Ichlasul Amal (1): Sosok Santri yang Peduli
Oleh: Himawan Bayu Patriadi, PhD
Senyum itu tak lagi terkulum. Sang empunya, Profesor Ichlasul Amal, MA., PhD., telah tiada. Pagi itu, Kamis 14 Nopember 2024, sepenggal pesan Whatsapp (WA) dari Yogya menyampaikan kabar lelayu. Pak Amal–panggilan hormat tanpa gelar–telah berpulang ke Rahmatullah di Rumah Sakit Pondok Indah (RSPI), Jakarta. Sontak, sekian kenangan menyeruak dalam benak. Pasalnya, kepergiannya banyak meninggalkan jejak. Maklum, secara pribadi saya sempat berinteraksi dengan beliau dari dekat. Di samping mengajar saya sekian mata kuliah kala studi Sarjana (S1) di FISIPOL, Universitas Gajah Mada (UGM); beliau juga menjadi salah satu penguji skripsi saya. Lebih dari itu, selama 2 tahun saya berkesempatan nyantrik ke beliau, tatkala diangkat menjadi asisten Dosen yang membantu beliau mengajar.
Sebagai dosen, Pak Amal dikenal dekat dengan mahasiswa. Berkat sosoknya yang ramah, lengkap dengan senyum renyah yang selalu menghiasi wajah, banyak mahasiswa cepat merasa akrab dengannya. Terinspirasi istilah OG Roeder, The Smiling General Soeharto, saya pribadi sempat menjulukinya sebagai “The Smiling Lecturer”. Namun, bagi mahasiswa kurang mengenal sosoknya, tawa Pak Amal kadang membuat ciut nyali mereka. Kala program Pascasarjana FISIPOL-UGM baru berdiri di akhir 1980-an, peristiwa semacam ini pernah terjadi. Alkisah, seorang mahasiswa S2 sedang menjalani ujian tesis. Seperti biasa, supporters-nya duduk berjajar di luar ruang ujian. Kebetulan, Pak Amal sebagai salah satu penguji. Tawanya yang terdengar dari luar mengundang imaginasi sangar. Seorang mahasiswa, yang telah lama mengenal Pak Amal, usil sembari berkata: “Haraahhh!”. Tujuannya, ‘menteror’ supporters yang di antaranya sedang antri menghadapi ujian serupa. Spontan, sebagian wajah mereka itu berubah tak cerah. Padahal, tawa lepas Pak Amal hanyalah salah satu ekspresi bawaan ala Jawatimuran.
Lahir di Jember, Jawa Timur; ayah Pak Amal seorang saudagar asal Madura. Dari namanya, mudah diterka keluarganya berlatarbelakang santri. Komitmen keagamaannya tinggi. Salah satu jejaknya, kontribusi terhadap penyelenggaraan Ramadhan on Campus (RoC), yang di- pandegani oleh Jama’ah Kampus Shalahuddin. Kala itu, RoC masih diselenggarakan di Gelanggang Mahasiswa, karena UGM belum punya Masjid. Salah satu panitianya sempat membisiki saya: “Pasokan takjil dari Pak Amal [untuk berbuka dan sahur] selalu lezat, bahkan tergolong ‘mewah’!”. Sebuah bisikan tanpa tendensi, sekedar apresiasi terhadap atensi Pak Amal pada kegiatan Islami.
Jejak komitmen keagamaan Pak Amal juga ada dalam pembangunan Masjid Kampus UGM. Masjid ini sebenarnya merupakan impian warga UGM sejak lama. Pasalnya, kegiatan ke-Islam-an mahasiswa senantiasa dilaksanakan di Gelanggang Mahasiswa. Saking lamanya mimpi ini, sampai melahirkan gojekan satire di kalangan mahasiswa. Akronim UGM sempat di- pleset-kan menjadi “Universitas Gak duwe Masjid” (Universitas yang tak punya masjid). Memang, realisasi pembangunan Masjid memakan waktu lama. Penggagas awalnya, Profesor Koesnadi Hardjasoemantri, Rektor UGM (1986-1990). Rektor penggantinya, Profesor Mochammad Adnan (1990-1994), menindaklanjutinya dengan membentuk kepanitiaan.
Akhirnya, eksekusi pendirian Masjid Kampus UGM baru bisa dilakukan tahun 1998, kala Pak Ichlasul Amal kala menjabat Rektor UGM. Selain masalah dana, kendala utama terwujudnya Masjid ini adalah pencarian lokasi. Pembangunan masjid bisa terealisasi, berkat persetujuan Sri Sultan Hamengku Buwono IX terhadap permohonan UGM untuk menggunakan tanah bekas Bong (kuburan) Cina, di sisi tenggara Kampus Bulaksumur. Rampungnya pembangunan Masjid, menyisakan sebuah cerita. Seperti dilansir dalam laman Masjid Kampus, sempat muncul usulan “Al-Ikhlas” untuk nama Masjid tersebut. Namun, sebagai Rektor, Pak Amal tak setuju. Alasannya, menghindari anggapan bahwa penamaan itu, yang kebetulan bersinggungan dengan nama pribadinya, terjadi karena desakannya. Sebagai alternatifnya, beliau mengusulkan cukup memakai atribut “Masjid Kampus”, merujuk pada lokasi Masjid itu berada. Beliau mengilustrasikan, bahwa di Timur Tengah banyak juga Masjid yang juga tak punya nama, sehingga nama Masjid merujuk pada lokasinya. Walhasil, Masjid Kampus UGM dikenal sebagai sebuah masjid “tanpa nama”. Meski sudah tidak menjabat Rektor, kiprahnya di Masjid kampus sempat berlanjut. Pasalnya, untuk periode 2014-2017, beliau ditahbiskan sebagai takmir Masjid tersebut.
