Horor, Menyusuri Puncak Bukit Menoreh di Petang Hari
Ini pengalaman liburan Natal dan Akhir tahun yang mengesankan sekaligus bikin deg-degan. Betapa tidak? Tanpa direncanakan, sekeluarga harus menyusuri puncak tertinggi bukit menoreh di Kulonprogo, Yogyakarta, di petang hari menjelang maghrib.
Ceritanya begini. Setelah menghadiri pernikahan penulis dan budayawan Adi Wicaksono, raja monolog Butet Kertarejasa menawari wisata kuliner yang tidak biasa. Ia mengajak makan siang ikan bacem di dekat kali Progo. Ini bukan tempat makan biasa. Tapi rumahan yang menyediakan makanan bacem ikan segar kali Progo dengan masakan khas ala ndeso.
"Ini premium. Mereka hanya menyediakan makanan ikan yang baru ditangkap dari kali Progo yang ada di sebelah rumahnya," ujar Butet penuh meyakinkan.
Pak Sukro --nama pemilik rumah itu-- memasak khusus sesuai dengan pesanan. Selain ikan bacem yang empuk, juga disediakan berbagai sayuran oseng-oseng daun pepaya, bobor bayem, dan berbagai jenis sambal yang membuat susah berhenti mengunyah.
Rumahnya berubah menjadi warung dengan hanya digelar tikar di emperan. Selain saya sekeluarga dan Butet, ikut dalam rombongan wisata kuliner itu founder Tempo Goenawan Mohammad, pelukis Nasirun, Preskom Balai Pustaka Hamid Basyaib, Direktur Kumparan Yusuf Arifin, musisi Djadug Ferianto, Ong Hari Wahyu, pengamat politik Dodi Kuskrido, Adi Wicaksono, dan sejumlah kawan dari Jakarta.
Usai makan sampai berkeringat, Butet mengajak kami untuk meneruskan wisata kuliner dengan mencari durian di daerah Kalibawang, beberapa kilo dari tempat makan. Tepatnya di bawah Suralaya, jalan menuju Candi Borobudur Magelang. Daerah itu memang dikenal sebagai pusat durian yang enak.
Selesai? Belum. Butet yang didampingi istrinya itu menawarkan untuk menuntaskan petualangan kuliner siang itu dengan ngopi di Suralaya, salah satu puncak Bukit Menoreh. "Ada kopi enak sekali di sana," tuturnya. Butet memang dikenal jago menemukan tempat kuliner khas dan tidak mainstream.
Tidak semua penggila kuliner ikut. Rombongan makin kecil. Tinggal saya sekeluarga, Butet bersama istri, Yusuf Arifin dengan Istri, Hamid Basyaib, dan Dodi Kuskrido. Itu pun saya sempat kesasar jalan karena tak melihat rombongan lain belok ke arah Suroloyo. Saya sempat kesasar sampai ke goa bunda Maria. Dengan berbekal aplikasi Waze, saya akhirnya bisa menyusul rombongan Butet di tempat ngopi, Puncak Suroloyo.
Ini memang tempat ngopi yang lumayan asyik. Udaranya sejuk dengan sepoi-sepoi semilir angin. Meski tempat ngopinya seperti warung biasa, yang disuguhkan adalah kopi robusta asli bukit Manoreh. Tidak hanya kopi yang diseduh ala brewer perkotaan, tehnya pun sangat sedap.
Begitu menjelang senja dan kabut mulai turun, kami pun berpisah. Butet dan kawan-kawan kembali ke Yogya, kami sekeluarga meneruskan perjalanan ke Purwokerto. Mereka turun ke arah timur, saya ke barat menuju kota Purworejo.
Disinilah petualangan perjalanan yang bikin deg-degan bermula. Sebetulnya, dari puncak bukit Suroloyo, 48 km dari kota Yogya ini, kota Purworejo bisa terlihat. Juga Candi Borobudur. Di sekitarnya terlihat hamparan hijau dengan beberapa blok perkampungan yang hanya terlihat genteng-genteng coklat.
Sebetulnya, sebelum berangkat saya telah mengecek peta menuju Purworejo dengan Waze. Melalui aplikasi itu, perjalanan menuju Purworejo diperkirakan akan ditempuh 1,24 jam. Kami pun berangkat dengan sopir anak perempuan pertama saya.
