Hizbut Tahrir Indonesia, Jokowi, dan Taxi Online
APA kalkulasi dan target politik pemerintahan Jokowi mengajukan pembubaran Hizbut Tahrir Indonesia (HTI)?
Dari sisi hukum perdebatannya bisa sangat panjang. Namun dari sisi perubahan sosio-demografis dan sosio-politis jawabannya menjadi sangat sederhana.
Jokowi dan orang-orang di pemerintahannya, terutama beberapa orang dekatnya gagal memahami adanya sebuah perubahan besar. Dalam bahasa anak muda sekarang “gagal paham.”
Di era digital yang segala sesuatunya berubah sangat cepat, pemahaman dan adaptasi terhadap perubahan itu sangat penting. Sebuah keniscayaan, hukum alam yang tidak bisa ditentang.
Setidaknya ada tiga penyebab mengapa Jokowi dan beberapa pembantu dekatnya seperti Luhut Binsar Panjaitan gagal paham. Pertama, cultural shock generasi digital immigrant. Kedua, kegagalan memahami perubahan prinsip owning ke sharing. Ketiga, kegagalan memahami sosio-demografis dan politis umat Islam.
Cultural shock generasi digital immigrant
Jokowi dan orang-orang dekatnya adalah generasi yang lahir tahun 1950-1960an. Beberapa diantaranya malah ada yang lahir di era 1940an. Sementara secara demografis sebagian besar penduduk Indonesia adalah generasi yang lahir di tahun 1970-1990an.
Generasi yang lahir di era 1970an ke atas adalah generasi yang tumbuh bersama munculnya era internet yang kemudian disebut sebagai era digital.
Mereka yang tumbuh di tahun-tahun tersebut, bahkan termasuk yang lahir di tahun 2000an, adalah generasi yang kesehariannya akrab dengan berbagai teknologi modern yang bersifat digital. Digital freak, gadget freak. Makanya mereka disebut sebagai generasi digital native, pribumi, penduduk asli.
Sementara generasi sebelumnya, termasuk Jokowi walaupun mengerti dan menggunakan gadget, mereka adalah digital immigrant, penduduk pendatang, alien.
Walaupun sudah mendapat green card dengan status permanent resident, tapi namanya juga pendatang pasti banyak mengalami kekagetan budaya.
Ingin siy bergaul, ingin siy terlibat langsung, namun tetap saja ada kegagapan, ada gegar budaya.
Analogi yang mudah, kira-kira begini. Generasi imigran ini secara ekonomi sudah mapan, mereka bisa membeli berbagai gadget yang mahal dan fitur yang canggih, namun penggunaannya terbatas.
Kalau toh mereka bisa memanfaatkannya paling hanya untuk foto, sms dan yang sudah lumayan canggih memanfaatkan fitur medsos seperti WA Group atau kalau dulu BBM. Fitur-fitur lain yang sangat canggih, jangan cerita. Dalam bahasa anak sekarang, gaptek abis dah.
Sebaliknya generasi digital native terutama yang lahir tahun 1990-2000 walaupun hanya bisa membeli gadget buatan Cina, namun mereka mereka bisa meng-oprek habis berbagai fiturnya. Bahkan terkadang sampai jebol.
Yang rada serem adalah generasi 1970-1980an. Mereka punya uang, bisa beli gadget dengan fitur yang canggih dengan kemampuan meng-oprek yang yang luar biasa.
Mereka benar-benar terintegrasi dalam dunia digital. Mulai dari bisnis, mencari teman, mencari jodoh, menggalang kekuatan sosial, ekonomi dan politik melalui dunia digital.
Soal-soal yang begini tidak akan dipahami oleh Jokowi dan orang-orangnya. Benar bahwa Jokowi dan para pembantunya bermain Twitter, IG, Facebook dan lain-lain, tapi berani bertaruh kebanyakan dioperasikan oleh para adminnya. Jadi ya tidak genuine.
Dalam konteks demokrasi analogi gadget tadi juga bisa kita gunakan. Jokowi dan orang-orang dekatnya terlibat dalam proses demokrasi. Tapi fitur demokrasi yang mereka pahami hanya sebatas pilkada dan pilpres.
Padahal fitur demokrasi tidak hanya sebatas itu, ada masalah kebebasan berpendapat, termasuk melakukan kritik terbuka terhadap pemerintah, HAM, kesamaan gender dan lain lain.
