Hubungan Badan Saat Haid dan Nifas, Ini Sanksinya
"Status hukum praktik jimak saat istri sedang haidh juga berlaku pada praktik jimak saat istri sedang menjalani masa nifas".
Pada saat tertentu, gejolak ingin bersama istri di ranjang tak tertahankan. “Tapi, kebetulan saat itu istri saya lagi haid. Ustadz, bagaimana hukumnya ya seperti itu?”
Demikian tanya Irawan, warga Kalijudan Surabaya pada ngopibareng.id. Persoalan serupa memang cukup banyak masuk ke meja redaksi.
Hubungan badan atau aktivitas seksual dalam artian jimak saat istri sedang haidh merupakan pelanggaran berat. Praktik ini disepakati oleh ulama perihal keharamannya berdasarkan Surat Al-Baqarah ayat 222. Ustadz Alhafiz Kurniawan menjelaskan hal itu. Berikut penjelasan lengkapanya:
Status hukum praktik jimak saat istri sedang haidh juga berlaku pada praktik jimak saat istri sedang menjalani masa nifas. Hubungan badan saat istri sedang menjalani masa nifas juga merupakan pelanggaran berat sebagai keterangan berikut ini:
ويحرم بالاتفاق إتيان الحائض، ومستحله كافر، لقوله تعالى: وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ وَلَا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّى يَطْهُرْنَ فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللَّهُ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ [البقرة:222/2] والنفساء كالحائض.
Artinya, “Hubungan badan dengan istri yang sedang haidh haram berdasarkan kesepakatan ulama. Seorang Muslim yang menganggapnya halal bisa berubah menjadi kufur. Keharaman ini didasarkan pada firman Allah, ‘Mereka bertanya kepadamu tentang haidh, katakanlah, ‘Itu adalah kotoran. Maka itu, jauhilah perempuan saat haidh. Jangan kalian dekati mereka hingga mereka suci. Kalau mereka telah suci, maka datangilah mereka dari jalan yang Allah perintahkan kepadamu. Sungguh, Allah menyukai orang yang bertobat dan orang yang bersuci,’’ (Surat Al-Baqarah ayat 222). Mereka yang tengah melalui masa nifas sama dengan mereka yang sedang haidh,” (Lihat Syekh Wahbah Az Zuhayli, Al-Fiqhul Islami wa Adillatuh, Beirut, Darul Fikr, cetakan kedua, 1985 M/1405 H, juz 3, halaman 552).
"Mereka yang melakukan pelanggaran berat ini dikenakan sanksi berupa denda sebesar satu atau setengah dinar."
Mereka yang melakukan pelanggaran berat ini dikenakan sanksi berupa denda sebesar satu atau setengah dinar. Penetapan sanksi ini merujuk pada hadits riwayat Abu Dawud dan Al-Hakim berikut ini:
ويسن لمن وطئ الحائض أن يتصدق بدينار إن وطئها في إقبال الدم، وبنصفه في إدباره؛ لخبر أبي داود والحاكم وصححه: «إذا واقع الرجل أهله وهي حائض، إن كان دماً أحمر فليتصدق بدينار، وإن كان أصفر، فليتصدق بنصف دينار»
Artinya, “Seorang suami yang berhubungan badan dengan istrinya saat haidh dianjurkan untuk bersedekah satu dinar bila hubungan dilakukan saat darah haidh baru keluar (masih deras), dan setengah dinar saat darah haidh mulai surut beradasarkan hadits riwayat Abu Dawud dan Al-Hakim. Ia (Al-Hakim) menilai shahih hadits ini. rasulullah SAW bersabda, ‘Jika seseorang behubungan badan dengan istrinya saat ia haidh, hendaklah ia bersedekah satu dinar bila darah haidhnya masih merah dan setengah dinar bila darah haidhnya sudah menguning,’” (Lihat Syekh Wahbah Az-Zuhayli, Al-Fiqhul Islami wa Adillatuh, Beirut, Darul Fikr, cetakan kedua, 1985 M/1405 H, juz 3, halaman 552).
Selain dikenakan sanksi karena pelanggaran berat, seseorang juga diwajibkan untuk bertobat kepada Allah karena praktik ini merupakan dosa besar yang harus dijauhi. Pertobatan ini dilakukan oleh pasangan suami-istri sebagai keterangan berikut ini:
فمن وطئ امرأته أثناء نزول الدم فإنه يأثم وتجب عليه التوبة فورا كما تأثم هي بتمكينه ومن السنة أن يتصدق بدينار أو بنصفه وقد بينا مقدار الدينار في "كتاب الزكاة" فارجع إليه "حنفي-شافعي
Artinya, “Orang yang berhubungan badan dengan istrinya di tengah tetesan darah haidh berdosa. Ia wajib bertobat segera sebagaimana istrinya juga berdosa yang bersedia hubungan badan saat haidh. Ia dianjurkan untuk bersedekah satu dinar atau setengah dinar seperti kami telah terangkan ukuran dinar pada Bab Zakat. Silakan merujuk ke sana, menurut Mazhab Hanafi-Mazhab Syafi’i,” (Lihat Syekh Abdurrahman Al-Jaziri, Al-Fiqhu ala Madzahibil Arba‘ah, Beirut, Darul Fikr, cetakan kedua, tanpa catatan tahun, juz I, halaman 114).
Meskipun sanksi ini tidak mengikat, tetapi pelanggaran ini tidak boleh diremehkan oleh pasangan yang istrinya sedang haidh atau menjalani masa nifas. Pelanggaran ini diganjar dengan dosa luar biasa besarnya.
Sebagaimana diketahui satu dinar setara satu mitsqal emas, yaitu 4,25 gram. Wallahu a‘lam. (adi)