Hoaks Pemilu Langsung Take Down
Oleh: Djono W. Oesman
Kemenkominfo siap menghapus konten hoaks terkait Pemilu. Menteri Kominfo Budi Arie Setiadi dalam konferensi pers, Jumat (27/10) menyatakan: "Kami sudah kerjasama dengan semua platform medsos. Take down hoaks satu kali 24 jam.”
—-----------
Suhu politik Indonesia mulai panas, sejak dua pekan terakhir ini. Sejak putra Presiden Jokowi, Kaesang Pangarep yang tanpa latar belakang politik, mendadak masuk Partai Solidaritas Indonesia (PSI). Tiga hari kemudian diumumkan jadi Ketua Umum PSI.
Dilanjut, Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Anwar Usman yang menikahi adinda Jokowi, Idayati, selaku hakim MK membuat keputusan yang menguntungkan petra Jokowi, Gibran Rakabuming Raka, Wali Kota Solo yang karena putusan MK itu, bisa jadi Cawapres mendampingi Capres Prabowo Subianto.
Kaesang yang semula kader PDIP, bukannya mendukung Capres pilihan PDIP, Ganjar Pranowo. Melainkan malah jadi Cawapres-nya Prabowo.
Sekretaris Jenderal DPP PDI Perjuangan (PDIP), Hasto Kristiyanto kepada wartawan di Jakarta, Jumat (27/10) mengatakan: “Gibran Rakabuming Raka kini bukan lagi kader Partai Banteng (PDIP). Ia sudah pindah ke Partai Golkar.”
Dilanjut: “Kalau warnanya juga berubah. Semula merah kemudian secara nyata sudah berubah menjadi kuning, maka partai menghormati itu.”
Selama dua pekan terakhir, isu politik di Indonesia didominasi berita seputar keluarga Jokowi, yang kini menguasai perpolitikan Indonesia. Itu memanaskan suhu politik. Sehingga, Menkominfo siap-siap menangkal hoaks.
Sudah jadi tradisi di Indonesia, menjelang Pemilu pasti perang hoaks. Kuantitas hoaks terus naik, sampai terlaksana Pemilu, kali ini pada 14 Februari 2024..
Menteri Budi Arie: "Kementerian Kominfo mencatat sepanjang 2022, hanya terdapat 10 hoaks pemilu. Lalu sepanjang Januari 2023 hingga 26 Oktober 2023, terdapat 98 isu hoaks pemilu. Berarti terjadi peningkatan hampir 10 kali lipat isu hoaks dibanding tahun lalu.”
Hoaks paling banyak di Facebook. Disusul TikTok, dana medsos lain.
Hoaks juga menggunakan teknologi Artificial Intelligence (AI). Terbaru, beredar di medsos, Presiden Jokowi sedang pidato dalam bahasa Mandarin. Tampak tegas, berjas, di forum formal. Tapi voice sudah diganti berbahasa Mandarin.
Itu bukan hasil teknologi AI. Cukup, editing video biasa, menggunakan tools pengganti voice. Hasilnya tampak lucu, seperti menggunakan AI.
Sedangkan, Kominfo menyiapkan teknologi AI untuk cek fakta suatu konten, apakah hoaks atau bukan.
Budi: "Kita ada teknologinya, untuk mengecek konten hoaks menggunakan AI. Ya masyarakat kasih aja ke saya (Kominfo), nanti kita cekin, kita kan tau hoaks atau bukan."
Aduan masyarakat bisa dilaporkan melalui link aduankonten.id atau website Kominfo. Selain itu, bisa juga mengadukan konten hoaks melalui WhatsApp Kominfo.
Tapi, di Pemilu kali ini tergolong adem ayem. Aman dan damai. Padahal, Pemilu tinggal tiga setengah bulan lagi. Menurut Menko Polhukam, Mahfud MD, pada Pemilu 17 April 2019, hebohnya sudah dimulai sejak tiga setengah tahun sebelumnya. Dan terus meningkat sampai Pemilu.
Dikutip dari data Kemenkominfo identifikasi hoaks menjelang Pemilu 209, datanya begini: Agustus 2018, atau delapan bulan jelang Pemilu. Jumlah hoaks 25. September 2018 naik jadi 27 hoaks. Oktober 53. November 63. Desember 75.
Januari 2019 melejit jadi 175. Februari jadi 353. Maret naik lagi jadi 453. Dan hampir 500 sampai sehari menjelang Pemilu, 17 April 2019.
Isi hoaks ngeri… Menggunakan isu SARA. Seolah-olah Indonesia nyaris chaos.
