HMI-Preneur, PMII Intelektuil
Istilah di atas belum tentu tepat. Tapi ya nggak apa-apa. Sekadar untuk menyebut kepemimpinan baru kedua organisasi kekahasiswaan tersebut.
HMI dan PMII telah memilih nakhoda baru. Dalam waktu yang hampir bersamaan. Hanya berselisih jam. Dalam Kongres yang sama-sama molor agendanya.
Kongres kedua organisasi ekstra kampus ini sama-sama dibuka Presiden Joko Widodo. HMI menggelar forum tertinggi organisasi di Surabaya. PMII di Balikpapan.
Agendanya Kongres harus berakhir 23 Maret 2021. Eh...sama-sama baru berakhir 25 Maret. Biasa. Asal tak berlarut-larut. Asal tertundanya tak berganti bulan.
Kedua organisasi ini sebetulnya punya hubungan unik. Seperti Tom and Jerry. Saling benci tapi rindu. Punya pertalian sejarah. Akarnya saling berkelingsut.
PMII yang didirikan sebagai antitesis HMI ini dipimpin kader HMI tiga periode berturut-turut. Namanya Mahbub Djunaidi. Sosok yang dikenal sebagai wartawan dan sastrawan.
HMI bisa disebut pernah diselamatkan PMII. Saat hendak dibubarkan Bung Karno. Lagi-lagi Mahbub Djunaidi aktornya. Yang ikut membisiki Presiden RI pertama agar tak menghukum HMI.
Kalau tahun ini menggelar Kongres dalam waktu yang sama, bagi sebagian orang pasti mengingatkan sejarah tahun 1960-an. Saat PMII lahir. Dengan semangat mengisi kaderisasi Partai NU.
Sementara kader HMI saat itu lebih dekat dan menjadi pemasok kader Partai Masyumi. Partai yang tadinya juga didukung NU sebelum Ormas Islam terbesar di Indonesia ini menjadi partai politik sendiri.
Barangkali ini yang membuat hubungan HMI dan PMII selalu seperti Tom and Jerry sampai kini. Kontestasi Masyumi dan Partai NU yang terus membekas bagi banyak pengikut kedua organisasi itu.
Padahal banyak sekali kader NU yang menjadi anggota HMI. PMII juga sempat diketuai kader HMI sampai tiga periode. Karena itu, jika kedua organisasi kemahasiswaan ini berkolaborasi tentu akan indah sekali.
Tapi biarlah dinamika itu menjadi perjalanan sejarah. Mewarnai perjalanan dinamis keduanya. Saya percaya kompetisi juga bisa menghasilkan kebaikan. Bahkan kemajuan.
Dengan kompetisi perubahan selalu bisa terjadi.
Wajah Baru Kepemimpinan
Kongres HMI di Surabaya dan PMII di Balikpapan telah menghasilkan pemimpin baru. HMI berhasil menetapkan Raihan Ariatama sebagai Ketua Umum. Sedang PMII memilih Muhammad Abdullah Syukri.
Raihan dibesarkan kampus perjuangan Universitas Gadjahmada (UGM). Sedangkan Abe --panggilan akrab Muhammad Abdullah Sukri-- di Universitas Brawijaya, kampus tempat lahirnya Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI).
Seingat saya, inilah untuk kali pertama UGM melahirkan Ketum PB HMI. Padahal, kampus yang menjadi almamater Presiden Jokowi ini telah mengantarkan Ketum PB PMII yang kini menjadi salah satu tokoh nasional A Muhaimin Iskandar.
Raihan mulai aktif menjadi aktivis HMI di Komisariat Fisipol UGM. Lalu memimpin HMI Cabang Bulaksumur. Dia meneruskan studinya juga di kampus tempat ia dibesarkan. Di Pasca Sarjana UGM.
Tampilnya Raihan memberi harapan baru terhadap pembenahan HMI yang mengalami kemunduran dalam dekade terakhir. Banyak berharap dia bisa merangkul semua faksi dan membangkitkan ghirah HMI yang bersejarah.
