Humor Mendekatkan Sesama Manusia, Kata Inayah Wulandari
KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dikenal kaya akan humor. Ketika mengkritik kekuatan rezim Orde Baru yang tiran, Gus Dur menggunakan lelucon untuk mengarahkan kritik tajamnya.
Beberapa hari terakhir, Fachry Ali, seorang pengamat sosial politik, menyampaikan kembali secara segar, sederet anekdot Gus Dur. Khususnya, ketika ia memberi pelayanan pada Gus Dur saat konferensi di Monash University pada awal 1990an.
Lalu, bagaimana pandangan salah seorang putrinya?
Putri bungsu Presiden ke-4 RI Abdurrahman Wahid, Inayah Wulandari mengatakan, dalam hidup jadilah orang yang lucu. Karena humor itu bisa mendekatkan satu manusia dengan yang lainnya. Juga dalam hidup jangan terlalu banyak marah-marah.
Meski begitu, Inayah keberatan bila membeberkan hal-hal berkenaan dengan ayahnya Gus Dur dari sisi yang serius. Menurutnya, para ahli mampu menjelaskan peninggalan Gus Dur dalam soal politik, budaya, atau yang lain.
"Saya hanya akan menggambarkan Gus Dur berdasarkan apa yang saya alami sendiri sebagai anaknya,' kata Inayah Wahid semasa Gus Dur menjadi Presiden RI, ia mengecat rambutnya hingga menimbulkan kehebohan di kalangan kiai pesantren.
Beberapa contoh mengenai sikap hidup yang dilakukan Gus Dur dalam kehidupan sehari-hari termasuk apa yang terjadi pada dirinya.
"Di satu hari, saya mengecat rambut saya pink (merah muda), dan sekembalinya ke rumah, semua saudara saya marah karena dianggap tidak pantas. Mereka kemudian mengadu ke Bapak, yang kemudian memanggil saya dan bertanya apakah saya sudah siap menerima resiko digunjingkan bahwa sebagai anak Gus Dur tidak pantas berambut pink. Saya menjawab ya, dan Gus Dur mengatakan kepada yang lain, bahwa ya sudah, anaknya sudah siap," kata Inayah.
Selama hidupnya Gus Dur selain banyak memberikan pandangan soal budaya dan keagamaan, juga dikenal sebagai orang yang suka melucu, memiliki persediaan humor yang berlimpah.
"Yang penting adalah dalam hidup ini adalah menjadi lucu, karena humor bisa mendekatkan kita semua," kata Inayah.
Menurut Inayah, dalam situasi kehidupan di Indonesia saat ini, menjadi relevan untuk tidak melihat semua peristiwa dari sisi negatif sehingga semua hal ditanggapi dengan marah.
"Sekarang kita lihat ada polarisasi di Indonesia, ada dua kelompok yang berbeda pandangan tajam dalam segala hal. Apa yang dilakukan oleh kelompok sebelah selalu ditanggapi dengan negatif oleh kelompok lainnya. Cara yang dilakukan oleh kelompok yang menanggapi kekonyolan kelompok sebelah juga sama buruknya," kata Inayah.
Menurut Inayah setelah ayahnya meninggal pada Desember 2009, keluarga yang ditinggalkan berusaha melanjutkan apa yang sudah dilakukan Gus Dur selama hidupnya yaitu 'mengopeni' orang banyak. (Mengopeni adalah istilah dalam bahasa Jawa yang artinya memberikan perhatian kepada orang lain yang membutuhkan perhatian).
"Gus Dur banyak disebut sebagai 'orang yang memiliki satu jiwa namun memiliki energi 1 juta. Yang kami lakukan adalah karena tidak mungkin menciptakan Gus Dur lagi adalah menciptakan energi di banyak orang," tutur Inayah.
"Itulah yang kami lakukan dengan Gerakan Gus Durian, gerakan sejuta orang, menciptakan simpul-simpul dimana-mana yang bisa mempersatukan kita semua," kata Inayah lagi.
Menurut Inayah, Gus Dur, dalam pandangannya bukanlah tokoh pluralisme atau tokoh yang membela hak kelompok minoritas.
"Gus Dur membela kemanusiaaan, membela kelompok yang dilemahkan, Gus Dur ingin semua orang bisa menjadi diri mereka sendiri, karena itulah menurutnya merupakan jalan ke perdamaian."
*) Catatan:
Inayah Wulandari menyampaikan pandangan itu, dalam kuliah tahunan mengenang almarhum ayahnya yang diselenggarakan di Monash University Melbourne hari Sabtu 2 Desember 2017. Kuliah tahunan bertema "Minority Rights and Pluralism in Australia dan Indonesia: Lessons from KH Abdurrahman Wahid's Legacy (Hak Minoritas dan Pluraslime di Australia dan Indonesia: Pelajaran dari Peninggalan KH Abrurrahman Wahid) diselengarakan oleh Pengurus Cabang Istimewa NU Australia dan Selandia Baru. Selain Inayah Wahid, dikutip dari detik.com, yang menjadi pembicara dalam kuliah tahunan yang kedua ini juga Duta Besar RI untuk Australia Kristiarto Legowo dan Prof Tim Lindsey, pakar hukum Asia dari University of Melbourne.