HMI di Pusaran Dinamika Pembangunan Indonesia
Oleh: M. Kahfi Indra
Negara Indonesia merupakan negara dengan jumlah padat penduduk yang besar, berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2020 Indonesia menyatakan memiliki penduduk sebanyak 270,20 juta jiwa.
Jumlah penduduk yang besar tersebut memang diharuskan adanya efektifitas hubungan/komunikasi pemerintah pusat-daerah yang diwakili oleh kepala daerah di masing-masing wilayah dengan berpegang teguh pada asas-asas good governance sehingga membuahkan proses kerja yang tersistematis.
Seyogyanya, proses implementasi sistem desentralisasi telah lama dilakukan dalam pemerintahan di Indonesia. Namun dalam perjalanannya, sistem sesentralisasi masih dan terus mencari bentuk, sejalan dengan proses balancing of power atau dikenal sebagai keseimbangan pengaruh dan kekuatan politik pada pemerintah pusat-daerah.
Dengan selesainya proses demokrasi Pemilihan Kepala Daerah (pilkada) yang dilaksanakan pada kuartal tahun 2018-2019 telah menghasilkan 34 Pimpinan Daerah (Provinsi) serta 509 Bupati/Walikota (Kabupaten dan Kota). Hal tersebut seharusnya diimbangi dengan hubungan komunikasi pemerintah pusat-daerah yang tidak mensyaratkan adanya urusan politik didalam tubuh pemerintahan.
Urusan politik yang tidak dapat dibenarkan adalah proses tarik-menarik kepentingan atau bahkan manipulasi kewenangan yang diserahkan pada daerah bukan hanya pada konteks provinsi, kabupaten/kota, tetapi juga keterlibatan pusat dalam mengelola kewenangan atas sistem pemerintahan yang dianut, sehingga seolah-olah terjadi persaingan nilai-nilai atas praktek desentralisasi yang dijalankan, yaitu nilai-nilai lokal di satu sisi, seperti halnya antara lain fanatisme putera daerah, dengan nilai-nilai nasional yang dibbingkai dengan kepentingan stabilitas politik.
Padahal, sistem pemerintahan dengan penggunan negara kesatuan (unitary state) di Indonesia secara principal sangat menekankan pada keserasian antara nilai-nilai nasional dan local, dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika (Unity in Diversity).
Pasang surut ruang desentralisasi pada setiap periode sistem pemerintahan yang dianut, menunjukan politik negara selalu berkaitan erat dengan masalah-masalah yang muncul dalam hubungan pusat-daerah. Pada masa awal kemerdekaan, prinsip nilai-nilai ideologis atas politik desentralisasi yang dianut rezim sangat kuat mengelola orientasi hubungan pemerintah pusat-daerah.
Sejak masa Orde Baru sebelum reformasi 1998 yang lebih sentralistik, masalah-masalah tersebut ditampilkan secara tersamar melalui ketidaksukaan daerah dalam menghadapi politik pengaturan rezim di tingkat pusat terhadap kebutuhan daerah.
Sebaliknya kondisi reformasi, sistem pemerintahan sejak diberlakukannya Undang-undang (UU) No. 22 tahun 1999 dan kemudian direvisi dengan UU No. 32 tahun 2004 serta kembali diperbarui pada UU No. 23 tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, friksi yang muncul dalam hubungan pemerintah pusat-daerah tampil secara lebih lugas.
Friksi tersebut ditampilkan pada anggapan mengenai salah kelola kewenangan yang didesentralisasikan. Kasus salah kelola dimaknai secara bias sebagai konsekuensi atas kebebasan (political liberty) yang dibuka secara berlebihan dan penerapan sistem politik demokrasi sejak jatuhnya kekuasaan otoritarian Soeharto pada Mei 1998 yang diinisiasi oleh gerakan pemuda di seluruh pelosok negri untuk menduduki kantor DPR-RI dan salah satunya menuntut Presiden Soeharto turun tahta.
Di era kebijakan baru desentralisasi sekarang, mulai terlihat geliat partisipasi rakyat dalam penyelenggaraan pemda, meskipun dalam kadar yang berbeda antara satu daerah dengan lainnya.
Partisipasi itu muncul baik karena dorongan pemerintah maupun atas kesadaran rakyat sendiri, partisipasi itu terlihat baik melalui instrumen formal (DPRD), maupun instrument informal (demonstrasi, seminar, dan lain-lain). Partisipasi itu ada yang berdampak positif dan ada yang negatif.
Timbulnya instrument informal tersebut diindakasikan dengan adanya dalam proses pengambilan keputusan penting didalam tubuh pemerintah pusat-daerah, masyarakat menempati posisi pinggiran.
Padahal, makna dari sistem desentralisasi tidak kurang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat daerah dan sekaligus menjadi modal penting bagi percepatan demokratisasi.
Peran Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) sebagai Organisasi Mahasiswa (Ormawa) yang berpegang teguh pada nilai-nilai dasar Pancasila dan ke-Islaman hadir untuk memastikan terwujudnya masyarakat yang adil dan makmur menjadi bagian dari perwujudan desentralisasi sebagai cita-cita bangsa dan negara Indonesia pasca reformasi.
