HS Dillon Meninggal Dunia, Membawa Cinta Indonesia
Harbrinderjit Singh Dillon --lebih populer dengan nama pendeknya, H.S. Dillon-- meninggal dunia. Satu-satunya tokoh keturunan Sikh di Indonesia, mengembuskan nafas terakhir di RS Siloam, Kuta Bali, pada Senin 16 September, pukul 18.27 WIT.
HS Dillon mempunyai kedekatan dengan sejumlah tokoh Indonesia, karena kepekaannya pada isu-isu kemanusiaan, khususnya soal hak asasi manusia (HAM). Ia pun pernah menerima Tanda Jasa Mahaputra dari Presiden.
Berita meninggalnya HS Dillon segera beredar di sejumlah media sosial. Termasuk pernyataan duka dari Mpu Jaya Prema, rohaniwan Bali yang sebelumnya lebih dikenal sebagai Putu Setia. Segera setelah berita itu, para tokoh lain pun mengucapkan duka cita: Teuku Kema Fasya, Jajang C Noer, Wardah Hafidz, dll.
Dalam beberapa pertemuan, seperti disaksikan ngopibareng.id, HS Dillon tetap semangat memikirkan problem-problem masyarakat Indonesia. Pada Temu Akbar Musyawarah Budaya Indonesia pada 2018, HS Dillon hadir di antara sejumlah tokoh, seperti Radhar Panca Dahana, Christianto Wibisono, Abd A'la, Erros Djarot, dll.
Tokoh kelahiran Medan, Sumatera Utara, 23 April 1945, pernah menjadi Direktur Kemitraan bagi Pembaruan Tata Pemerintahan. Di masa pemerintahan Presiden KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) ia pun kerap memberikan kontribusi bagi arah perkembangan pertanian di Indonesia.
Sebagai keturunan India, ia pernah meraih Global Award dari Priyadarshni Academy, India. Penghargaan itu diterima karena Dillon dinilai sebagai keturunan India yang memberikan kontribusi pada negara tempat tinggalnya.
Semasa reformasi, lelaki bertinggi badan 173 cm berat 70 kg ini sering muncul di layar kaca atau media cetak. Maka wajar kalau kemudian Dillon, kendati bukan artis, dikenal hingga ke pelosok Tanah Air.
HS Dillon adalah tokoh keturunan Sikh di Indonesia yang menjadi birokrat. Meski setia dengan identitas Sikh-nya, keindonesiaan Dillon tak diragukan lagi. Beberapa gagasannya untuk memajukan taraf hidup petani terbukti berhasil. Antara lain, lewat pola perkebunan inti rakyat (PIR) yang dipraktikkan di Labuhan Batu, Sumatera Utara. Yakni pembagian lahan perkebunan negara kepada buruh dan masyarakat setempat.
Proyek inilah yang pertama kali membuktikan bahwa petani juga mampu membudidayakan kelapa sawit.
Hasilnya, produktivitas karet dan kelapa sawit, yang dikelola dengan pola PIR, pada 1980-an, dapat mengalahkan perkebunan besar.
Dillon pun kerap mewakili Indonesia dalam pertemuan-pertemuan internasional. Ia, misalnya, pernah dipercaya menjadi utusan khusus untuk membantu Jacques Diouf menjadi Dirjen Food and Agriculture Organization (FAO) pada 1993. Ia juga pernah terpilih sebagai anggota Consultative Committee Common Fund for Commodities, yang berkedudukan di Amsterdam. Dillon pun pernah menjabat Vice President Asian Society of Agricultural Economist, 2001.
Karena sosoknya yang Sikh itu, di banyak acara internasional dia disangka sebagai delegasi India ketimbang Indonesia. "Bahkan saya pernah ditolak di sebuah kedutaan kita di Eropa," kata Dillon sambil tertawa, kenangnya pada sejumlah media ketika itu.
Sebagai bungsu dari tujuh bersaudara putra-putri pasangan Partap Singh dan Dhan Kaur, HS Dillon mendapat kasih sayang dan harta berlimpah. Ayahnya adalah pengusaha pertanian terkemuka di Sumatera Utara.
Sejak kecil, dia sering diajak ayahnya berkeliling melihat-lihat suasana perkebunan. Dillon kecil bertemu realitas bahwa nasib petani sangat memprihatinkan. Ia menyaksikan pergulatan hidup para petani, orang desa, dan buruh perkebunan dalam mengarungi hidup. Ia melihat buruh perkebunan Sumatera Utara tetap menderita meski sudah bekerja habis- habisan.
Sebaliknya, para administratur dan elite perkebunan berfoya-foya. "Sejak itu, saya sudah bertekad untuk punya ilmu yang bisa membantu mereka. Kita tidak mungkin menjadi bangsa yang kuat selama masyarakat pedesaan kita masih lemah," kata Dillon suatu ketika, mengenang perjalanan hidupnya.
Empati itu tertanam terus sampai dia dewasa. Ketika ayahnya berharap dia meneruskan sekolah ke kedokteran, Dillon lebih memilih Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara. Pilihan ini membuat dia membelot dari tradisi keluarga yang turun-temurun berkecimpung di pentas bisnis.
Ia total terjun ke bidang pertanian sebagai jalan hidup. Pada 1974, Dillon, yang sejak berusia lima tahun sudah berserban, hijrah ke ke Bogor, meneruskan studi di Institut Pertanian Bogor. Dia kemudian berkarier di Departemen Pertanian.
Pada 1983, Dillon meraih doktor ekonomi pertanian di Cornell University, Ithaca, New York. Disertasinya, Growth with Equity: the Case of the North Sumatera Smallholder Development Project, diilhami pergulatannya dengan petani di kampungnya.
Kini, HS Dillon telah meninggal dunia. Cintanya pada Indonesia dibawanya hingga mati menjemputnya. Semangat dan kecintaannya pada negeri ini, tak pernah luntur baginya. Selamat jalan Pak Dillon.
Advertisement