Prinsip owning dan sharing
Konskuensi dari era digital yang sangat terasa adalah pada prinsip ekonomi yang tadinya owning, kepemilikan, menjadi sharing, berbagi.
Contoh nyata terutama di kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, Surabaya dan juga kota-kota besar dunia lainnya adalah keterkejutan operator taxi konvensional atas hadirnya taxi berbasis aplikasi atau sering disebut taxi online.
Hadirnya Uber, Gojek, Grab dan kawan-kawan membuat taxi konvensional sekelas Blue Bird terkaget-kaget.
Gagal bersaing dan merasa terancam oleh taxi online, para pengemudi melakukan unjuk rasa, bahkan sampai terjadi bentrokan. Namun namanya sebuah keniscayaan ya sulit dilawan. Para pengguna tetap memilih taxi online karena nyaman, murah, pasti dan aman.
Cukup tunggu dirumah panggil melalui aplikasi, harga murah dan pasti. Bandingkan dengan taxi konvensional yang harus menunggu di pinggir jalan atau setidaknya order lewat telefon. Belum lagi tarifnya lebih mahal.
Gagal dengan demo, akhirnya mereka melobi pemerintah untuk membuat regulasi yang ketat. Tapi aturan tersebut tetap tidak efektif. Pilihannya terus menentang, menghambat atau beradaptasi.
Lantas apa hubungannya dengan Jokowi? Sebagai generasi digital immigrant, Jokowi dan orang-orangnya tidak menyadari bahwa era digital mengubah semua struktur dan tatanan kehidupan, termasuk dalam soal demokrasi, pemerintahan dan kekuasaan.
Jokowi walaupun hidup dalam era demokrasi, namun menjalankan pemerintahannya masih menggunakan paradigma lama, penguasa, bukan pelayan rakyat yang dipilih melalui pemilu.
Akibatnya ketika ada suara-suara kritis yang dilakukan, mereka masih menggunakan manual book yang lama.
Makanya tidak mengagetkan ketika muncul gelombang Aksi Bela Islam karena penistaan agama oleh Ahok, dihadapi dengan cara labelisasi, kelompok radikal, tidak bhineka, anti NKRI. Bila jurus ini tidak mempan, maka dilakukan kriminalisasi. Masih tidak mempan juga, lancarkan jurus yang lebih ampuh berupa tuduhan makar. Nah bila tuduhan makar juga tidak mempan, ya bungkam.
Ini mirip-mirip apa yang dilakukan Soeharto pada masa Orde Baru menggunakan kosa kata “gebuk” untuk para pengritiknya yang dianggap melampaui batas.
Semua itu manual book lama, buku panduan lama masih digunakan orang seperti Luhut yang dengan gagah berani pasang badan untuk proyek reklamasi.
Ingat Luhut adalah tentara yang pada masa Orde Baru adalah alat paling efektif menopang kekuasaan Soeharto. Jadi sikapnya seperti itu tidak mengherankan.
Sayangnya belakangan Wiranto kok juga ikut-ikutan dengan rencana pembubaran HTI. Padahal sebelumnya Wiranto adalah salah satu pembantu Jokowi yang paling bisa berdialog dengan kalangan ulama. Sekarang dia ikut membakar jembatan.
Bagi generasi yang pernah hidup di masa Orde Baru, pola seperti itu tidak mengagetkan. Sudah hapal luar kepala.
Jokowi masih berpikir bahwa dengan menjadi presiden, maka dia adalah penguasa.
Dia lupa bahwa pada era demokrasi menjadi presiden adalah mandat dari rakyat. Di era digital kekuasaan itu bukan owning, kepemilikan, tapi sharing, harus berbagi, menjadi milik bersama.
Bila muncul suara kritis, bukan pukul, tapi rangkul. Tanya pada mereka, ada apa? Apakah ada yang bisa kita bicarakan? Apakah bisa kita lakukan kompromi, mencari jalan keluar bersama.
Bila tetap bersikukuh dengan prinsip mandat dari rakyat adalah kepemilikan kekuasaan, maka dapat dipastikan Jokowi dan orang-orangnya akan bernasib sama dengan taxi konvensional, ditinggalkan para pelanggannya.
Mereka akan memilih pemimpin yang paham prinsip sharing power, bukan owning power seperti Jokowi yang ketika diberi mandat, kemudian lupa diri dan bertindak sebagai penguasa.
