Ichlasul Amal (2): Akademisi yang Berjiwa Aktifis
Oleh: Himawan Bayu Patriadi, PhD.
Apa yang menggerakkan perilaku seorang? Pertanyaan ini telah lama menjadi topik perbincangan akademik. Temuan saintifik menunjukkan: “People don’t act on information, they act on what they care most about”. Tapi, mengapa seseorang peduli, masih merupakan misteri. Penggalan frase ”what they care most about” menyiratkan bahwa kepedulian seseorang cenderung spesifik, karena terfokus pada bidang kehidupan tertentu. Padahal, secara faktual, terdapat sosok yang kepeduliannya melampaui sekat ranah kehidupan. Salah satunya, adalah Pak Ichlasul Amal.
Dalam obituari seri 1 (Ngopibareng, 24 Nopember 2024), telah dielaborasi bagaimana komitmen Pak Amal yang tinggi di bidang keagamaan dan sosial. Ternyata, jejak kepeduliannya juga tertancap kuat dalam ranah politik. Sejak awal menjabat Rektor UGM, beliau sudah bersinggungan arus politik yang menderas. Bahkan, bersamaan dengan pelantikannya sebagai Rektor UGM, mahasiswa sudah menyambutnya dengan berdemonstrasi. Tuntutannya, berdialog dengan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud)–Wiranto Arismunandar–yang baru saja melantiknya. Tujuannya, membincangkan reformasi ekonomi dan politik negara, menyusul krisis moneter yang mendera.
Yang menarik, sejak awal Pak Amal berani menunjukkan independesinya dalam politik. Ketika sebagian besar elite perguruan tinggi di Indonesia masih ragu, menunggu kejelasan kemana ‘arah angin politik nasional’ tertuju; beliau justru dengan tegas dan terbuka menyatakan dukungannya terhadap gerakan mahasiswa untuk reformasi. Tak ada persyaratan dukungan, apalagi pembatasan gerakan. Yang ada hanya sebuah pesan, mahasiswa perlu melakukan gerakan secara “efektif dan efisien”, agar tak mengganggu proses belajar-mengajar. Mantan Sekretaris Senat Mahasiswa (SEMA) FISIPOL-UGM, Andi Mallarangeng, menuangkan kenangan: “Yang bikin dia [Pak Amal] akan selalu diingat adalah ketika sebagai Rektor UGM mengumumkan dukungan terbuka terhadap Gerakan Reformasi yang dipelopori mahasiswa. Dia [merupakan] Rektor pertama yang melakukannya [mendukung gerakan mahasiswa] …”. Tak heran, jika ada yang kemudian menjulukinya sebagai 'Rektor Reformasi'.
Di bawah sistem Orde Baru yang represif, dukungan terbuka Pak Amal terhadap gerakan mahasiswa yang progresif, merupakan langkah yang impresif. Tapi, keputusannya ini bukanlah sikap tanpa argumentasi. Sebagai ilmuwan politik jebolan Northern Illinois University (NIU), DeKalb, USA; dan Monash University, Melbourne, Australia; langkahnya tak lepas dari analisa dan keyakinan politiknya. Menurutnya, gerakan mahasiswa mewakili aspirasi rakyat; sedangkan kanalisasi aspirasi terhambat karena institusi politik tak berfungsi dengan baik. Melalui wawancaranya dengan Kompas, 24 April 1998, pandangan Pak Amal tentang gerakan mahasiswa menjadi viral. "Jangankan berbuat yang riil, mengutarakan pendapat saja tidak. Maka jelas [semua lembaga politik yang ada] tidak bisa diharapkan. DPR tidak bisa, partai politik (parpol) tidak bisa, Golkar apalagi," tegasnya. Tak pelak, "Semua institusi politik sepertinya sudah buntu. Mahasiswa lalu menjadi harapan masyarakat, dan masyarakat kemudian melihat mahasiswa [sebagai penyalur aspirasi untuk reformasi]”, imbuh Pak Amal. Sebuah argumen yang rasional.