Apalagi ia mengusung program empowering, pemberdayaan dan penguatan HMI. Melalui 4 hal: HMI Digital, HMI-E40 (Empowerment), HMI Incubator Enterpreneurship, dan HMI Perisai Kebangsaan.
Latar belakang kampus, jejak aktifitas dalam organisasi, dan latar belakang keilmuannya memberi harapan baru itu. Apalagi dia bisa merangkul faksi di HMI sebagai tinggalan konflik ideologi Azas Tunggal di zaman Presiden Soeharto.
Mohammad Abdulah Syukri meniti karir organisasi dari Universitas Brawijaya Malang. Pria kelahiran Buntet, Cirebon, Jawa Barat ini bisa disebut sebagai sosok santri intelektuil.
Ia pernah menjadi santri KH Maimun Zubeir di Sarang, Jawa Tengah. Sebelum menekuni jalur akademik di Fisip Universitas Brawijaya. Setelah lulus, Abe melanjutkan studinya di Universitas Duisberg Essen, Jerman.
Di bidang keilmuan ada kesamaan antara Raihan dan Abe. Keduanya menekuni ilmu politik dan pemerintahan. Di Jerman, Abe mendalami ilmu politik dan pemerintahan dengan beasiswa dari Pemerintah Jerman (DAAD).
Sebelum terpilih menjadi Ketum PMII di Kongres Balikpapan, Abe menjadi Ketua Biro Beasiswa Bidang Hubungan Internasional PB PMII. Ia juga inisiator pendirian Pengurus Cabang Internasional (PCI) PMII di tiga negara, yakni Maroko, Taiwan, dan Jerman.
Santri yang lahir di Cirebon, 29 tahun lalu ini, pernah mewakili Indonesia pada Forum Perdamaian Dunia di Amerika Serikat dan Serbia dalam program 1.000 Abrahamic Circles. Inilah program untuk membangun perdamaian di antara agama-agama Ibrahim: Yahudi, Kristen, dan Islam.
Selain aktif menjadi Pengasuh Pondok Pesantren Asy-Syakiroh 2 Buntet-Cirebon, ia juga Sekretaris Bidang Pendidikan Yayasan Lembaga Pendidikan Islam (YLPI) Buntet Pesantren Cirebon.
Di luar itu, Abe adalah Tim Asisten Staf Khusus Presiden RI. Ia juga menjalankan aktivitas di Jakarta sebagai Wakil Direktur Center for Indonesian Policy Analysis (CIPA), Indonesian Returning Expert di Korporasi Jerman untuk Kerja Sama Internasional (GIZ Jerman).
Kemana HMI-PMII ke Depan?
Melihat sosok Ketua Umum dari kedua organisasi kemahasiswaan Islam ini, menjadi menarik untuk bertanya: kemana arah HMI dan PMII ke depan.
Bahwa HMI di masa lalu amat dikenal sebagai gudangnya ilmuwan dan politisi, sementara PMII lebih menjadi gudangnya politisi. Apakah ke depan akan tetap demikian. Atau akan ada pergeseran basis sosial dari kedua organisasi kemahasiswaan ini.
Raihan dengan 4 pemberdayaan HMI bisa mengubah basis sosial organisasi yang dipimpinnya. Dengan 4 Empowerment itu, biaa jadi tak hanya muncul kader-kader ilmuwan dan politisi, tapi juga para pengusaha baru.
Sementara itu, sosok Abe bisa mengubah basis sosial PMII dengan lahirnya banyak ilmuwan berbasis santri di dalamnya. Dengan jaringannya, ia akan banyak menciptakan para intektuil baru di PMII.
Jika perubahan itu benar-benar terjadi, maka joke Gus Dur tentang keduanya akan kehilangan signifikansinya. "Anak-anak HMI itu selalu menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan. Sedangkan PMII tujuannya tidak tahu, apalagi caranya," kata Gus Dur.
Lima tahun lagi, bisa saja joke ini tak lagi muncul di permukaan. Sebab, faktanya sudah berubah. Banyak ilmuwan, politisi, dan usahawan di HMI. Hal yang sama juga makin banyak di PMII.
Selamat untuk HMI dan PMII