Humor Tiga Diktator Agung, Yahudi-Soviet dan Tukang Pos
Dalam suana mencermati perkembangan Perang Ukraina, banyak orang dibikin kaget dengan tindakan Rusia. Sontak orang pun menyaksikan kelucuan Presiden Ukraina, yang memang berlatar belakang seorang pelawak itu.
Ya, Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky, dulu merupakan seorang pelawak. Bernama lengkap Volodymyr Oleksandrovych Zelensky, dia lahir pada 25 Januari 1978 dari pasangan Yahudi Ukraina, Oleksandr Zelensky dan Rymma Zelenska.
Volodymyr Zelensky memiliki kekayaan bersihnya mencapai USD705 juta sekitar Rp10,08 triliun (kurs Rp14.300 per USD), seperti dilansir thetelmanggo.
Volodymyr Zelensky pernah mengikuti sebuah kompetisi komedi lokal yang kemudian merintis kariernya sebagai seorang aktor dan pelawak, membintangi sejumlah film laris di Ukraina. Itu dilakukannya saat berusia 17 tahun.
Kemudian, tahun 2015 dia membintangi serial televisi populer "Servant of the People" (Pelayan Rakyat), dimana dia berperan sebagai seorang guru sekolah yang terpilih menjadi presiden.
Kelucuan di panggung kekuasaan, juga terjadi saat terjadi kediktatoran. Tentu, kelucuan dan humor dimaksudkan untuk mengarahkan kritik, sebab lelucon merupakan cara beradab menghadapi tirani.
Stalin, Hitler dan Soeharto
Setelah hari kiamat, Tuhan berkenan untuk menanyai tiga orang dikator yang ditakuti di dunia dari atas kursi kebesaranNya yang bertahtakan intan-berlian.
Tuhan bertanya kepada Stalin, sang diktaktor komunis, “Apa yang paling kau yakini wahai Stalin?”
Stalin: “Saya yakin kelas proletariat membutuhkan kediktatoran untuk mengalahkan kelas kapitalis.”
Tuhan bertanya kepada Hitler, “Apa yang paling kau yakini wahai Hitler?”
Hitler: “Saya yakin ras aria adalah ras paling unggul dan kaum Yahudi harus dibasmi sampai keakar-akarnya..”
Lalu tiba giliran Soeharto ditanyai oleh Tuhan, “Apa yang paling kau yakini Soeharto?” Tanya Tuhan.
Soeharto, “Saya yakin Anda sedang duduk di atas kursi saya!”
Yahudi Soviet dan Tukang Pos
Cerita ini terjadi pada tahun 1960. Seorang Yahudi Sovyet tinggal di apartemennya sendiri di Moskow. Pada suatu tengah malam, ia dibangunkan oleh suara ketukan pintu yang keras dan gencar.
Ia berteriak: “Kamu siapa?”
Sebuah jawaban yang lantang berkumandang: “Aku tukang pos.”
Orang Yahudi itu segera bangun dari ranjangnya, membuka pintu dan merasa sedikit di luar dugaan. Di luar pintu ternyata berdiri 2 orang, satu di antaranya menanyanya: “Apakah kamu Glatstein?”
“Ya,” jawabnya dengan sabar.
“Apakah kamu telah mengajukan permohonan Izin Exit ke Israel?”
“Ya, aku pernah mengajukan permohonan tersebut.”
“Katakanlah kepadaku, kamu di Uni Soviet apa memiliki makanan yang cukup?”
“Ya.”
“Semua anak-anakmu mendapat pendidikan yang baik, bukan?”
“Ya.”
“Sekalipun demikian, nah, mengapa kamu masih mau meninggalkan negara kami?”
“Mengapa? Karena aku tak mau hidup di sebuah negara semacam ini: di sini seorang tukang pos pun pada dini hari jam 3 bisa mengetuk pintu rumahku dengan seenak perutnya.”