Kepedulian Pak Amal tak sebatas pada hal keagamaan. Pada ranah lainnya, jejaknya juga bisa ditemukan. Menyangkut masalah akademik dosen, terdapat jejak Pak Amal yang dikisahkan adik saya, Dodi Ambardi, ketika menempuh program Master (MA) degree di Ohio University, Athens, USA. Kala itu, Samsu Rizal Panggabean (almarhum), koleganya di FISIPOL-UGM sekaligus teman satu kelompok diskusi saya saat kuliah Sarjana (S1), juga tengah menempuh program Master (MA) degree di George Mason University (GMU), Virginia, USA. Sebagai sesama penerima beasiswa Fulbright, Dodi pernah mengingatkan Samsu Rizal, bahwa Fulbright hanya meng- cover 18 bulan dari 24 bulan durasi studi Master. Untuk menutupi 6 bulan sisanya, setiap Fulbright awardee harus mencari alternatif beasiswa sendiri. Dodi beruntung, karena berhasil mendapatkan tambahan beasiswa dari The Ford Foundation guna menuntaskan studi. Tapi, entah mengapa, Samsu Rizal tak mendapatkan alternatif beasiswa. Akibatnya, ia terancam untuk dipulangkan. Bukan disebabkan jeblok-nya prestasi, melainkan karena tak bisa bayar tuition fee.
Nasib sial Samsu Rizal seakan menyegat Pak Amal. Pasalnya, GMU tak pernah memberitahunya terlebih dahulu. Sebagai Dekan FISIPOL – UGM, beliau lantas menelpon otoritas GMU. Jawaban GMU jelas. Pemulangan mahasiswa tak terhindarkan jika tuition fee tak terbayarkan. Pak Amal menanggapinya dengan nada menegur. “[Sebagai employer-nya] saya akan [segera] bayar tagihan tuition fee Samsu Rizal. Jangan asal memulangkan mahasiswa tanpa menghubungi dulu employer-nya!”, tegasnya. Konon, Samsu Rizal senang dengan langkah cepat Pak Amal ini. Tapi, di sisi lain, Samsu Rizal sempat bimbang bagaimana mengganti uang tuition fee tersebut. Merespon kebimbangan ini, Pak Amal menyakinkan Samsu Rizal: “Yang penting, kuliahmu bisa tuntas dulu. Masalah pengembalian tuition fee bisa diurus belakangan. Nanti, kamu dapat menyicilnya ke lembaga seringan mungkin, sesuai kemampuanmu!”. Ilustrasi ini, menunjukkan bagaimana kepedulian, sekaligus tanggungjawab, seorang pemimpin terhadap bawahannya.
Di ranah sosial, komitmen Pak Amal juga tak samar. Dilantik menjadi Rektor UGM di masa krisis moneter, yang berkulminasi pada Reformasi 1998, beliau langsung menghadapi dampak multidimensi. Institusi yang dipimpinnya, Universitas Gajah Mada, tak luput dari krisis tersebut. Kepedulian Pak Amal, sekali lagi, teruji. Mereka yang terdampak krisis ekonomi menjadi perhatiannya. Wakil Rektor Bidang Sumber Daya Manusia dan Keuangan – UGM, Profesor Supriyadi, memberikan testimoni. Sebagai Rektor UGM kala itu, Pak Amal berupaya membantu finansial ribuan mahasiswa UGM yang tak mampu membayar Sumbangan Pembinaan Pendidikan (SPP). Tak hanya itu. Pada saat yang sama, beliau juga membantu ekonomi staf dan karyawan UGM yang terkena dampak krisis.
Ketika sejenak merenungkan jejak kepedulian Pak Ichlasul Amal yang berserak, satu memori tentang ungkapan Theodore Roosevelt teretas. Pada 17 Juni 1912, dalam pidato di Chicago, Presiden Amerika Serikat ke-26 ini merajut kata-kata bijak: “Nobody cares how much you know, until they know how much you care!”. Pak Amal, mungkin, tak sempat menghiraukan untaian kata ini. Tapi, luasnya simpati publik menyusul kepergiannya, menunjukkan bagaimana amaliyah-nya mencerminkan makna rangkaian kata inspiratif ini. (bersambung)
*) Dosen Hubungan Internasional Universitas Jember.