Nah, setelah 10 menit perjalanan, ada jalan bercabang. Lurus atau belok ke kiri. Dalam keraguan, kami memutuskan untuk lurus. Waze tidak lagi berguna karena setelah puncak Suralaya tak ada lagi sinyal. Akhirnya, kami pun berjalan hanya dengan mengandalkan instink.
Mulailah perjalanan menegangkan berlangsung. Ternyata, jalan yang kami pilih tidak menuju Puworejo, melainkan ke puncak bukit yang lain. Pilihan kami salah. Seharusnya, di persimpangan sebelumnya kami ke kiri.
Tapi apa boleh buat. No return. Tidak ada jalan untuk kembali. Jalan yang kami lalui sudah perbukitan. Tidak ada tempat untuk bisa berbalik arah. Jalan pun hanya cukup satu mobil besar MPV yang kami tumpangi berenam.
Saya tidak membayangkan jika ada mobil dari arah berlawanan. Pasti susah. Tidak bisa simpangan. Kanan tebing, kiri jurang yang curam.
Karena kondisi jalan yang menanjak dan sempit, kemudi pun saya ambil alih. Naik dan terus naik. Tak ada manusia tampak. Apalagi kendaraan. Satu-satunya penunjuk arah tinggal siluet matahari yang mulai terbenam. Kabut juga mulai tampak di kanan kiri perbukitan. Seakan kami berkendara sendiri di atas awan.
Hampir satu jam, jalanan sempit itu masih terus naik. Sementara suasana mulai gelap. Siluet senja matahari sedikit demi sedikit hilang. Jalanan tak semuanya bagus.
Kembali ke arah Suroloyo?Tak mungkin. Sebab, sampai hampir sejam tidak kami temukan tempat lapang yang bisa digunakan untuk berputar balik arah. Harus terus dan terus.
Dalam hati saya mulai khawatir. Sebab, bersama saya istri dan keempat anak. Namun, saya tak mungkin menunjukkan kekhawatiran saya supaya yang lain tidak ikut panik. Saya mulai berpikir tentang cara survival jika tidak mencapai perkampungan. Atau kalau mobil macet di tengah perjalanan.
Entah sengaja atau tidak, anak-anak dalam mobil menyetel album Pink Floyd yang terdengar magis. Makin terasa magis di suasana puncak gunung sendirian dalam suasana yang makin gelap.
Karena melaju dalam tanjakan, mobil transmisi otomatis itu disetel manual. Hanya bisa menggunakan gigi satu agar terus kuat menanjak. Beberapa kali harus mengatur nafas dan tegang karena tanjakan seakan tak ada ujungnya.
Hampir sejam perjalanan akhirnya kami sampai di puncak. Tanpa terasa kami mencapai puncak Widosari, puncak tertinggi di Kulonprogo. Utara puncak Suroloyo. Disamping kiri, terlihat puncak bukit seperti kepala manusia.
Kami berada sejajar dengan pucak bukit kepala manusia yang terlihat menyembul diantara siluet matahari yang makin temaram. Tak ada pikiran untuk berhenti sejenak karena takut kemalaman.
Perasaan mulai lega ketika melihat ada infrastruktur tiang listrik. Ini petunjuk bahwa di sekitar kawasan itu ada perkampungan. Kalau sudah ada tiang listrik pasti ada kehidupan di sekitarnya. Ternyata, kami masuk ke wilayah kebun teh Tritis.
Ternyata, kami telah menyusuri jalan perbatasan Yogyakarta dan Jawa Tengah untuk menuju Purworejo.
Makin lega lagi, pas waktu maghrib menemukan masjid Al Huda di Dlingo, Kulonprogo.
Kami memutuskan berhenti untuk salat sambil menurunkan ketegangan. Kebetulan, di depan masjid ada tempat spot foto-foto yang indah dengan tempat parkir yang luas.
Perkiraan sampai Purworejo 1.24 jam akhirnya ditempuh 2,5 jam.
By the way, inilah pengalaman perjalanan yang mengasikkan dan menegangkan tanpa direncanakan sebelumnya.
Ini mengingatkan perjalanan yang sama menegangkan saat ke Karangduwur, Kebumen, beberapa tahun lalu. Sungguh liburan bersama keluarga yang mengasyikkan. Meski bikin deg-degan. (arif afandi)