Hukum Shalat Jumat Bertepatan dengan Hari Raya (Idul Fitri dan Idul Adha)
"Bahwa hal tersebut (boleh tidak melaksanakan shalat Jumat dengan catatan sudah melaksanakan shalat ‘Ied) adalah keringanan (rukhshah) bagi orang Baduwi (nomaden/tinggal di gunung) yang hidup jauh dari Madinah." Pendapat ini diriwayatkan Imam Malik, Khalifah Umar bin Abdul Aziz dan Imam Syafi’i.
“Tahun ini ada kemungkinan hari raya Idul Fitri jatuh di hari Jumat. Bagaimanakah hukum shalat Jumat ketika hari raya Idul Fitri atau Idul Adha bertepatan dengan hari Jumat?”
Demikian pertanyaan diajukan Ahmad Syahid, aktivis musala di Bubutan Surabaya pada ngopibareng.id.
Untuk menjawab pertanyaan ini, ngopibareng.id menghadirkan penjelasan Syaikh Ali Jum’ah, guru besar dari Universitas Al-Azhar, Cairo, Mesir. Berikut penjelasan lengkapnya:
Menurut Imam Ibnu Rusyd ada tiga pendapat utama mengenai persoalan ini, yaitu:
1. Bahwa shalat ‘Ied sudah mencukupi atau menggantikan shalat Jum’at (yazja’u al-‘îd ‘an al-jumu’ah). Pendapat ini merujuk pada riwayat ‘Athâ’ bin Rabbah (tabi’în) dari Ibnu Zubeir dan Sayyidina Ali. (Ibnu Rusyd, Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid, Kairo: Darus Sallam, 2017, hlm 232)
Pendapat ini juga dikemukakan oleh Imam Ahmad dan sebagian dari Madzhab Syafi’i.
صَلَّى بِنَا ابْنُ الزُّبَيْرِ فِى يَوْمِ عِيدٍ فِى يَوْمِ جُمُعَةٍ أَوَّلَ النَّهَارِ ثُمَّ رُحْنَا إِلَى الْجُمُعَةِ فَلَمْ يَخْرُجْ إِلَيْنَا فَصَلَّيْنَا وُحْدَانًا وَكَانَ ابْنُ عَبَّاسٍ بِالطَّائِفِ فَلَمَّا قَدِمَ ذَكَرْنَا ذَلِكَ لَهُ فَقَالَ أَصَابَ السُّنَّةَ
“Ibnu Zubair shalat bersama kami di hari ‘Ied pada har Jumat di awal siang, kemudian ketika waktu shalat Jum’at tiba, dia tidak keluar maka kami shalat sendiri-sendiri. Saat itu Ibnu ‘Abbas sedang berada di Thaif, ketika dia datang, kami ceritakan perilaku Ibnu Zubar, dan Ibnu Abbas mengatakan: “Ia telah menjalankan sunnah.” (H.R. Imam Abu Dawud) (Syekh Ali Jum’ah dalam “Shalah al-Jum’ah Idza Ja’at Yaum al-‘Id” diakses 5 Juni 2018)
عن علي قال: اجتمع عيدان في يوم، فقال: من أراد أن يجمع فليجمع، ومن أراد أن يجلس فليجلس. قال سفيان: يعني يجلس في بيته
“Dari ‘Ali, dia berkata: “telah berkumpul dua hari raya di hari Jum’at,” kemudian dia berkata: “Barangsiapa yang ingin jumatan, maka datanglah jumatan. Barangsiapa yang ingin duduk, maka duduklah.” Sufyan berkata: “Yang dimaksud duduk adalah duduk tinggal di rumahnya.” (H.R. Imam Abdur Razak al-Shan’ani dalam Mushannafnya)
2) Bahwa hal tersebut (boleh tidak melaksanakan shalat Jumat dengan catatan sudah melaksanakan shalat ‘Ied) adalah keringanan (rukhshah) bagi orang Baduwi (nomaden/tinggal di gunung) yang hidup jauh dari Madinah. Pendapat ini diriwayatkan oleh Imam Malik, Khalifah Umar bin Abdul Aziz dan Imam Syafi’i. Dalilnya adalah khutbah ‘Ied Sayyidina Usman ketika hari raya jatuh di hari Jumat:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّ هَذَا يَوْمٌ قَدِ اجْتَمَعَ لَكُمْ فِيهِ عِيدَانِ، فَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يَنْتَظِرَ الْجُمُعَةَ مِنْ أَهْلِ الْعَوَالِى فَلْيَنْتَظِرْ ، وَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يَرْجِعَ فَقَدْ أَذِنْتُ لَهُ
“Wahai manusia, sesungguhnya hari ini telah berkumpul dua hari raya. Barangsiapa yang ingin menunggu hingga shalat Jum’at bagi ahlu al-‘awâlî (nomaden/tinggal di gunung), silahkan menunggu. Barangsiapa yang ingin pulang, maka kuizinkan melakukannya.” (H.R. Imam Malik dan Imam Bukhari)
3) Shalat Jum’at tetap wajib karena keduanya adalah ibadah yang berbeda. Shalat ‘Ied hukumnya sunnah, sedangkan shalat Jum’at hukumnya wajib, maka tidak bisa menggantikan satu sama lain (lâ yanûbu ahduhumâ ‘an al-akhar). Ini adalah pendapat Imam Abu Hanifah dan Imam Malik.
Yang perlu digarisbawahi di sini adalah, bahwa masalah ini termasuk dalam kategori khilafiyah (ulama berbeda pendapat) dan memiliki dalilnya sendiri-sendiri. Sebagai penutup nasihat Syekh Ali Jum’ah sangat penting untuk dibaca:
فالأمر في ذلك واسع ما دامت المسألة خلافية ولا يعترض بمذهب على مذهب، فتقام الجمعة في المساجد؛ عملًا بالأصل والأحوط، ومن كان يشق عليه حضور الجمعة أو أراد الأخذ بالرخصة فيها تقليدًا لقول من أسقط وجوبها بأداء صلاة العيد فله ذلك، بشرط أن يصلي الظهر عوضًا عنها من غير أن يثرب على من حضر الجمعة أو ينكر على من أقامها في المساجد أو يثير فتنةً في أمر وسع سلفنا الخلاف فيه
“Persoalan hukum shalat Jum’at di hari raya itu sangat luas selama masuk dalam kategori khilafiyah. Tidak sepatutnya seseorang membenturkan madzhab satu (pendapat satu) atas madzhab lainnya. Dengan demikian, shalat Jum’at harus tetap dilaksanakan di masjid-masjid, sebagai bentuk pengamalan terhadap hukum asalnya (wajib) dan untuk kehati-hatian dalam beragama. Barangsiapa yang kesulitan menghandiri shalat Jum’at atau ingin mengambil rukhsah (keringanan) dengan taklid pada pendapat yang menggugurkan kewajiban shalat Jum’at dengan melaksanakan shalat Ied, dia boleh melakukannya dengan syarat tetap melaksanakan shalat Zuhur sebagai ganti dari shalat Jum’at. Pun jangan menyalahkan orang yang menghadiri shalat Jum’at, atau mengingkari orang yang melaksanakannya di masjid-masjid, atau memicu fitnah dalam perkara yang para salaf kita telah dengan lapang menerima perbedaan pendapat.” (Syekh Ali Jum’ah dalam “Shalah al-Jum’ah Idza Ja’at Yaum al-‘Id” diakses 5 Juni 2018)
Wallahu a’lam. (adi)
Advertisement