Hompipah...Otak-Atik Pilgub Jatim
TANDA-TANDA Khofifah Indra Parawansa untuk maju dalam pemilihan Gubernur Jawa Timur 2018 makin terang. Meski berbagai pernyataannya dia bilang baru tahap check sound, dalam gerak langkahnya sudah menuju ke sana. Hampir tiap akhir pekan, perempuan yang kini menjabat Menteri Sosial Kabinet Presiden Jokowi ini, selalu pulang kampung. Keliling Jatim.
Jika ia betul-betul maju, maka layak juga mendapatkan rekor MURI. Sebab, Ketua Umum PP Muslimat tiga periode ini akan tercatat sebagai seseorang yang tiga kali mencalonkan diri sebagai gubernur berturut-turut. Dua kali sebelumnya, ia sudah dikalahkan pasangan Soekarwo-Saifullah Yusuf. Kali ini, bisa menjadi pertaruhan terakhirnya: menang atau kalah.
Lantas masih mungkinkah ia mendapat dukungan partai untuk berlaga kali ketiga memperebutkan karpet merah ke Grahadi? Sangat mungkin. Hanya saja, ia harus menyeberang dari partai pendukung tradisionalnya. Sebab, ia tak mungkin mendapat dukungan PKB, partai yang dalam pilgub lalu menjadi pengusung sekaligus pengusung utamanya.
PKB sudah jauh hari mendeklarasikan mendukung Saifullah Yusuf alias Gus Ipul. Langkah PKB ini diambil setelah sejumlah kiai sepuh di Jatim memintanya untuk mengusung calon yang dikehendaki mereka. Para kiai rujukan di provinsi tempat kelahiran NU ini menginginkan saatnya Gubernur Jatim dipegang warga Nahdliyin. Dan yang diberi sampur itu adalah Gus Ipul yang sudah dua periode menjadi wakil gubernur.
Pilihan kedua adalah PDI Perjuangan? Bisa saja. Sebab, ia adalah salah satu menteri dari presiden yang diusung partai berlambang kepala banteng moncong putih itu. Namun, bisik-bisik yang cukup keras, partai pimpinan Megawati Soekarnoputri ini sudah kesengsem dengan Gus Ipul. Apalagi, Megawati dan Gus Ipul punya hubungan sejarah kekeluargaan yang panjang.
Gus Ipul adalah salah satu dari dua orang yang secara khusus dititipkan almarhum Gus Dur ke Megawati. Karena itu, putri Bung Karno itu pula yang membiayai sepenuhnya perkawinan Gus Ipul. Bahkan yang mengontrakkan rumah setelah keponakan Gus Dur ini menikah.
Gus Ipul juga pernah menjadi anggota DPR RI lewat PDI Perjuangan di pileg pertama setelah reformasi. Namun, ia terpaksa harus mundur dari anggota FPDI Perjuangan untuk menemani Gus Dur setelah tidak menjadi presiden. Menurut kesaksian Dr Cornelis Lay, dosen UGM yang sangat dekat dengan Megawati, Gus Ipul satu-satunya politisi yang mundur dari partai itu melalui rapat pleno. Ia pamit dengan baik-baik dan diantar khusus serta seizin Megawati.
PDI Perjuangan juga mengakui secara khusus peran Gus Ipul sebagai Ketua PBNU untuk ikut mendorong lahirnya keputusan presiden tentang 1 Juni sebagai hari lahir Pancasila. Keputusan itu merupakan perjuangan panjang PDI Perjuangan. Dengan mengalang opini publik dan dukungan sejumlah Ormas Islam, perjuangan itu berhasil. Gus Ipul dan PBNU punya andil besar dalam hal ini.
Lantas bagaimana peluang Khofifah diusung PDI Perjuangan? Ia agak sulit berangkat dari partai ini karena ada "cacat" dalam sejarah politiknya. Ia pernah meminta dukungan PDI Perjuangan dalam putaran kedua Pilgub 2008 dengan janji akan mendukung Megawati dalam Pilpres 2009. Konon, janji itu tidak ditepati sehingga hal itu menjadi rapor merah dalam relasi Ketua Umum PP Muslimat ini dengan partai tersebut.
Pilihan ketiga adalah Partai Golkar. Khofifah punya sejarah khusus dengan partai ini. Terutama dengan Luhut Binsar Panjaitan, salah satu Menko Jokowi yang sampai kini ''mengendalikan'' partai berlambang pohon beringin tersebut. Hanya saja, partai ini tidak bisa sendirian. Ia harus berkoalisi dengan partai lain untuk bisa mengusung calon gubernur Jatim.
