Ibu, Madrasah Pertama Anak-anak Kita
Oleh: Sirikit Syah
Saya sering mendengar kalimat itu, bahwa ibu adalah madrasah pertama bagi anak-anak kita. Saya juga masih teringat pedoman teman-teman saya dari kalangan keurunan Arab, bahwa para ibu seharusnya di rumah, mendidik anak-anaknya, daripada pergi keluar rumah untuk mencari nafkah atau berkarir. Sebuah ironi ketika ada bu guru yang rajin mendidik anak-anak orang lain, lalu anak-anaknya sendiri dititipkan di PAUD, Play Group, TK, diasuh oleh orang lain. Bila persoalannya mencari nafkah, kembalikan pertanyaan pada peean dan fungsi suami/ayah.
“Tapi mengapa kamu sekolah tinggi-tinggi, kalau kamu mau di rumah saja?” Tanya saya pada teman kuliah, kerurunan Arab yang cantik dan pintar.
“Lho, memangnya untuk mendidik anak, ibu gak harus pintar?” sergahnya. Lalu dia menjelaskan, di kalangan keluarga Arab (setidaknya yang dia ketahui), para perempuan harus berpendidikan, bersekolah hingga perguruan tinggi. Itu karena tugas utamanya adalah mendidik. Kalau ibu kurang pendidikan, bagaimana nanti mendidik anak-anaknya?
“Bahkan …,” dia melanjutkan, “Tak sedikit suami-suami Arab yang gak lulus S1, istrinya lulusan S1 atau S2. Itu tak apa, karena para suami ini tugasnya keluar rumah, mencari nafkah untuk mencukupi kebutuhan anak dan istrinya.”
Teman saya yang lain berkata: “Kalau saya hanya punya satu biaya pendidikan, dan anak saya dua, lelaki dan perempuan, yang akan saya sekolahkan yang perempuan.”
Kisah-kisah kearifan keluarga semacam ini intinya, ibu adalah madrasah bagi anak-anaknya. Ilmu pengetahuan juga menyimpulkan bahwa kecerdasan diturunkan dari gen ibu, sementara daya juang (survival) dan keterampilan diturunkan dari ayah.
Baru-baru ini ada opini yang beredar di media sosial mengenai kecanduan anak-anak SD-SMP-SMA pada bintang youtuber, di antaranya Atta Hallintar. Atta yang kekayaannya berasal dari jumlah pengakses akunnya ini menyajikan konten semacam ini: malam pertamanya dengan Aurel, pamer kekayaan, gaya hidup glamour, prank, dll. Ini hal-hal yang bertentangan dengan pendidikan karakter, jauh dari ajaan moral dan akhlak yang baik.
Yang mengesankan saya, istri sang penulis opini, guru SMP, berhasil memengaruhi anak-anak didiknya agar tidak buang-buang pulsa untuk memperkaya selebritis yang memberi mereka hal-hal yang tak ada gunanya.
Di zaman anak sekoah daring saat ini, dimana gadget harus selalu di tangan, kemungkinan membuka akun-akun tak beguna, bahkan menyesatkan, sangat tinggi. Siapa yang akan menjaga anak-anak ini, bila bukan ibunya? Anak perempuan saya sangat ketat mendisiplin 3 anaknya (di bawah 8 tahun): tidak boleh buka apa-apa selain saat zoom sekolah, boleh buka youtube hanya Sabtu dan Minggu. Itupun bisa ditarik izinnya bila berada di rumah nenek. Anak-anak harus berinteraksi dengan kakek neneknya, bukan pindah tempat lalu buka youtube. Di rumah kami, anak-anak biasa bersepeda atau bermain dengan ikan-ikan bersama kakek, membaca buku bersama nenek, atau bermain catur, dakon, ular tangga, dan bersepeda bersama anak/cucu tetangga.
Tantangan menjadi ibu saat ini sangat berat, tanggunggjawabnya lebih besar. Semoga pembaca menjadi ibu-ibu dan bapak-bapak yang baik, yang menjadikan anak-anak kita sebagai generasi yang lebih baik dari kita.
(Surabaya 21 November 2021)
*Sirikit Syah, doktor komunikasi, dosen dan penulis.
Advertisement