Ibadah Haji Dua Kali yang Sia-sia, Ini Penjelasan Ahli Tasawuf
Pada musim haji, seolah kita menyaksikan ketimpangan sosial di Indonesia. Misalnya, ada seseorang yang berkali-kali menjalankan Rukun Islam kelima ini. “Bisakah dijelaskan soal tersebut, dari tinjauan khusus? Maksud saya, kalau dari sisi pendanaan memang mereka yang punya harta yang memungkinkan. Tapi, itu kita saksikan, lho ustadz.”
Demikian Harun Rasyid, warga Kejawan Putih Tambak, Sukolilo Surabaya, pada ngopibareng.id.
Untuk memperhatikan masalah ini, berikut penjelasan dari khazanah pesantren. Dalam kitab Irsyâdul 'Ibâd dikisahkan, suatu hari seorang laki-laki menjamu Sufyan ats-Tauri dan kawan-kawannya. Lantas ia berkata kepada istrinya, "Berikanlah hidangan padaku hidangan yang kamu bawa dari haji yang kedua, bukan haji yang pertama."
Orang yang cermat akan segera tahu, pesan apa di balik lelaki itu berkata demikian. Si lelaki di satu sisi sedang memerintahkan sang istri menyuguhkan hidangan, tapi di sisi lain sekaligus memamerkan ke orang-orang di sekitarnya bahwa ia telah berhaji dua kali.
Dalam ilmu balaghah, laki-laki ini memang sedang melontarkan kalam insya' (thalabi), yakni berupa perintah kepada istrinya, namun di saat bersamaan terkandung maksud terselubung mengungkapkan kalam khabar (informasi) tentang prestasi ibadah kepada para tamunya. Secara tersurat memerintah, tapi secara tersirat memamerkan sebuah kebanggaan.
Lalu, apa respon Sufyan at-Tsauri terhadap lelaki yang pamer itu?
"Sungguh kasihan orang ini. Dengan perkataannya itu dia telah menghapus pahala dua hajinya. Semoga Allah menyelamatkan kita dari riya'," kata ulama alim dan zuhud yang wafat pada 778 M ini.
Pernah suatu kali Rasulullah menerima pertanyaan dari seorang laki-laki yang datang kepada beliau, "Apa itu keselamatan pada hari esok (hari Kiamat)?"
"Ketika kamu tidak menipu Allah," jawab Rasulullah.
"Bagaimana kita menipu Allah?"
"Yaitu ketika kamu menunaikan perintah Allah dan rasul-Nya namun kamu bertujuan untuk selain ridha Allah. Berhati-hatilah dari riya' karena sesungguhnya ia termasuk kategori syirik kepada Allah," balas Nabi lagi.
Demikian disampaikan dalam hadits riwayat Adz-Dzahabi. Hadits ini melanjutkan sabda Nabi bahwa kelak di hari Kiamat orang-orang riya' dipanggil di hadapan orang banyak dengan empat nama: "wahai orang kafir", "wahai orang durhaka (fâjir)", "wahai orang cedera (ghâdir)", dan "wahai orang merugi (khâsir)".
Perbuatan orang riya' tersebut, jelas Nabi, sesat dan pahalanya pun musnah, sehingga ia tak memiliki bagian apa-apa di hari Kiamat. Selanjutnya diseru kepadanya, "Ambillah pahala dari orang-orang yang menjadi tujuan amalmu, wahai penipu diri sendiri."
Dalam kitab Irsyâdul ‘Ibâd, yang diampu KH Marzuqi Mustamar, Pengasuh Pesantren di Malang, diceritakan bahwa seorang imam ditanya tentang siapa orang yang disebut ikhlas. Ia jawab, "Orang yang merahasiakan kebaikannya sebagaimana menyimpan kejahatannya." (adi)