Tapi apakah Golkar akan menyediakan tiket untuk perempuan kelahiran Surabaya ini? Kayaknya sangat tergantung kepada Presiden Jokowi. Jika presiden ingin memainkan politik dua kaki, bisa saja Khofifah dilepas untuk dipertarungkan melawan Gus Ipul melalui gerbong partai Golkar. Koalisi Golkar, Nasdem, dan Hanura bisa menjadi poros pengusung Khofifah.
Namun, mengusung Khofifah sebagai calon yang direstui presiden akan beresiko pada elektabilitas presiden Jokowi di Jatim dalam Pilpres 2019. Kalau jalan ini diambil, ia akan menyulut kontraksi politik baru karena pilihan politiknya berseberangan dengan para kiai sepuh yang pengaruhnya sangat kuat. Lagi pula, elit Golkar Jatim lebih menginginkan Gus Ipul di Jatim.
Langkah itu pasti akan mengurangi dukungan Nahdliyin di Jatim. Bahkan, ia bisa dituduh sebagai pemecah belah Ormas berbasis pesantren ini. Saya yakin, Jokowi tidak akan seceroboh itu dalam mengambil keputusan politik. Bahwa Khofifah kini salah satu pembantunya di kabinet, ya. Tapi mengusung atau menjagokan dia menjadi cagub Jatim akan membawa kosnekuensi politik yang merugikannya.
Kemungkinan terakhir Khofifah bisa maju dalam Pilgub Jatim adalah melalui gerbong Gerindra dan PKS. Keduanya adalah poros politik yang baru saja sukses mengegolkan jagonya dalam Pilgub DKI. Euforia dan suksesnya di Pilgub DKI bukan mustahil akan dicoba di provinsi lain, termasuk Jatim. Bahkan, sampai kini, sangat terasa upaya membawa format pertarungan di DKI ke Jatim.
Namun, dua partai ini belum cukup untuk mengusung calon sendiri. Partai lain yang mungkin bisa diajak koalisi adalah PAN. Partai berbasis Muhammadiyah ini bisa bersama Gerindra dan PKS mengusung calon sendiri di luar Gus Ipul. Juga Partai Demokrat yang secara psikologis susah mempertemukannya dengan PDI Perjuangan.
Namun, poros ini, belum mempunyai figur yang seimbang untuk dipertarungkan di Jatim. Khofifah bisa menjadi pilihan mereka. Hambatannya adalah Khofifah saat ini adalah salah satu menteri Presiden Jokowi. Karenanya, jika ia mau diusung koalisi Gerindra, PKS dan PAN, berarti ia harus menyeberang dari barisan Jokowi.
Ia harus menjadi bagian dari barisan partai opisisi yang dalam Pilpres 2019 sangat mungkin berhadap-hadapan dengan barisan Jokowi. Beranikah Khofifah mengambil posisi ini? Yang tahu tentu hanya Khofifah sendiri. Sebab, jika pilihan ini diambil, maka Khofifah harus berhadap-hadapan dengan presiden yang telah menjadikannya menteri dan para kiai sepuh Jatim.
Jika Khofifah ngotot masuk dalam gerbong koalisi partai oposisi, maka ia seperti mengambil pertaruhan besar. Berjudi politik. Jika bisa memenangkan pilgub Jatim, ia bisa menjadi pancatan koalisi partai opisisi mengalahkan Jokowi dalam Pilres mendatang. Karir politiknya akan bisa berlanjut, bahkan bisa punya pilihan menjadi calon orang kedua RI.
Tapi, jika gagal maka seperti kata orang Jawa: Mburu Uceng Kelangan Deleg (Memburu sesuatu tapi kehilangan sesuatu yang sudah di tangan). Ia akan kehilangan jabatan menteri, gagal menjadi gubernur Jatim sampai tiga kali, dan diangap telah "berkhianat" oleh para pendukung Jokowi. Ia akan dicatat sebagai orang Jokowi yang kemudian berpindah di tengah jalan menjadi orangnya Prabowo.
Jadi, inilah hompipah otak-atik pilgub Jatim. Mari kita saksikan apa yang akan terjadi!
*) Arif Afandi adalah wartawan senior yang kini menekuni dunia profesional bisnis.
Advertisement