Dukungan Pak Amal terhadap gerakan mahasiswa bukan sebatas dukungan moral. Jejak aksi konkritnya dalam menangani resiko demostrasi juga mudah diidentifikasi. Dengan semakin maraknya demonstrasi yang menuntut reformasi, bentrokan antara mahasiswa dengan aparat, kadang tak bisa dihindari. Menyusul bentrokan antara para demontran dan aparat pada tanggal 2-3 April 1998 di sekitar Bunderan - UGM, testimoni dari berbagai sumber menyingkap bagaimana Pak Amal berulang-kali ke rumah sakit untuk menjenguk mahasiswa yang terluka. Bahkan, kemudian, beliau memutuskan bahwa UGM menanggung semua biaya perawatan dan pengobatan mahasiswa yang jadi korban. Selain itu, beliau juga aktif melobi aparat untuk membebaskan mahasiswa UGM yang ditangkap.
Semakin gentingnya situasi politik nasional, seakan menghardik jiwa aktifis Pak Amal. Seiring dengan gerakan mahasiswa yang makin meradang, beliau sendiri akhirnya ikut turun gelanggang. Pada tanggal 14 Mei 1998, terbentuk Majelis Amanat Rakyat. Pak Amal merupakan salah satunya dari 50 tokoh pendirinya. Dalam deklarasinya disebutkan: “Orde Baru telah gagal, dan karenanya Presiden Soeharto perlu mengundurkan diri”. Sebuah pernyataan yang jelas, dengan tuntutan tegas.
Puncak laku demonstrasi ditandai aksi 20 Mei 1998. Pagi hari, di hadapan ribuan mahasiswa dan dosen UGM yang berkumpul di lapangan Pancasila UGM, bersama Sri Sultan Hamengku Buwono X, Pak Amal melakukan orasi menuntut reformasi. Siang hari, beliau sendiri memimpin long march aksi damai puluhan ribu mahasiswa dan dosen UGM, diikuti oleh masyarakat umum. Berangkat dari Lapangan Pancasila UGM, long march ini menyusuri jalan kota Yogya menuju alun-alun utara Keraton Yogyakarta. Di tengah hampir satu juta massa, bersama elemen gerakan Reformasi lainnya, Pak Amal beserta konvoi aksi damai yang dipimpinnya diterima Sri Sultan dalam acara Pisowanan Ageng.
Tak pelak, pagelaran Pisowanan Ageng 20 Mei 1998 menjadi muara gerakan Reformasi di Yogyakarta. Panggung tradisi perjumpaan rakyat dengan Sri Sultan ini, sebagai simbolisasi Keraton sebagai pengayom rakyat, diwarnai berbagai orasi menuntut reformasi. Salah satunya, pidato dari Pak Amal sendiri. Amanat Sri Sultan menguraikan latar belakang keluarnya Maklumat. Dokumentasi National Geographic Indonesia memuat nukilannya: “Mbeguguk ngutha waton (keras kepala), dan mbalelo (membangkang), hanya disandangkan bagi rakyat yang menuntut haknya sehingga pantas digebug (dihantam dengan pemukul) dan dilibas, dan bukannya bagi penguasa yang sudah tak bisa menangkap aspirasi rakyat karena terlalu asyik dengan permainan kekuasaan saja. … Maka adalah panggilan sejarah, jika sekarang segenap komponen rakyat Yogyakarta tampil mendukung Gerakan Reformasi nasional bersama kekuatan reformasi yang lain". Tak heran, dalam Maklumatnya, Sri Sultan Hamengku Buwono X “mengajak masyarakat Daerah Istimewa Yogyakarta dan seluruh rakyat Indonesia untuk bersama kami mendukung Gerakan Reformasi”. Konon, diadakannya Pisowanan Ageng antara lain juga berkat desakan berbagai tokoh di Yogyakarta, termasuk Pak Amal selaku Rektor UGM.
