Hoaks Menyesatkan soal Vaksin Covid-19
Penyediaan vaksin Covid-19 oleh pemerintah tengah menghadapi dua tantangan, yakni hoaks dan mitos. Menurut Staf Ahli Menteri Bidang Hukum Kementerian Komunikasi dan Informatika, Prof Henri Subiakto, berbagai informasi terkait vaksi Covid-19 berseliweran di tengah masyarakat.
"Hoax dan mitos merupakan persoalan yang serius bagi masyarakat, bahkan sering kali dipercaya dan menutupi fakta sebenarnya. Umumnya hoax tersebar serta menjadi pembicaraan di ruang-ruang digital seperti media sosial dan grup percakapan aplikasi tertentu," ungkap Henri dalam keterangan tertulis, Jumat 16 Oktober 2020.
Beberapa mitos tentang vaksin yang dipercaya sebagai fakta, lanjut Henri, akibat banyaknya informasi yang beredar. "Salah satu mitos tersebut, yakni efek samping vaksin yang justru menimbulkan sakit," kata dia.
Mitos mengenai vaksin menyebabkan sakit merupakan pemahaman keliru. Sebab, menurut Henri, sejatinya vaksin memang dapat menimbulkan demam, namun hal itu bukanlah penyakit tetapi reaksi umum yang dikenal sebagai Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI).
"Suhu badan meningkat setelah vaksinasi itu bisa dikatakan lumrah dan mudah ditangani," sambung dia.
Henri menegaskan masyarakat akan sehat jika memiliki pemahaman yang benar dan berasal dari sumber yang valid. Untuk itu, ia mengimbau masyarakat agar selalu melakukan cek dan konfirmasi pada ahlinya.
Di sisi lain, Juru Bicara Satuan Tugas Penanganan Covid-19, dr. Reisa Broto Asmoro menyebut vaksin telah menjadi penyelamat manusia dari berbagai macam jenis penyakit. Beberapa contoh yang dapat dilihat seperti Campak, Polio, Difteri, Rubella, varicella, dan masih banyak lagi yang di masa lalu menyebabkan penyakit berat bahkan kematian pada umat manusia.
"Banyak yang masih menganggap bahwa vaksin sama saja dengan memasukkan penyakit ke dalam tubuh, padahal sebenarnya vaksin hanya menggunakan satu bagian dari kuman yang direkayasa secara bioteknologi, partikel protein kuman atau kuman yang sangat dilemahkan, sehingga tubuh dapat meresponsnya dengan membentuk antibodi yang kuat," terang mantan hos acara DR OZ.
Dokter Reisa juga membantah ada anggapan lain yang mengatakan bahwa vaksin itu berbahaya karena dapat menyebabkan autisme pada seseorang. Hal tersebut tidak benar karena faktanya adalah penelitian yang menyatakan hal tersebut merupakan penelitian yang tidak valid yang dilakukan oleh Andrew Wakefield pada tahun 1998.
Andrew Wakefield terbukti melakukan kecurangan penelitian yang mengakibatkan penelitian tersebut dicabut dan pada akhirnya General Medical Council tidak memperbolehkannya untuk berpraktik lagi di Inggris dari tahun 2010.
Lebih lanjut, dokter Reisa mengungkapkan anggapan vaksin yang dianggap mengandung merkuri yang berbahaya bagi tubuh. Namun, faktanya jumlah penggunaan Thimerosal, suatu jenis ethylmercury yang berguna sebagai pengawet vaksin, sangat sedikit dan tidak beresiko buruk bagi kesehatan.
"Jadi masyarakat tidak perlu khawatir. Sebelum diproduksi massal dan diedarkan vaksin sudah melalui evaluasi dan pengawasan yang ketat dari pemerintah," ujar dia.
Mitos lainnya, kata dokter Reisa adalah apabila menyuntikkan vaksin secara simultan akan melemahkan daya tahan.
"Dengan vaksinasi, hal-hal buruk seperti komplikasi penyakit kecacatan, bahkan kematian dapat dihindari. Vaksin juga terbukti dapat menghemat waktu dan biaya dibandingkan kalau terkena penyakit tersebut," ujarnya.
#satgascovid19
#ingatpesanibu
#ingatpesanibupakaimasker
#ingatpesanibujagajarak
#ingatpesanibucucitangan
#pakaimasker
#jagarak
#jagajarakhindarikerumunan
#cucitangan
#cucitangandengansabun
Advertisement