Hukum Sosial Ekonomi dan Kejahatan Moralnya
Ada baiknya, bahkan suatu keharusan yang tak bisa ditawar-tawar yaitu kita harus berhenti bicara politik kekuasaan. Politik kelompok-kelompokan dan intrik-intrikan. Jika itu terus dilakukan, maka sejatinya itu tergolong sebuah kejahatan baru yang rasanya belum ada pasalnya dalam KUHP, yaitu suatu kejahatan moral.
Sebagai suatu bangsa, kita sedang dihadapkan pada hukum sosial ekonomi yang rumit dan nyata. Rumit karena beban ekonomi bangsa ini memang sangat berat. Beban utang yang menumpuk, produktivitasnya yang jauh merosot, PHK massal, membengkaknya pengangguran, dan masalah-masalah di seputar manajemen negara yang amatiran.
Masalah yang terakhir itu justru menjadi kunci, apakah negeri ini makin nyungsep atau justru bergerak pelan, merambat, lalu take off. Nada-nadanya harapan untuk take off itu jauh panggang dari api. Sebab unit analisis dari harapan itu tidak didukung oleh realitas yang ada dalam pemerintahan.
Rezim ini bergerak tanpa memperhatikan not-not balok piano yang suaranya indah itu. Apalagi para pemain musiknya bekerja dengan nada dasar yang berbeda-beda. Dalam suasana yang seperti itu, mustahil tercipta orkestra yang enak didengar. Sebab kemampuan teknikalitas para pemainnya masih kelas pengamin jalanan.
Di situ; tiada orang yang memiliki kemampuan untuk mengorkestrasi seluruh potensi para pemain musik sehingga tercipta musikalitas yang padu dan bening. Mengapa? Ini karena persoalan kompetensi dan rasa cinta bangsa yang sumbing.
Sementara para pejabat negeri ini masih bekerja dengan tradisi dan tempo zaman yang normal. Bahkan ada juga yang justru mengambil keuntungan di tengah bangsa yang terhimpit. Tentu ini adalah jenis kejahatan moral yang berikutnya.
Dan, jenis kejahatan moral itu justru muncul dari Istana Asmaradana itu. Tentu ini risiko tersendiri mengangkat "bocah-bocah ingusan" sebagai penasihat Raja. Raja mengira bahwa bocah-bocah ingusan itu adalah sama dan sebangun dengan para profesor yang otaknya basah dengan ilmu dan kearifan hidup. Salah total! Sebab Darah muda tidaklah identik dengan kejujuran, apalagi kebijaksanaan.
Meski fenomena ini terbilang kelucuan-kelucuan yang tidak memenuhi prasyarat untuk ditertawakan, namun harus tetap kita jadikan sebagai bentuk keprihatinan.
Di level akar rumput, hukum hukum sosial ekonomi itu sudah mulai bekerja untuk memperburuk keadaan. Perusahaan tutup, karyawan Work from Home (WfH), pergerakan sosial menyentuh angka 10 persen, barang-barang merambat naik, aksi begal, pencurian, perampokan, dan kelaparan mendera banyak rumah tangga.
Ayya......sudahlah. Sudahlah kita jangan pikirkan. Biarkan pengangguran itu berubah jadi kejahatan. Kejahatan yang tumbuh dari dalam sel-sel narapidana yang kabur secara legal konstitusional ditengah deru mesin pabrik yang mati kekurangan oli. Juga pasar ekonomi yang mati suri, krisis pembeli.
Lalu para narapidana yang dinilai berkelakuan baik itu berubah liar dan jahat kembali dalam situasi yang sejatinya orang bodoh pun tahu tak kondusif.
Tapi mengapa pemerintah melepas mereka secara masif; 30 ribuan orang narapidana itu? Hingga kini alasan kuat untuknya, tak juga masuk akal rakyatnya, mulai yang bodoh hingga yang pintarnya selangit. Kebijakan itu betul-betul miskin dari rasa empati sosial yang normal.
Mari kita lihat hasilnya! Rasa aman pun hilang. Sebab sepulang mereka dari penjara, mereka harus makan secara mandiri, sementara mereka harus berenang dalam kehidupan sosial baru yang paralisis. Sungguh terlalu engkau penguasa yang miskin ilmu dan analisa.
Adakah ini zaman Ramalan Jayabaya? Bahwa akan datang suatu masa, dimana orang bodoh memimpin kamu, dan orang baik tersingkirkan. Sedang para munafik tinggal di atas singgasana kekuasaan. Semoga Jayabaya itu salah total, sehingga kehidupan hari-hari tetap kembali pada yang normal.
Lalu kita mesti bagaimana, kawan? Sebab orang-orang baik pun sekarang ini menyepi di rumah. Bingung, entah apa yang mesti mereka lakukan. Glundung, glundung, glundung pelan-pelan membalik bantal guling. Sementara ratusan juta keluarga hidup rentan dari bahaya kemiskinan sistemik akibat korban kejahatan struktural yang berkomplot dengan pebisnis amoral.
Lalu kita mesti bagaimana kawan? Mungkin hanya sabar dan shalat yang bisa menjadi penolongmu. Jika engkau betul-betul utuh kembali pada.Nya, Dia akan berkata Kun Fayakuun; Jadilah maka Jadilah!!!
Fathorrahman Fadli
(Direktur Eksekutif Indonesia Development Research/IDR, dan Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Pamulang)
Advertisement