Ia yang Memilih Tak Menjadi Indonesia...
Aku tak berdarah Indonesia, katanya. Kenapa kita Indonesia menjadi nesu dengan ungkapan jujur itu. Menjadi atau tak menjadi itu pilihan. Begitu pula menjadi untuk menjadi itu pun pilihan.
Maka menjadi dan tak menjadi Indonesia pun pilihan. Jika saja ia pun memilih menjadi bukan Indonesia, lalu apa yang salah dari pilihannya. Tak ada yang salah sampai kesalahan itu ditampakkan dengan ia balik mendiami Indonesia.
Hari-hari ini kita disibukkan dengan pilihan memilih, dan itu hak personal seseorang. Kenapa mesti kita menjadi resah bahkan murka dengan itu. Biar sajalah, seseorang boleh pergi dan menetap, Indonesia tak jadi bubar karenanya.
Maka kemarahan yang diluapkan di ruang publik dari seantero Indonesia, dari orang biasa, aktivis, intelektual jempolan bahkan politisi bukan kelas sembarangan, tentu pula ada dasarnya.
Agnez Mo namanya, bukan bicara ngawur. Ia bicara apa adanya, bahwa ia tak berdarah Indonesia. Ia berdarah Cina, Jepang dan Jerman, setidaknya itu pengakuannya. Setidaknya ia mengabarkan bahwa faktor empiris menjadi Indonesia itu tidaklah penting baginya.
Kemarahan di ruang publik itu pun tak penting, jika itu disambarkan pada seorang yang jelas memilih pilihannya dengan pilihan kesadaran: tak berketurunan Indonesia sebagai bagiannya. Lalu biar sajalah ungkapan kacang lupa kulitnya menjadi benar adanya untuk memaknai itu semua.
Ia yang "menolak" Indonesia biarlah berjalan di planet bumi lainnya, tanpa harus menginjak Indonesia, negeri yang tak diakui bukan sebagai tumpah darahnya. Dan kita, Indonesia, mestinya punya harga diri mempertanyakan itu semua, agar tidak sembarang orang kecil menaiki punggungnya yang tak sepantasnya. (ady amar)