Hukum dan Keadilan, Lebih Penting Rasa Keadilan
Suatu siang beberpaa hari lalu Bekasi disiram hujan yang lewat sesaat, sehingga sinar matahari menjadi redup. Mungkin isyarat grafik situasi kondisi (Sikon) cenderung menurun, karena masing-masing menyadari ada kepentingan bersama sebagai bangsa yang perlu dijaga. Alhamdulillah.
Di negara demokrasi, tarik ulur sering terjadi. Misalnya, Pilpres di Amerika Serikat, Presiden Donald Trump tetap ngeyel meskipun Mahkamah Agung menolak gugatan Trump tentang keabsahan suara di negara bagian Texas. Saya jadi bertanya, apa demokrasi itu seperti debat kusir seperti ketika saya aktivis kampus dahulu.
Pokok masalah sehingga terjadi kasus Karawang minggu lalu bersumber dari pemahaman tentang “hukum dan keadilan“, dalam kasus pelanggaran Protokol Kesehatan. Satu pihak menganggap hukum yang diterapkan sudah “Adil “, pihak lain menganggap tuntutan hukum tersebut “terlalu jauh“ atau belum memenuhi rasa keadilan.
Ketika kuliah dahulu, dosen ilmu hukum menggambarkan pentingnya memaknai soal adil dan rasa adil. Dengan istilah bener/benar (adil) dengan “pener“ (rasa keadilan masyarakat). Adil merujuk pada pemahaman formal, sedang rasa keadilan mengkaitkan hukum dengan situasi sosial, budaya keamanan dan sosial ekonomi.
Ketika hakim memutus 6 bulan untuk nenek tua yang mencuri 3 buah coklat sama dengan pencuri mobil Mercy, masyarakat umum sudah pasti akan terusik “rasa keadilannya“.
Apalagi situasi sekarang dalam suasana prihatin sebagai dampak dari pandemi Covid 19 yang mengakibatkan kondisi masyarakat yang rentan. Siapa pun pemimpin negeri ini, pasti memerlukan kondisi yang positif agar bisa mengatasi masalah berat tersebut. Insya Allah hujan siang menjadi isyarat baik.
(Dalam pernyataannya, Presiden Joko Widodo berseru kepada seluruh golongan masyarakat untuk tunduk pada hukum demi kepentingan masyarkat secara keseluruhan. Kalau ada warga yang merasa dirugikan secara hukum bisa mengadukan misalnya ke Komnas HAM. Menegaskan aparat keamanan dalam melakukan tugasnya dilindungi hukum, tetapi aparat keamanan juga harus hormati HAM warga negara).
Suatu statemen bijak dan seimbang yang membuka harapan untuk mencari solusi polarisasi yang terjadi pasca-Pilkada DKI 2016.
Seorang warganet, Agus Mulyana berujar: Terkadang penegak hukum tidak bisa menggunakan nurani hatinya, dalam mengambil keputusan lebih mengedepankan positivisme dalam membaca ayat hukum. Tafsir hukum terlalu tekstual, hanya dengan kasat mata. Padahal hakikat kebenaran itu ada di hati yang tidak bisa dibohongi.
DR KH As'ad Said Ali
Pengamat Sosial-Politik, Wakil Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) periode 2020-2015. Tinggal di Jakarta.
Advertisement