Hizib Maroko
Timnas Maroko lolos ke perempat final Piala Dunia Qatar. Ia akan bertemu Timnas Perancis. Juara Piala Dunia Rusia empat tahun lalu. Amazing. Mengejutkan.
Akankah tim berjuluk Singa Atlas ini bisa menjadi juara Piala Dunia Qatar? Bisakah negara kerajaan ini menciptakan sejarah baru dalam sejarah sepak bola di dunia? Akankah ia menjadi negara dari Benua Afrika pertama yang menjadi juara di Qatar?
Semua pertanyaan tersebut muncul dari catatan perjalanan tim berjuluk Singa Atlas ini di pesta terbesar sepak bola di muka bumi ini. Tim ini mencatatkan rekor tidak pernah kalah sejak babak penyisian grup. Lalu berkali-kali membuat kejutan dengan memulangkan tim digdaya dari negara besar.
Sebuah capaian yang dramatik. Termasuk ketika memaksa Tim Spanyol yang bertetangga dengannya angkat koper terlebih dulu dari Qatar. Negara yang punya sejarah panjang dalam sejarah Islam di Benua Eropa, khususnya saat kejayaan Andalusia yang kini bernama Spanyol. Negeri yang telah menjadi kiblat bola sejak lama.
Dengan Spanyol yang punya banyak klub hebat seperti Barcelona, Real Madrid, Sevila dan sebagainya ini, Achraf Hakimi dkk menang dengan dramatis. Melalui adu pinalti. Kekalahan yang membuat si banteng Spanyol menangis. Dipermalukan di depan jutaan mata di seluruh dunia.
Tim yang tidak pernah diperhitungkan itu kini menjadi kuda hitam. Setelah berturut-turut mengalahkan Belgia dan Kanada. Terakhir menghempaskan mimpi Christiano Ronaldo yang membela Timnas Portugal dalam 2x45 menit. Membuat bintang bola dunia ini mutung dengan keluar lapangan terlebih dulu dan menangis saat mencapai ruang ganti.
Saya pun beberapa kali dibuat merinding dengan peristiwa yang mewarnai setiap pertandingan timnas Maroko. Ada ritual khusus dalam setiap selebrasi atas gol-gol yang diciptakan. Bersujud di pojok lapangan. Juga peluk cium Hakimi yang selalu dikawal ibunda di tribun stadion tempat berlaga.
Ini menjadi istimewa karena amat jarang ibunda para pemain mendampingi putranya berlaga di lapangan. Juga amat jarang ada pemain yang menunjukkan secara ekspresif kecintaannya kepada Ibunda di tengah lautan manusia. Para pemain Maroko memberikan teladan tentang pentingnya nilai berbakti kepada ibunya.
Maka media sosial ramai dengan kedigdayaan Maroko ini. Tidak hanya soal gol-gol yang diciptakan para penggawa Maroko. Tapi juga berbagai peristiwa di balik kemenangan dan kedigdayaan tim ini selama berada di Qatar. Misalnya ritual doa yang dibaca di ruang ganti sebelum bertanding.
Beredar video di media sosial para pemain dan ofisial sedang berdoa dengan membaca shalawat Fatih. Ini shalawat kepada Nabi Muhammad yang dipercayai sebagai shalawat pembuka pintu ‘Arsy. Shalawat yang diciptakan Sayyid Muhammad Al Bakri ini diyakini ampuh untuk dibaca guna menyelesaikan semua masalah yang dihadapi.
Tentu ini ritual yang tidak biasa dalam sebuah event bola internasional. Sebuah pesta dunia yang memiliki penggemar terbanyak di muka bumi ini. Sebuah industri olah raga yang selama ini berkembang secara digdaya di Eropa dan Amerika Latin yang mayoritas non muslim.
Apakah kedigdayaan timnas Maroko karena doa-doa itu? Mayoritas Muslim pasti meyakini hal itu. Tapi, secara kualitas tim, Maroko memang bukan kaleng-kaleng. Sebanyak 20 penggawa timnya adalah bermain di berbagai klub kelas atas dan menengah di Eropa.
Secara geografis dan postur para pemainnya, ini masuk akal. Maroko masuk dalam benua Afrika yang berbatasan dengan Samudra Atlantik Utara dan Benua Eropa. Dengan Spanyol, negara kerajaan ini hanya dipisahkan dengan selat Gibraltar. Perawakan penduduknya tak jauh berbeda dengan orang Eropa.
Selama 44 tahun, Maroko pernah dijajah Spanyol. Dalam masa itu, keduanya pernah terlibat perang besar: Perang Rif. Dalam perang itu, Spanyol membonceng Perancis untuk menyeberangi Selat Gibraltar. Maroko juga pernah terlibat perang besar dengan Portugal.