Hal ini diwujudkan dengan terus memastikan peran masyarakat pada setiap pembentukan kebijakan baik itu di pemerintah pusat maupun di pemerintah daerah.
PENEGASAN KOMITMEN REFORMASI : PERAN SERTA HMI SEBAGAI ORGANISASI PENGAWAL SISTEM OTONOMI DAERAH
Seiring berubahnya susunan pemerintah daerah, kewenangan pun mengalami perubahan. Berdasarkan UU Nomor 23 tahun 2014, kewenangan pemerintah daerah meliputi hal-hal sebagai berikut :
1. Pemerintah Daerah menyelenggarakan urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasanya sesuai dengan sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia;
2. Pemerintah Daerah melaksanakan urusan pemerintahan konkuren yang diserahkan oleh pemerintah pusat menjadi dasar pelaksanaan otonomi daerah dengan berdasar atas asas tugas pembantuan;
3. Pemerintah daerah dalam melaksanakan urusan pemerintah umum yang menjadi kewenangan presiden dan pelaksanaannya dilimpahkan kepada gubernur dan bupati/walikota, dibiayai oleh APBN.
Otonomi daerah merupakan perwujudan dari paham sistem desentralisasi di negara Indonesia. Perwujudan sistem tersebut masih terimplementasikan sebagai solusi dari menjalankan sistem manejemen ditubuh pemerintahan.
Perlu adanya perubahan sistematis dalam menerapkan kerangka otonomi daerah yang bertujuan menaikkan kesejahteraan masyarakat di masing-masing daerah.
Namun pada prosesnya, otonomi daerah sering menuai konflik antara pemerintah pusat-daerah dalam hal perimbangan keuangan maupun pengelolaan sumberdaya juga terjadi dibeberapa daerah.
Di Provinsi Kalimantan Timur, konflik vertikal terjadi dalam masalah bagi hasil antara daerah penghasil dan pemerintah pusat. Selain itu konflik sumber daya alam yang masih hangat adalah ketika perpanjangan kontrak antara Freeport (perusahaan tambang dari Amerika Serikat) dengan Pemerintah Indonesia yang lagi-lagi tidak pro dengan kesejahteraan masyarakat di daerah.
Sehingga menimbulkan konflik serius dengan adanya gerakan separatis dari Organisasi Papua Merdeka (OPM). Selain persoalan kesejahteraan, juga terdapat perbedaan persepsi masalah intergrasi Papua dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia dan tidak berjalannya Otonomi Khusus (Otsus Papua) yang dianggap masyarakat Papua tidak berjalan dengan baik.
Pada peringatan Hari Otonomi Daerah XXV Tahun 2021 yang diperingati pada hari Senin 26 April 2021 lalu yang menyongsong tema “Bangun Semangat Kerja dan Tingkatkan Gotong Royong di Masa Pandemi COVID-19 untuk Masyarakat Sehat, Ekonomi Daerah Bangkit, dan Indonesia Maju”, Wakil Presiden RI Ma’ruf Amin menyampaikan hal utama bahwa pemerintah daerah memiliki keleluasaan dalam menyelenggarakan pemerintahan sendiri adalah untuk mengembangkan dan memajukan daerah sehingga dapat mengukur sejauh mana rintangan yang akan dihadapi di masa depan.
Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian pada kesempatan yang sama juga menyampaikan pemda telah banyak melahirkan inovasi dan berhasil meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) melebihi dana yang ditransfer oleh pusat.
Hal tersebut mengharuskan otoda menjadi bentuk komitmen pasca reformasi yang harus dijaga berjalannya dari generasi ke generasi.
Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) sebagai ormawa tertua dan tersebar luas di 20 provinsi Indonesia, serta 211 cabang di selurug pelosok negeri, secara kelembagaan telah menjadi saksi dan pengawal selama penerapan sistem otoda di Indonesia.
Bagaimanapun, otonomi rakyat adalah tujuan ideal yang ingin dicapai. Perkembangan otonomi rakyat atau keberlangsungan suatu masyarakat harus menjadi tujuan dari hadirnya HMI di tengah masyarakat daerah, karena hal tersebut perlu ditopang oleh berbagai kelompok rakyat yang terorganisir dalam bentuk partai politik, lembaga adat, institusi keagamaan, organisasi professional, kelompok sukarelawan, dan lain lain.
Dengan tumbuhnya kader-Kader HMI yang memiliki intelektualitas serta berbudi luhur dalam pengabdian kemasyarakat membentu peran HMI yang selalu dapat mengorganisir dan mengkonsolidasikan gagasan yang berbasis pada situasi kultural sosial-ekonomi yang berkembang di masyarakat daerah baik dengan lingkungan pemerintahan maupun kelompok masyarakat sehingga terdapat keseimbangan peran antar negara (diwakili pemerintah pusat-daerah) dan rakyat (diwakili berbagai kelompok kepentingan masyarakat) agar kebijakan yang tumbuh di daerah tidak akan menciptakan sentral-sentral kekuasaan baru di daerah melainkan hanya bertujuan untuk kesejahteraan masyarakat daerah itu sendiri. ***
*M. Kahfi Indra Saputra, Wasekdjen Internal PB HMI 2021-2023, Advokat Surabaya, Ketua HMI Komisariat Hukum Unair 2014-2015, tinggal di Surabaya.
Advertisement