Humor Ternyata Dipandang Negatif, Ini Penjelasan Pakar
Humor dan lelucon berkembang di masyarakat. Khususnya, ketika masyarakat mengalami ketegangan dan situasi memanas.
Dalam suatu forum diskusi atau forum yang melibatkan banyak orang, humor dan lelucon sangat membantu untuk mencairkan suasana. Bahkan, dengan humor dan lelucon bisa lebih intim dan dialog pun bisa lebih gayeng.
Tapi, ternyata humor dan lelucong tidak dianggap penting, bahkan bisa dianggap negatif. Ini penjelasannya.
Oleh para filsuf, humor sebenarnya dianggap kurang terhormat sebagaimana tertawa. Tawa dianggap sebagai kenikmatan dunia yang perlu dihindari. Kalaupun boleh dinikmati, jangan sampai berlebihan.
"Humor dan tawa adalah eskapisme psikologis yang membuat orang cenderung menjauhkan diri dari kesadaran eksistensial dirinya," kata Rahmat Petuguran, dosen Bahasa Indonesia Universitas Negeri Semarang (Unnes).
Dalam catatannya, Rahmat menulis, ada beberapa pandangan filosofis yang menempatkan humor di median negatif. Plato memandang tawa sebagai emosi yang dapat mengurangi pengendalian diri dan pikiran rasional.
Karena itulah, dia mengatakan bahwa wali negara sebaiknya menghindari tawa. "Biasanya ketika seseorang meninggalkan tawa dengan kekerasan, kondisinya memprovokasi reaksi keras," tulisnya sebagaimana dikutip Standford Enscyclopedia of Philosophy.
Yang terutama mengganggu Plato adalah bagian-bagian di Iliad dan Odyssey ketika Gunung Olympus dikatakan berdering dengan tawa para dewa. Dia memprotes bahwa "Jika ada orang yang digambarkan dikuasai oleh tawa, kita tidak boleh menerimanya. Apalagi jika dewa."
Dari sikapnya yang keberatan dengan dengan tawa inilah Plato berpendapat bahwa dalam kondisi ideal, tawa mestinya dikontrol dengan ketat. Ia memandang tertawa mestinya cukup menjadi tradisi di kalangan budak atau pekerja asing. Sementara orang-orang bebas, baik laki-laki maupun perempuan, harus menghindarinya.
Pemikiran Yunani Kuno pasca-Plato juga memiliki pandangan negatif yang sama tentang humor dan komedi. Dalam Nicomachean Ethics, Aristoteles sependapat dengan Plato bahwa tertawa berarti mencemooh.
Orang-orang Stoa, dengan penekanan mereka pada pengendalian diri, setuju dengan Plato bahwa tawa mengurangi kontrol diri.
Epictetus, filsuf dari Stoa, menasihati: "Janganlah Anda tertawa keras, terlalu sering, atau tidak terkendali."
Para pengikutnya mengatakan bahwa Epictetus sendiri tidak pernah tertawa sama sekali.
Penilaian negatif para pemikir Yunani Kuno terhadap tawa dan humor mempengaruhi pemikir Kristen pada periode awal, dan kemudian juga mempengaruhi kultur Eropa. Sikap ini diperkuat oleh pernyataan negatif Alkitab tentang tawa dan humor yang menarasikan tawa sebagai ekspresi permusuhan.
Pandangan negatif terhadap humor dan tawa juga muncul pada periode awal Islam. Meskipun ada berbagai hadis yang menunjukkan Nabi Muhammad kadang bercanda dengan sahabat-sahabatnya, hadis lain menekankan agar tertawa dilakukan dengan porsi yang tepat.
"Dan janganlah terlalu banyak tertawa. Sesungguhnya terlalu banyak tertawa dapat mematikan hati," begitu bunyi terjemahan hadis itu.
Demikian menurut Rahmat Petuguran, dosen Bahasa Indonesia Universitas Negeri Semarang.
Advertisement