Mungkin karena itu, selain berbahasa Arab sebagai bahasa ibu, warga Maroko juga berbahasa Perancis.
Dalam Islam, negeri ini juga istimewa. Sebab, disebut-sebut dalam Al-Quran. Kitab suci umat Islam. Dalam Al-Qur’an, Maroko disebut dengan Maghribi. Karena itulah, Maroko menjadi salah satu negeri sumber ilmu agama Islam.
Negeri ini juga dikenal sebagai negeri para wali. Seseorang yang mendapat keistimewaan dari Allah. Bahkan, kalau di Jawa dikenal ada Wali Songo sebagai ulama para penyebar agama Islam, di Maroko pun juga demikian.
Maka, kedigdayaan Timnas Maroko ini merupakan gabungan kompetensi individu para pemain, teamwork yang kuat, dan spirit perjuangan baru di dunia modern. Bola menjadi sebuah ‘’perang modern’’ dalam membangun kebanggaan baru sebuah negara. Juga menjadi instrumen untuk perjuangan harga diri dari sebuah negara bangsa.
Karena itu, keberhasilan Maroko mencapai tahap semifinal Piala Dunia di Qatar tak hanya dianggap sebagai pencapaian Maroko an sich. Tapi juga menjadi ekspresi kebanggaan negara-negara pinggiran, setidaknya dalam hal industri sepak bola. Ia tidak hanya sebuah permainan di atas lapangan hijau semata, tapi juga pertandingan di jagat besar. Di panggung dunia.
Maroko akhirnya menjadi simbol perlawanan terhadap Barat. Ia menjadi bentuk benturan kebudayaan baru antara Barat dan Timur. Yang pernah diprediksikan seorang futurolog politik Samuel E. Huntington tentang benturan kebudayaan atau benturan peradaban. Benturan antara sekularisme dan Islam. Inilah benturan model baru di atas panggung Arab; Qatar.
Tentu benturan seperti dalam panggung bola dunia ini tidak akan destruktif. Tak akan menimbulkan kerusakan seperti dalam bentuk kekerasan fisik yang justru merusak peradaban seperti yang selama ini terjadi di Timur Tengah. Benturan budaya dalam koridor pesta dan statuta FIFA di lapangan hijau.
Benturan itu makin terasa ketika Timnas dari negara Barat membawa misi LGBT sebagai ekspresi hak asasi manusia. Nilai baru yang sedang marak di Barat dan sangat bertentangan dengan nilai-nilai di Timur, terutama Islam. Mereka melakukan hal itu dengan terang-terangan, meski Qatar sebagai tuan rumah melarang negaranya menjadi ajang kampanye LGBT.
Isu LGBT ini meningkatkan nilai emosional kelompok Muslim terhadap pencapaian Timnas Maroko. Bahkan, ada yang menilai terhempasnya timnas-timnas unggulan dari Eropa dan Amerika sebagai bagian dari tulah atas kesombongan mereka di tanah Arab. Mereka dianggap ‘’kualat’’ atas kekurangsopanannya terhadap tuan rumah.
Tentu, dalam perspektif August Comte –bapak positivisme dunia Barat– perspektif doa dan spirit religius Timnas Maroko ini akan dianggap sebagai peradaban yang tertinggal. Tidak rasional. Bukan berbasis sains. Karena masih menganggap spiritualitas sebagai penentu pencapaian. Sesuatu yang tak berbasis logika.
Tapi, apa pun juga, bagi Timnas dan warga Maroko, semua itu adalah pembangun spirit. Pendongkrak semangat perjuangan tim. Penguat mental. Ini menjadi semacam hizib: sekumpulan doa dan wirid untuk mendapat pertolongan Allah dalam menghadapi persoalan lahir dan batin.
Jadi, pencapaian Timnas Maroko sampai semifinal Piala Dunia ini adalah hasil rasionalitas dan spiritualitas yang sempurna. Mereka memiliki para pemain dengan kompetensi tinggi, ditopang dengan keyakinan atas kekuatan hizib yang dipanjatkan para pemain, ofisial, dan seluruh warga Maroko.
Kita masih harus menunggu apakah kekuatan gabungan antara rasionalitas dan spiritualitas itu mengantarkan ke puncak? Kita lihat saja nanti bagaimana Timnas Maroko bertemu dengan Perancis di semifinal. Jika ia bisa menghempaskan Tim Ayam Jantan yang juga juara bertahan, tinggal selangkah lagi menjadi juara dunia.
Saya pun berharap itu yang terjadi. Jika Maroko bisa menjadi juara dunia, pasti akan membangkitkan spirit baru negara-negara terbelakang lain seperti fenomena berakhirnya kolonialisme fisik di pertengahan abad 20-an.
Kali ini saya ikut berdoa untuk kemenangan Maroko di Piala Dunia!