Tafsir budaya-pun hadir. Dalam tradisi Jawa, simbol apapun hampir selalu berlambar makna. Gerakan Reformasi di Yogyakarta, yang bermahkota Maklumat Raja, merupakan pesan nyata pada penguasa negara. Setidaknya, gerakan ini tanda bahwa legitimasi politiknya telah tererosi sampai pada lapisan elite yang paling tinggi. Signifikansi politik pertanda ini memang masih merupakan misteri. Tapi, faktanya, esok hari 21 Mei 1998, Presiden Soeharto mengundurkan diri. Konon, pada waktu yang sama, Pak Amal sedang sibuk terlibat dalam pengukuran arah kiblat Masjid Kampus UGM yang akan dibangun. Tak pelak, semangat Reformasi menyelimuti pembangunan Masjid ini. Sebelum mengayunkan cangkul, sebagai tanda pendirian masjid dimulai, Pak Amal mengucapkan “Allahu Akbar” tiga kali. Amanatnya-pun mengiringi: “Semangat reformasi total pada akhirnya harus bersentuhan dengan penataan mental spiritual yang menjadi landasan dasar bagi mahasiswa sebagai pemimpin di masa depan!”.
Lazim, pasca perubahan selalu muncul ganjaran terhadap orang yang berperan. Tawaran jadi Menteri dalam Kabinet Presiden Habibie juga datang ke Pak Amal. Tawaran ini, meluncur lewat Pak Amien Rais. Kala mendengar berita ini, sekelompok mahasiswa spontan menjaga rumah Pak Amal setiap hari. Alasannya, mereka kawatir ditinggal pergi. Sehabis Reformasi, kala bertandang ke rumahnya yang asri di dukuh Sawitsari, beliau cerita pada saya: “Berhari-hari mahasiswa menjaga rumah saya ini 24 jam, sampai mereka mendirikan kemah di depan rumah. Padahal, saya sudah menolak tawaran jabatan Menteri. Saya tegaskan kepada Amien [Rais] bahwa saya ikut demonstrasi karena panggilan reformasi, bukan mencari posisi Menteri!”. Mantan Peneliti LIPI jebolan Australia National University (ANU), Riwanto Tirtosudarmo, melukiskannya di laman Konsentris dengan apik: “Namanya, [Ichlasul Amal], mengandung makna yang dalam, [yakni] beramal dengan ikhlas. Sebuah kebajikan yang semakin sulit ditemukan … Sebagai ilmuwan politik, ia sesungguhnya bisa dekat dengan pemerintah atau menjadi pesohor. Kesempatan itu sepertinya tak dipilihnya. Sebagai akademisi, kariernya terus menanjak sehingga terpilih sebagai Rektor Universitas Gadjah Mada ketika kampus-kampus bergolak melawan Soeharto. Sebagai Rektor, saya ingat dia tidak takut dengan demo mahasiswa. Mahasiswa yang demo didatangi dan diajaknya berbicara. Lagi-lagi mengingat itu, menjadikan Ichlasul Amal teladan yang sulit ditemukan penerusnya, hari ini”.
Kepedulian dan keberanian Pak Amal di atas, saya yakin, tak lepas dari asuhan dan asahan yang diterimanya sebagai aktifis. Kala mahasiswa beliau aktif di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Bahkan beliau sempat menjabat Ketua HMI Komisariat FISIPOL - UGM. Tak heran, atensi pada HMI juga tinggi. Sepulang dari studi PhD-nya di Australia, kala saya menjabat Sekretaris Koordinator Komisariat (Korkom) UGM, beliau berkata kepada saya: “Untuk efektivitas pengelolaan organisasi dan perkaderan, sudah waktunya HMI Yogyakarta dipecah menjadi beberapa cabang. Salah satunya, di UGM perlu dibentuk satu cabang tersendiri dengan nama, misalnya, HMI Cabang Bulaksumur”. Sarannya ini muncul, setelah saya beritahu bahwa kala itu, HMI Korkom UGM sudah membawahi 20 Komisariat.
