Ibadah Sosial Lebih Utama, Ciptakan Perdamaian
Dr. James Hoesterey, seorang antropolog budaya yang penelitiannya berfokus pada budaya populer, otoritas agama, dan Islam politik. Buku pertamanya mengeksplorasi politik pasca-Islam di Indonesia.
KH Husein Muhammad, pengasuh Pondok Pesantren Dar el-Quran, Arjawinangun, Cirebon, Jawa Barat, menyampaikan pandangannya tentang Islam besama James Hoesterey dalam satu forum.
Kiai Husein Muhammad, yang juga sahabat Gus Dur, dikenal konsen dalam kajian Keislaman dan Keserasian Jender dengan mendirikan Fahmina -- organisasi nirlaba yang hingga kini masih eksis di tengah masyarakat. Berikut catatannya:
Minggu lalu, di depan jama'ah, MDP (Majlis Dzikir Pikir), Lema Duwur, Arjawinangun, aku menyampaikan antara lain :
Ibadah personal/individual merupakan cara manusia mendekatkan diri (taqarrub) dan menundukan diri kepada Tuhan, membersihkan hati dan membebaskan diri dari ketergantungan kepada selain Tuhan. Karena Dialah Satu-satunya Yang Maha Kasih. Maha Agung dan Maha Mulia.
Tetapi pada saat yang sama pengabdian ini menuntut manusia untuk melakukan kerja-kerja sosial dan kemanusiaan. Menciptakan perdamaian, menjalin relasi kasih sayang dan mempraktekkan keadilan”. Ibadah ini jauh lebih esensial dan bermakna besar daripada ibadah individual. Kaedah hukum menyebutkan :
العمل المتعدى افضل من العمل القاصر
"Amal/perbuatan/aktivitas yang membawa efek kebaikan kepada yang lain lebih utama daripada yang hanya untuk diri sendiri".
Ulang Tahun ke-24 Fahmina
Kapan. Mengapa dan Untuk Apa Fahmina Lahir?
Fahmina adalah sebuah lembaga sosial yang lahir di Cirebon, pada tanggal 10 Nopember 2000, oleh empat serangkai santri. Yaitu Afandi Mukhtar (alm), Faqihuddin Abd. Kodir, Marzuki Wahid dan saya, Husein Muhammad. Pendirian Fahmina disepakati di rumah saya,di Jl. Kebon Baru 48 Arjawinangun. Cirebon.
Kata Fahmina diambil dari dua kata Arab : Fahm dan Na yang bermakna Pemahaman Kita. Atau dengan kata lain Perspektif kita.
Fahmina lahir didesak oleh kesadaran teologis bahwa warga negara harus digerakkan untuk memaknai kembali eksistensinya sebagai manusia yang merdeka dan bermartabat di dalam sebuah negara bangsa yang plural baik dari sisi sosial, budaya, ekonomi, gender maupun keyakinan.
Sistem politik lama yang sentralistik, seragam dan represif yang berlangsung sekitar 30 tahun, tidak menyediakan ruang atas keragaman serta sikap kritis warga negara. Ini telah menciptakan kehidupan yang stagnan, rapuh dan rentan gesekan sosial.
Situasi ini juga telah menghasilkan kebodohan dan kemiskinan sosial yang masif, rasa saling curiga yang mudah menyulut konflik berbasis sentimen keagamaan, etnis, gender, sosial ekonomi.
Dalam stuktur sosial seperti ini kaum minoritas agama, gender, anak-anak menjadi pihak yang sangat rentan kehilangan eksistensinya sebagai manusia merdeka dan terhormat. Mereka didiskriminasi, disubordinasi dan dimarginalkan dalam kehidupan bersamanya.
Di hadapan realitas sosial di atas Fahmina berpendapat bahwa sebuah perubahan harus dilakukan. Dan perubahan ini harus digerakkan dari dalam dan melalui tradisi masyarakatnya sendiri.
Fahmina berkeyakinan bahwa transformasi sosial akan menemukan signifikansi dan efektivitasnya yang kuat jika dijalankan melalui atau bersama tradisi dan budaya yang dikenali masyarakatnya. Sebaliknya, perubahan sosial akan gagal manakala tercerabut dari akar tradisi dan historisitasnya.
Jargon
Dari realitas di atas Fahmina membuat dan menetapkan sebuah jargon; “Transformasi Sosial Bersama Tradisi untuk Keadilan dan Kemanusiaan”.
Langkah Fahmina untuk mewujudkan gagasan itu adalah mengembangkan wacana keagamaan dan sosial melalui pembacaan kritis dan kontekstual atas warisan intelektual Islam yang menjadi basis pengetahuan keagamaan Pesantren dan masyarakat muslim Indonesia.
Selamat Ulang Tahun Fahmina ke -24
Sukses, Damai dan Diberkati. (10.11.2024/HM)
Advertisement