Hizbut Tahrir, Partai Politik Berjubah Ormas
Selepas Orde Baru ambruk, banyak bermunculan partai politik baru di Indonesia. Namun, dari sekian banyak partai itu, ada satu parpol unik dan lain dari yang lain. Partai yang semula luput dari perhatian para pengamat politik ini bernama Hizbut Tahrir atau Hizbut Tahrir Indonesia, biasa disingkat dengan akronim HT atau HTI.
Demikian Jarot Doso, peneliti yang pernah menyamar di tubuh aktivitas HTI ketika belum dinyatakan terlarang. Untuk mempertajam pembahasan soal HTI, Jarot Doso sempat menjadi aktivis HTI. Berikut tulisan Jarot Doso bertajuk “Hizbut Tahrir, Partai Politik Berjubah Ormas” selengkapnya:
Hizbut Tahrir berasal dari bahasa Arab yang artinya Partai Pembebasan (Hizbut = Partai; Tahrir = Pembebasan). Ia merupakan parpol yang mengaku memeluk ideologi (mabda) Islam secara kaffah (total) dan mencita-citakan berdirinya lagi sistem kekhalifahan Islam (daulah khilafah Islamiyah).
Yang dimaksud daulah khilafah Islamiyah adalah sistem kekhalifahan atau negara Islam dengan kepala negara seorang khalifah, yang wilayahnya melintasi batas-batas negara-bangsa atau nation-state. (Lihat Hizbut Tahrir, Mengenal Hizbut Tahrir, Partai Politik Islam Ideologis, Jakarta: Pustaka Thoriqul Izzah, 2000, Cet. II. Hal. 1-2).
Sosok Hizbut Tahrir sebagai partai politik juga dijelaskan dalam website-nya sebagai berikut: “Hizbut Tahrir adalah sebuah partai politik yang berideologi Islam. Politik merupakan kegiatannya, dan Islam adalah ideologinya. Hizbut Tahrir bergerak di tengah-tengah umat, dan bersama-sama mereka berjuang untuk menjadikan Islam sebagai permasalahan utamanya, serta membimbing mereka untuk mendirikan kembali sistem Khilafah dan menegakkan hukum yang diturunkan Allah dalam realitas kehidupan.” (Lihat www.al-islam.or.id, yang merupakan web resmi HTI. Belakangan web resmi HTI berubah menjadi www.hizbut-tahrir.or.id.).
"Setelah bernama Al Islam, ia berani menyebutkan jati diri penerbitnya secara terbuka, yaitu Syabab Hizbut Tahrir. Buletin ini sangat luas peredarannya di masjid-masjid umat Islam umumnya, termasuk di sebagian masjid yang dikelola warga NU dan Muhammadiyah."
Akan tetapi, barangkali tak sedikit umat Islam yang mengira Hizbut Tahrir hanyalah ormas dakwah Islam dalam arti sempit (nonpolitis) atau gerakan yang bersifat sosial keagamaan (jama’ah diniyah) belaka, seperti NU atau Muhammadiyah. Penilaian ini bisa saja timbul akibat salah satu sarana komunikasi partai ini dengan umat Islam pada umumnya ditempuh dengan penyebaran buletin tiap kali sembahyang Jumat di masjid-masjid. Buletin yang gemar mengupas masalah politik dengan perspektif Islam itu tak pernah secara terbuka menyebut diri sebagai buletin partai politik, melainkan justru mengaku sebagai buletin dakwah.
Semasa Orde Baru, buletin ini bernama Al Miqyas, dan setelah Orde Baru, ia berganti nama menjadi Al Islam. Setelah bernama Al Islam, ia berani menyebutkan jati diri penerbitnya secara terbuka, yaitu Syabab Hizbut Tahrir. Buletin ini sangat luas peredarannya di masjid-masjid umat Islam umumnya, termasuk di sebagian masjid yang dikelola warga NU dan Muhammadiyah.
Namun begitu, penilaian bahwa Hizbut Tahrir sekadar organisasi dakwah belaka tidaklah benar. Sebab, demikian Haedar Nashir, gerakan Islam kaffah ala Hizbut Tahrir, “yang bercorak formalisasi syariat dan menempuh jalur negara tersebut berbeda dari arus-utama gerakan Islam di Indonesia, baik yang diperankan oleh para wali pada masa lampau maupun gerakan Muhammadiyah dan NU pada awal abad ke-20, yang menampilkan corak Islam atau Islamisasi yang moderat, lentur, dan berwajah kultural.” (Lihat Haedar Nashir, Gerakan Islam Syariat, Reproduksi Salafiyah Ideologis di Indonesia (Jakarta: Pusat Studi Agama dan Peradaban [PSAP] Muhammadiyah, 2007) cet.I, hal. xii).
Penilaian Haedar Nashir sejalan dengan sikap Hizbut Tahrir sendiri yang memaknai gerakan dakwahnya mencakup pula wilayah politik. Perbedaan dengan gerakan dakwah kultural semacam NU dan Muhammadiyah juga sebagai konsekuensi logis adanya penyifatan kalangan Hizbut Tahrir sendiri secara tegas bahwa Hizbut Tahrir adalah sebuah partai atau organisasi politik, bukan ormas.
Maka dari itu, penilaian bahwa Hizbut Tahrir tak lebih dari sebatas gerakan sosial keagamaan justru mereka bantah sebagai berikut: “Hizbut Tahrir merupakan organisasi politik, bukan organisasi kerohanian (seperti tarekat), bukan lembaga ilmiah (seperti lembaga studi agama atau badan penelitian), bukan lembaga pendidikan (akademis), dan bukan pula lembaga sosial (yang bergerak di bidang sosial kemasyarakatan). Ide-ide Islam menjadi jiwa, inti, dan sekaligus rahasia kelangsungan kelompoknya.” (Lihat www.al-islam.or.id, khususnya bagian penjelasan mengenai Hizbut Tahrir, hal. 1).
Dari data Kementerian Hukum dan HAM RI, Hizbut Tahrir sebelum dibubarkan terdaftar sebagai badan hukum perkumpulan, berdasar Surat Keputusan Menkum HAM Nomor AHU-00282.60.10.2014. Langkah Hizbut Tahrir mendaftarkan diri sebagai perkumpulan ini pun sebetulnya tidak tepat atau mengandung “contradictio in terminis”.
Mengapa? Karena Hizbut Tahrir sendiri dalam doktrinnya menolak disebut sebagai perkumpulan atau organisasi kemasyarakatan dan sebaliknya dengan tegas menyebut diri sebagai partai politik.
Maka, ditilik dari aspek ini saja, keputusan pemerintahan Presiden Jokowi membubarkan Hizbut Tahrir sudah tepat. Bukan hanya karena Hizbut Tahrir mengancam eksistensi NKRI –dengan cita-citanya mengganti dasar negara dan mengubah bentuk negara—, namun juga karena sebagai partai politik ia justru mendaftarkan diri sebagai perkumpulan atau ormas.
Mestinya, jika memang bergerak sebagai parpol, Hizbut Tahrir secara jujur mendaftarkan diri sebagai badan hukum partai politik. Bukan pura-pura mengaku sebagai ormas namun berperilaku sebagai parpol dan memimpikan revolusi untuk merebut kekuasaan. []
Jakarta, 6/11/2018.