Namun, sejarah ke-HMI-annya sempat pula menelorkan setidaknya dua kisah. Syahdan, dalam salah satu tajuk beritanya, sebuah media cetak sempat menjuluki Pak Amal sebagai “Rektor HMI”. Kala saya tanya, apakah tidak risi dengan julukan ini? Sambil tertawa beliau menjawab: “[Saya] tak masalah dengan julukan macam itu. Toh, bagi saya, HMI adalah bagian dari jati diri. Khan lebih baik saya terus terang tentang jati diri daripada sembunyi-sembunyi. Yang penting, sebagai pejabat dan pelayan publik saya harus profesional dan tidak partisan!”. Penegasannya ini bukan sekedar permainan kata. Kebijakan yang diambilnya, selalu bersandarkan semangat kebangsaan.
Salah satu buktinya, selaku Rektor UGM, beliau atentif terhadap dampak konflik sektarian di Maluku. Wakil Rektor Bidang Sumber Daya Manusia dan Keuangan UGM, Profesor Supriyadi, memberikan testimoni: “Pada waktu terjadi konflik Maluku tahun 1999, beliau memberikan kesempatan kepada mahasiswa Universitas Pattimura dari semua agama untuk bisa mutasi ke kampus UGM”. Keputusan ini, sekali lagi, menunjukkan bahwa dedikasinya untuk mewujudkan UGM sebagai Universitas Pancasila tak sebatas retorika. Kebijakannya yang inklusif mencerminkan semangat kebangsaannya.
Masalah kedua, sedikit bernuansa ‘tuduhan’. Alkisah, seorang Profesor dari Universitas yang kental dengan politicking wanti-wanti kepada kelompoknya agar apa yang terjadi di UGM menjadi referensi, di mana tokoh HMI, seperti Pak Amal, bisa merebut posisi Rektor. Dipicu rasa penasaran, maka isu ini saya konfirmasikan. Saat masih Pak Amal masih menjabat Rektor UGM, saya tanyakan langsung kepada beliau: ”Apakah memang ada skenario ‘politik’ semacam itu?”. Sembari tergelak, beliau manafikkan pandangan sang Profesor. Ia menegaskan: “Salah besar jika ada dugaan ada skenario panjang kelompok akademisi HMI untuk menguasai UGM. Sejak awal, tak ada skenario semacam itu. Tampilnya akademisi berlatar belakang HMI dalam berbagai jabatan di UGM berkat bertemunya dua faktor. Pertama, setelah peristiwa G-30S-PKI, UGM membutuhkan banyak tenaga pengajar, karena tak sedikit dosennya yang diberhentikan akibat terlibat dalam peristiwa itu. Kedua, kebetulan orang-orang HMI yang direkrut jadi dosen waktu itu pinter-pinter. Di awal Orde Baru, ketika banyak tawaran beasiswa untuk studi di luar negeri, sebagian besar dari mereka berhasil mendapatkannya. Karena keberangkatan mereka untuk studi di universitas luar negeri relatif bersamaan, maka selesainya juga hampir berbarengan. Maka, terbentuklah lapisan generasi akademisi berlatar belakang HMI di berbagai fakultas. [Akibatnya], ketika ada pemilihan pimpinan di masing-masing unit itu, selalu ada calon dengan latar belakang HMI yang muncul”. Bagi yang terkungkung teori Konspirasi, penjelasan historis ini mungkin tak memuaskan. Tapi, sejauh ini, fakta sejarah yang diungkap Pak Amal ini belum terbantahkan. (bersambung).
*) Dosen Hubungan Internasional, Universitas Jember.