Sosio-demografis dan politis
Secara demografis komposisi penduduk Indonesia didominasi oleh usia muda yang produktif. Para ahli kependudukan banyak melihat kesamaan komposisi demografis Indonesia mirip Jepang setelah Perang Dunia II.
Mereka ini adalah kelas menengah yang mandiri dan sangat terkoneksi dengan dunia digital.
Karena mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam, maka kelas menengah ini juga didominasi oleh anak-anak muda Islam.
Mereka sangat terdidik, berpikiran terbuka, secara ekonomi mandiri dan yang menarik, ghirah atau semangat keagamaannya sangat baik.
Mereka inilah sebenarnya yang melalui medsos menjadi faktor penggerak hingga jutaan orang bisa berkumpul dalam berbagai Aksi Bela Islam.
Sayangnya lagi-lagi Jokowi melalui kepolisian gagal memahaminya. Mereka menakut-nakuti. Melakukan penghadangan. Mengancam para pemilik bus yang digunakan untuk ke Jakarta. Semuanya gagal.
Mengapa? Polisi tidak memahami arus perubahan yang tengah terjadi.
Selain itu hal penting lain yang tampaknya gagal dipahami oleh Jokowi dan orang-orangnya, Aksi Bela Islam memunculkan fenomena baru menyatunya berbagai harakah (gerakan) Islam yang sebelumnya tidak pernah bisa menyatu.
Silakan sebut apa saja nama aliran dan ormas Islam yang ada di Indonesia, mulai dari yang qunut dan tidak qunut, tahlil tidak tahlil, Salafi, Wahabi, Jamaah Tabligh dan berbagai perbedaan khilafiyah lainnya, semua tumpah ruah menyatu dalam Aksi Bela Islam, termasuk di dalamnya massa dari HTI. Bahkan warga NU yang secara formal dilarang ikut aksi oleh PBNU, bisa dipastikan menjadi penyumbang terbesar massa Aksi Bela Islam.
Tidak mengagetkan ketika kemudian pemerintah memutuskan untuk mengajukan pembubaran HTI ke pengadilan, maka reaksi yang sangat keras muncul dari kalangan umat Islam tanpa memandang apa latar belakang harakah-nya.
Pemerintah tadinya menilai HTI sebagai mata rantai terlemah dan ikatannya juga paling kendur dalam komunitas umat. Makanya HTI kemudian dipilih sebagai test case. Bila HTI berhasil dibubarkan, pemerintah dipastikan akan mulai mengincar mata rantai-mata rantai yang lain dan pada gilirannya semua ikatan mata rantai umat Islam bisa dipatahkan.
Pilihan HTI sebagai korban pertama sesungguhnya tidak salah-salah amat. Kendati terlibat dalam berbagai Aksi Bela Islam, tapi dalam Pilkada DKI secara formal HTI tidak terlibat alias Golput.
HTI juga mengusung isu khilafah yang banyak ditolak oleh harakah-harakah lainnya, terutama NU yang mengusung ide Islam Nusantara.
Namun yang nampaknya gagal dipahami oleh Jokowi, bahwa secara manhaj HTI adalah ahlussunah waljama’ah, sama dengan harakah lainnya. HTI berbeda dengan Syiah ataupun Ahmadiyah, yang dinilai bukan Islam.
Jadi kalau yang mau dibubarkan Syiah dan Ahmadiyah dijamin umat Islam tidak akan ribut. Pasti pemerintahan Jokowi akan didukung penuh.
Prinsip dasar bahwa sesama Islam adalah bersaudara, pasca Aksi Bela Islam ikatannya kembali menguat, bahkan sangat kuat. Ibarat sebuah tubuh ketika bagian tertentu disakiti, maka yang lain juga akan merasa sakit.
Itulah yang dirasakan umat Islam Indonesia dan menjelaskan mengapa mereka sangat solid menyikapi pembubaran HTI.
Kegagalan Jokowi dan orang-orangnya memahami berbagai perubahan sosio-demografis dan politis menjelaskan mengapa kemudian banyak blunder politik yang dilakukan Jokowi dalam kaitannya dengan umat Islam.
Alih-alih membangun banyak jembatan untuk mengatasi berbagai perbedaan, Jokowi malah membakarnya. Maklumlah namanya juga gagal paham.
*) Hersubeno Arief adalah wartawan senior yang kini menjadi konsultan media dan politik.