Ibu Tiri, Begini Kedudukannya dalam Islam
Sering sekali dalam tayangan sinetron Indonesia menampakkan peran ibu tiri yang tidak baik. Ibu tiri dalam tayangan televisi kerap digambarkan menjadi sosok yang jahat, kasar, dan selalu menang sendiri.
Sebaliknya, televisi jarang menampakkan karakter ibu tiri yang baik sehingga kebanyakan masyarakat Indonesia menilai sosok ibu tiri adalah orang yang jahat. Padahal, belum tentu seperti itu. Boleh jadi justru masih banyak ibu tiri yang baik dan mencerminkan istri salihah.
Berikut penjelasan dari Buku Tanya Jawab Agama Jilid 8 hal 17-26, diterbitkan PP Muhammadiyah:
Sebagai manusia Allah SWT memperingatkan kita untuk tidak berprasangka buruk terhadap orang lain dan berperilaku buruk. Hal tersebut dijelaskan dalam berikut ini:
12: [الحجرات (49) يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa.” [QS. al-Hujurat (49): 12].
"Jika terjadi akad nikah yang sah antara seorang laki-laki dengan seorang janda yang mempunyai anak perempuan, maka anak perempuan dari janda itu menjadi mahram untuk selama-lamanya dari laki-laki itu, setelah terjadi hubungan seksual antara laki-laki (suami) dengan janda yang telah menjadi istrinya itu(ba‘da dukhul), walaupun laki-laki itu telah bercerai dengan janda itu."
Ibu tiri yang masih terikat perkawinan dari suaminya pada hakikatnya adalah istri dari suaminya dan kedudukannya sama dengan kedudukan seorang istri. Hal ini berarti bahwa hak dan kewajibannya sama dengan hak dan kewajiban seorang istri terhadap suaminya. Hak dan kewajiban suami dan istri dalam kehidupan rumah tangga diatur sedemikian rupa oleh ajaran Islam yang tertuang dalam al-Qur’an dan as-Sunnah Rasulullah saw.
Dengan demikian, seandainya suatu rumah tangga Muslim mengikuti ajaran agama Islam yang berhubungan rumah tangga dengan benar sesuai dengan petunjuk Allah SWT dan Rasul-Nya, niscaya apa yang ditayangkan pada televisi itu tidak akan terjadi.
Seandainya terjadi juga pada suatu keluarga Muslim, mungkin disebabkan sebagian atau salah seorang anggota keluarga seperti suami, istri, anak-anak, orang tua, saudara-saudara dan sebagainya tidak faham atau tidak mau melaksanakan ajaran Islam dalam mengatur rumah tangga karena ada suatu kepentingan diri mereka dalam rumah tangga itu.
Ada pesan-pesan moral yang tersirat pada firman Allah SWT yang mengatur hubungan anak tiri dengan bapak tiri dan ibu tiri, yaitu:
Dengan terjadinya akad nikah yang sah antara seorang laki-laki yang mempunyai putra dengan seorang perempuan, maka putra dari laki-laki itu menjadi mahram (tidak boleh kawin) untuk selama-lamanya dari perempuan itu (ibu tiri), walaupun si ibu tiri telah bercerai dengan laki-laki itu (bapak si anak). Allah SWT berfirman:
وَلاَ تَنْكِحُوا مَا نَكَحَ آبَاؤُكُمْ مِنَ النِّسَاءِ إِلاَّ مَا قَدْ سَلَفَ إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَمَقْتًا وَسَاءَ سَبِيلاً
Artinya: “Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh).” [QS. an-Nisa’ (4): 22].
Jika terjadi akad nikah yang sah antara seorang laki-laki dengan seorang janda yang mempunyai anak perempuan, maka anak perempuan dari janda itu menjadi mahram untuk selama-lamanya dari laki-laki itu, setelah terjadi hubungan seksual antara laki-laki (suami) dengan janda yang telah menjadi istrinya itu(ba‘da dukhul), walaupun laki-laki itu telah bercerai dengan janda itu. Allah SWT berfirman:
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ … … … وَرَبَائِبُكُمُ اللاَّتِي فِي حُجُورِكُمْ مِنْ نِسَائِكُمُ اللاَّتِي دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَإِنْ لَمْ تَكُونُوا دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ
Artinya: “Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; … … … anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya; …”[QS. an-Nisa’ (4): 23].
Kesimpulannya, dari penjelasan-penjelasan diatas dapat dipahami bahwa dengan terjadinya akad nikah yang sah antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang salah seorang atau keduanya telah mempunyai anak, maka pada saat itu telah terjadi suatu peristiwa hukum yang berlaku bagi kedua pasangan yang melakukan akad nikah dan anak-anak mereka.
Peristiwa hukum itu ialah telah terjadi tahrim mu’abbad (larangan atau halangan perkawinan untuk selama-lamanya) walaupun nanti pada suatu saat terjadi perceraian antara si bapak tiri (suami) dan ibu anak tiri (istri).
Dalam phal itu tersirat pesan moral pada seluruh anggota keluarga bahwa telah terjadi perubahan status hukum pada keluarga mereka, yaitu masing-masing mereka telah menjadi keluarga dari bapak dan ibu mereka yang telah menikah.
Ajaran Islam mengatur kehidupan keluarga dan menjaga serta melindungi hak-hak setiap anggota keluarga, seperti bapak, ibu, termasuk di dalamnya ibu tiri, anak-anak dan sebagainya.
Hal serupa juga di atur dalam undang-undang dan peraturan yang berlaku di negara kita, sehingga tidak ada pihak yang dirugikan dalam kehidupan keluarga. Hanya saja ajaran Islam dan undang-undang dan peraturan itu belum dipahami dan dilaksanakan oleh sebagian besar masyarakat, khususnya masyarakat kaum Muslimin. Karena itu adalah tugas kita bersama untuk memasyarakatkannya.
Sumber : Buku Tanya Jawab Agama Jilid 8 hal 17-26, diterbitkan Muhammadiyah.
Advertisement