Presiden Jokowi Terima WTP Ketiga Beruntun, BPK Soroti Utang
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menyatakan Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) tahun 2018 memiliki predikat Wajar Tanpa Pengecualian (WTP). Ini merupakan tiga tahun berturut-turut LKPP mendapat predikat tersebut sejak 2016.
Kendati demikian, BPK memberikan tiga catatan pada penyelenggaraan APBN 2018, antara lain terkait utang pemerintah, realisasi belanja subsidi, dan pertumbuhan ekonomi yang tak tercapai.
Kepala BPK Moermahadi Soerja Djanegara mengatakan, hasil itu berasal dari audit BPK terkait tujuh komponen di dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2018. Tujuh komponen tersebut terdiri atas laporan realisasi anggaran, laporan perubahan saldo anggaran lebih, neraca, laporan operasional, laporan perubahan ekuitas, laporan arus kas, dan catatan atas laporan keuangan.
"BPK memberikan opini WTP atas LKPP tahun 2018. Hal ini mengandung arti bahwa pertanggunjawaban pemerintah atas pelaksanaan APBN tahun 2018 dalam laporan keuangan secara material telah disajikan sesuai dengan Standar Akuntansi Pemerintahan," kata Moermahadi di Istana Negara Rabu 29 Mei 2019.
Dalam hal realisasi anggaran, BPK menetapkan penerimaan negara yang sudah diaudit sebesar Rp 1.943 triliun dan belanja sebesar Rp 2.213 triliun, sehingga defisit APBN tercatat Rp 269 triliun atau 1,79 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Meski defiist di angka Rp 269 triliun, namun pembiayaannya mencapai Rp 305 triliun sehingga ada tambahan Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SILPA) sebanyak Rp 36 triliun.
Dari sisi laporan operasional, audit BPK menunjukkan pendapatan operasional sebesar Rp 2.169 triliun dan beban operasional sebesar Rp2.249 triliun. Pendapatan operasional ini meningkat 20 persen dibanding tahun lalu sementara beban operasional naik 12 persen.
"Selanjutnya, BPK menyatakan posisi keuangan pemerintah pusat per 31 Desember 2018 menggambarkan saldo aset, kewajiban, dan ekuitas masing-masing sebesar Rp 6.325 triliun, Rp 4.917 triliun, dan Rp 1.407 triliun," katanya.
Meski memperoleh WTP, ada tiga catatan BPK terkait APBN 2018. Pertama, BPK menganggap positif asumsi dasar ekonomi makro APBN 2018 seperti inflasi di angka 3,13 persen dari target 3,5 persen dan tingkat bunga Surat Perbendaharaan Negara (SPN) sebesar 5,17 persen dari target 5,4 persen.
Hanya saja, ada beberapa indikator yang tak memenuhi target seperti pertumbuhan ekonomi yang hanya 5,17 persen atau lebih rendah dari target 5,4 persen.
Kemudian, BPK juga menyoroti rasio utang pemerintah yang kian meningkat sejak 2015. Pada 2018, rasio utang terhadap PDB mencapai 29,81 persen atau sudah meningkat dari tahun 2015 sebesar 27,4 persen.
Ketiga, BPK juga menyoroti realisasi belanja subsidi tahun 2018 sebesar Rp 216 triliun atau melebihi pagu anggaran sebesar Rp 150 triliun. Ini disebabkan karena realisasi harga minyak mentah Indonesia yang lebih tinggi dan pembayaran utang subsidi mencapai Rp 25 triliun.
"Pemerintah dan DPR perlu membahas skema pengelolaan keuangan dan pelaporan pertanggungjawaban yang tepat atas penetapan harga jual di bawah harga keekonomisan tersebut," pesan Moermahadi. (asm).