Dikutip dari Reuters, 11 April 2019 berjudul, Fact-checkers vs. hoax peddlers: a fake news battle ahead of Indonesia’s election, diungkap orang produsen hoaks yang dibayar pasangan Capres.
Waktu itu yang berkompetisi pasangan Capres-Cawapres, Joko Widodo - Ma’ruf Amin melawan Prabowo Subianto - Sandiaga Uno. Kedua pasangan ini, menurut Reuters, sama-sama punya buzzer produsen hoaks.
Reuters mewawancarai seorang produsen hoaks, mengatakan begini: “Kita sedang berperang demi konten… orang-orang melakukan apa pun yang mereka inginkan.”
Menurut Reuters, produsen hoaks itu telah menulis cerita yang menggambarkan pejabat Indonesia (waktu itu jelang periode ke dua Jokowi) dibayar oleh pemerintah Beijing. Orang tersebut menolak disebutkan namanya, karena pekerjaan tersebut ilegal.
Reuters menulis: “Penduduk Indonesia yang berjumlah 269 juta jiwa memiliki rata-rata usia muda di atas 30 tahun, menurut World Population Review.”
“Dengan lebih dari 100 juta akun, negara ini merupakan pasar terbesar ketiga bagi Facebook dan pasar lima besar secara global untuk platform WhatsApp dan Instagram, serta saingannya Twitter.”
Dilanjut: “Berita palsu di Indonesia dapat ditonton ribuan kali dalam hitungan jam, meskipun ada undang-undang yang melarang pembuatan dan penyebaran konten semacam itu.”
Reuters mewawacarai seorang jurnalis penulis berita bohong, mengatakan: Wartawan itu disewa oleh penasihat kampanye Prabowo untuk menulis berita positif tentang Prabowo, dan sebaliknya berita negatif tentang Joko Widodo, untuk diposting di Facebook dan WhatsApp.
Wartawan itu mengatakan ke Reuters, bahwa ia hanya menulis cerita negatif yang “benar”, dan mengutip isu yang beredar di masyarakat.
Contoh, wartawan itu menyebarkan isu 2.000 pekerja Tiongkok di pulau Sulawesi, Indonesia, diam-diam adalah bagian dari Tentara Pembebasan Rakyat Tiongkok.
“Kami mempunyai bukti dari kontak pemerintah dan kami dapat melihat bahwa mereka adalah tentara dari penampilan mereka,” katanya kepada Reuters. Lantas, Reuters konfirmasi ke Kedutaan Besar China di Jakarta. Dijawab: “Itu hoaks.”
Reuters menulis, produsen hoaks menulis berita bohong yang sensitif. Antara lain, tentang China dan hal-hal terkait agama. Bahkan, Joko Widodo dituduh anggota Partai Komunis Indonesia yang sudah lama tidak ada di Indonesia. Dan, Joko Widodo keturunan China. Yang semua itu terbukti tidak benar. Tapi, sebagian masyarakat terlanjur percaya hoaks.
Kondisi itu membikin Indonesia dalam bahaya perpecahan.
Dikutip dari The Guardian, 20 Maret 2019 berjudul, Fake news spikes in Indonesia ahead of elections, ada wawancara Guardian dengan Ross Tapsell, dosen dari Australian National University, pengamat Indonesia di Jakarta.
Tapsell mengatakan tentang hebohnya hoaks jelang Pemilu 2019 dan prediksi perpecahan masyarakat. Menurut Tapsell, kekhawatiran perpecahan sosial politik di Indonesia akibat hoaks online jelang Pemilu 2019, tidak akurat. Walaupun hoaks politik itu berisiko, tapi di lapangan masyarakat tidak menunjukkan tanda-tanda bakal pecah.
Tapsell kepada Guardian: “Wacana media sosial membuat kita semua menganggap polarisasi lebih besar dari yang sebenarnya. Dan, para politisi terus mendorong hal ini. Menurut saya, ini buruk bagi demokrasi. Tapi Indonesia sepertinya tidak akan pecah.”
Pernyataan Tapsell itu kemudian terbukti benar. Pemilu 2019 berlangsung aman damai. Tapsell kelihatannya paham karakter masyarakat Indonesia. Bahkan, setelah Jokowi jadi Presiden RI, lantas menarik Prabowo Subianto jadi menteri pertahanan.
Kini kondisi jadi berbalik. Jika dulu Prabowo bersaing keras dengan Jokowi, kini Prabowo merangkul putera Jokowi, Gibran, jadi bakal Cawapres-nya. Terus, hoaks model bagaimana lagi yang bakal muncul?