendapatkan data tentang suatu masalah atau peristiwa secara detail perlu upaya keras untuk melacaknya!”. Saya sempat menyela: “Lalu, bagaimana Pak Amal mengatasinya?”. Beliau menjawab: “Ya, harus rajin tanya sana sini. Di sinilah passion seorang peneliti diuji, karena ia harus gigih untuk mendapatkan berbagai informan yang kredibel. Tapi, (sebelum terjun ke lapangan) saya terbantu oleh koleksi Herb (Herbert Feith). Ia generously mempersilahkan saya untuk membaca sekian kotak catatan (harian)-nya. Ternyata, Herb sangat rajin mencatat setiap peristiwa di Indonesia yang dianggapnya penting. Memang, catatannya tak selalu rapi, karena kadang hanya ditulis dalam sobekan kertas. Tapi, isinya cukup rinci. Bagi saya, sebagai peneliti, catatan Herb tersebut sangat berarti!”. Kadang, kita lupa bahwa karya akademik yang rapi tak jarang merupakan hasil perjuangan fieldwork yang penuh tantangan.
Studi Pak Amal di dua negara, USA dan Australia, bukan hanya menguntungkan dirinya, tapi juga berguna bagi sesama. Saya termasuk yang ikut merasakan manfaatnya. Kala mau apply beasiswa luar negeri, saya sowan guna memohon rekomendasi. Beliau tidak serta merta langsung membuat suratnya, tapi justru bertanya: “Kamu mau apply ke mana? Jika ke Australia, apalagi (programnya) by research, kamu tidak hanya cari universitas, tapi, yang lebih penting, juga perlu mencari ahli sebagai calon supervisor. Dulu, saya ke Monash (university) karena di situ ada Herb. Misal sekarang mau ke sana, secara akademik saya akan berat, sebab ahlinya sudah tiada, sedangkan Herb sendiri sudah pensiun!”. Berbekal arahan dan rekomendasinya ini, saya segera membuat proposal sebagai modal mencari supervisor. Saya beruntung, sekali kirim berkas, langsung mendapat tanggapan positif. Dr. Andrew McIntyre, dari Griffith University, Gold Coast; tertarik dan bersedia menjadi supervisor. Sayangnya, sebelum saya tiba, Andrew harus pindah ke Amerika. Namun, berbekal surat pengantarnya, saya berhasil meyakinkan Profesor Colin Brown di Flinders University, untuk bersedia menjadi supervisor guna mengambil MA (by research) di Flinders Asia Centre. Arahan Pak Amal benar-benar telah menjadi kompas jalan studi saya ke Australia.
Namun, yang mengharukan, nama Pak Amal ternyata juga password pemecah persoalan, sehingga saya terhindar dari kesulitan. Alkisah, menyusul lolosnya proposal MA thesis saya bertema komparasi Indonesia dan Thailand, dua agenda perlu segera diselesaikan. Pertama, menemukan lembaga yang bersedia menjadi host riset saya di Thailand. Ada info, bahwa Direktur Institute of Asian Studies (IAS), Chulalongkorn University, Bangkok, Dr. Withaya Sucharithanarugse adalah alumni Monash University. Saya bersurat kepadanya dengan gambling mencatut nama Pak Amal, siapa tahu Dr. Withaya juga kenal. Menariknya, Dr. Withaya langsung menerima saya sebagai Visiting research fellow di IAS. Penutup suratnya justru mengagetkan saya: “I will be pleased to meet Amal’s student. He is a good friend of mine”. Tak dinyana, nama Pak Amal bak sebuah mantra.
Kedua, saya harus segera mendapatkan visa untuk bisa masuk Thailand. Kebetulan, sebelum berangkat fieldwork ke Thailand, supervisor mendorong saya melakukan library research sekaligus wawancara dengan dua experts Thailand, Dr. Peter A. Jackson dan Profesor Craig Reynold di Australian National University (ANU), Canberra. Tujuannya, untuk enrichment proposal tesis MA. Hampir 1,5 bulan di Canberra, saya gunakan pula untuk mengurus visa ke Kedutaan Besar Thailand. Tapi, permohonan visa ditolak. Alasannya, untuk keperluan riset di Thailand, maka syaratnya saya harus mendapatkan clearence terlebih dahulu dari Lembaga Riset Nasional Thailand di Bangkok. Saya sempat gelisah. Dengan masalah visa ini keberangkatan saya ke Thailand jadi tidak pasti. Saya segera bersurat lagi ke Dr. Withaya, menceritakan problem yang saya hadapi. Yang mengherankan saya, responnya begitu cepat. Bahkan, surat balasannya dilampiri undangan resmi bagi saya untuk menjadi a guest researcher di institusinya. Penutupnya memuat arahan: “Please lodge this invitation to the Thai Embassy, you will easily get a visa”. Tak pelak, visa Thailand bisa saya dapatkan tanpa syarat clearance dari Bangkok terlebih dahulu. Tapi, tersisa sebuah teka-teki dalam hati: “Mengapa Dr. Withaya Sucharithanarugse begitu baik pada saya, bahkan ia berinisiatif untuk memberikan solusi bagi permasalahan visa saya?”. Sampai-sampai, supervisor saya menyempatkan menulis surat khusus kepadanya, guna berterima kasih atas generosity-nya.
Sepulang dari fieldwork di Thailand, saya mampir ke Yogya. Tujuannya, menemui Pak Amal guna menyampaikan ‘pengakuan dosa’ atas pencatutan namanya, sembari cerita tentang kebaikan Dr. Withaya Sucharithanarugse. Diiringi senyum khas-nya yang renyah, Pak Amal berkata datar: “Sejauh memberi manfaat, silahkan saja mencatut nama saya. Apalagi, Withaya adalah teman baik saya. Saat penelitian lapangan di Klaten (Jawa Tengah) untuk penyusunan disertasi-nya, saya juga banyak membantunya”. Mendengar penjelasannya ini saya terdiam. Pasalnya, teka-teki seputar kebaikan Dr. Withaya mendadak terkuak. Dalam hati saya bergumam, dari Pak Amal ternyata saya bukan hanya mendapat ilmu, tetapi juga merasakan berkah amaliyah seorang Guru. Pak Amal memang tak tergantikan, karena sosoknya merupakan produk dari jamannya. Tapi, pemikiran, karya, dedikasi, dan kepeduliannya akan tetap relevan; sebagai inspirasi bagi generasi pengganti. Selamat jalan guru!
Allahummaghfirlahu warhamhu wa'afihi wa'fu'anhu….
Advertisement