Ibadah Kurban, Begini Pesan Moral Menurut Ahli Hadits (1)
Salah satu ibadah yang dilaksanakan ketika hari raya Idul Adha adalah ibadah kurban. Sebagian umat Islam mampu melaksanakannya, sebagian lagi menunggu tahun-tahun selanjutnya dan tetap berdoa supaya diberi rezeki serta ridha dari Allah Swt.
Pakar ilmu hadits Prof. KH Ali Mustafa Yaqub, almaghfurlah, menulis tentang "Idul Adha: Membunuh Kepentingan Pribadi" (dimuat dalam buku "Haji Pengabdi Setan" , Jakarta, Pustaka Firdaus, 2015). Berikut ulasan pakar yang pernah Imam Besar Istiqlal Jakarta:
Menyembelih hewan kurban tentunya bukan sekadar penyembelihan hewan-hewan tertentu, kemudian disantap dan selesai begitu saja. Ibadah ini memiliki pesan-pesan moral yang mesti kita teladani dan lakoni dalam kehidupan kita sebagai hamba Allah Swt.
Kiai Ali Mustafa Yaqub, almaghfurlah, membeberkan beberapa pesan moral dalam ibadah kurban. Pesan tersebut dapat kita temui dalam tulisan beliau berjudul Idul Adha: Membunuh Kepentingan Pribadi yang terhimpun dalam buku Haji Pengabdi Setan. Melihat sekilas judulnya, kita dapat menangkap penjelasan beliau terkait pengorbanan atas kepentingan diri sendiri karena ada suatu kepentingan lain.
Dalam Al-Qur`an Allah ﷻ berfirman di Surat al-Hajj ayat 37:
لَنْ يَنَالَ اللَّهَ لُحُومُهَا وَلَا دِمَاؤُهَا وَلَٰكِنْ يَنَالُهُ التَّقْوَىٰ مِنْكُمْ ۚ كَذَٰلِكَ سَخَّرَهَا لَكُمْ لِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَىٰ مَا هَدَاكُمْ ۗ وَبَشِّرِ الْمُحْسِنِينَ
“Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya. Demikianlah Allah telah menundukkannya untuk kamu supaya kamu mengagungkan Allah terhadap hidayah-Nya kepada kamu. Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al-Hajj: 37)
Rais Syuriyah PBNU periode 2010-2015 itu mengajak kita untuk merenungi ayat di atas, yang mana ibadah kurban adalah simbol ketakwaan dan keloyalitasan seorang hamba kepada Allah ﷻ.
Ibadah kurban awal kali dilaksanakan dalam peristiwa Qabil dan Habil, dua putra Nabi Adam AS. Namun ibadah yang dijadikan syariat Islam ini lebih merupakan pelestarian ajaran yang pernah dilakukan Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail.
"Tatkala Nabi Ibrahim adalah seorang yang sudah berusia hampir satu abad namun belum dikaruniai anak,begitu dikaruniai anak yaitu Nabi Ismail beliau diperintah untuk menyembelihnya, bukankah sangat tidak masuk akal jika dipikirkan."
Tatkala Nabi Ibrahim adalah seorang yang sudah berusia hampir satu abad namun belum dikaruniai anak,begitu dikaruniai anak yaitu Nabi Ismail beliau diperintah untuk menyembelihnya, bukankah sangat tidak masuk akal jika dipikirkan.
Apabila kita terlalu mendewakan akal, peristiwa ini tentunya tidak masuk akal. Maka dari itu dalam agama Islam ada suatu prinsip bahwa tidak semua perintah-perintah Allah dapat ditangkap secara rasional. Demikian karena ibadah terdiri dari dua kategori, ta’aqquli (dapat dipahami makusdnya oleh akal) dan ta’abbudi (simbol loyalitas semata).
Di sana Kiai Ali Mustafa mendeskripsikan ibadah yang bersifat ta’aqquli umumnya mempunyai dimensi sosial horizontal, yaitu aturan yang berkaitan dengan sesama manusia. Adapun kedua, ta’abbudi umumnya memiliki dimensi vertikal, yaitu aturan yang berhubungan dengan Allah ﷻ.
Begitu pula dengan ibadah kurban yang berkaitan dengan peristiwa penyembelihan Nabi Ismail oleh Nabi Ibrahim. Selain termasuk kategori yang memiliki dimensi vertikal, bukan berarti ia tidak memiliki hubungan secara horizontal.
Dalam peristiwan Nabi Ibrahim, kita dapat melihat keloyalitasan seorang hamba terhadap Tuhannya. Memang terasa janggal jika dilihat sekilas, dimana Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail merupakan dua manusia pilihan Allah ﷻ, diangkat menjadi nabi, namun masih perlu diuji keloyalitasannya oleh Allah ﷻ. Namun perlu kita pahami bahwa salah satu tugas nabi-nabi yang diutus oleh Allah ﷻ adalah memberi suri tauladan kepada umatnya, salah satunya adalah bagaimana manusia untuk taat kepada Tuhannya dan sabar terhadap ketentuan yang sudah ditakdirkan oleh-Nya.
Ibadah kurban juga menjadi simbol ketauhidan. Pada masa Jahiliyyah orang-orang musyrik cenderung menghormati bahkan mengkultuskan hewan-hewan tertentu. Kita dapat menemukan kebiasaan buruk tersebut dalam Al-Qur’an Surat al-Maidah ayat 103:
مَا جَعَلَ اللَّهُ مِنْ بَحِيرَةٍ وَلَا سَائِبَةٍ وَلَا وَصِيلَةٍ وَلَا حَامٍ ۙ وَلَٰكِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا يَفْتَرُونَ عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ ۖ وَأَكْثَرُهُمْ لَا يَعْقِلُونَ
“Allah sekali-kali tidak pernah mensyari'atkan adanya bahîrah, sâibah, washîlah dan hâm. Akan tetapi orang-orang kafir membuat-buat kedustaan terhadap Allah, dan kebanyakan mereka tidak mengerti.” (QS. Al-Maidah 103)
Menurut manusia pada zaman Jahiliyyah, nama-nama hewan dalam ayat tersebut tidak boleh diganggu, disembelih, apalagi dimakan dagingnya.
Dalam rangka menghapus tradisi ini, Allah memerintahkan umat Islam untuk menyembelih hewan-hwan pilihan dan menyuruh untuk memakan daginya. Dengan adanya ibadah kurban, sirnalah tradisi Jahiliyyah di atas. (bersambung)