Hindari Sikap Arogan, Ini Sepuluh Falsafah Hidup Orang Jawa
Berkembangnya Islam di bumi Nusantara, tak lepas dari perjuangan para syuhada dan juru dakwah. Melalui jalan Islam damai. Tanpa peperangan. Sebagaimana diwujudkan secara umum di masyarakat Jawa, atas perjuangan Walisongo.
Atas berbagai jalur damai, misalnya, dengan menghargai nilai-nilai budaya masyarakat Jawa, terbukti Islam menjadi kekuatan mayoritas di Indonesia. Para ulama terdahulu di Nusantara, tak pernah memperolok atau menjelek-jelekkan kultur di masyarakat.
Ada kekhasan masyarakat yang terpelihara, sehingga berkembang beriringan dengan Islam itu sendiri. Kekhasan ini, sifat eklektif -- sesuai prinsip eklektisisme -- yang mampu beradaptasi antara Islam dan masyarakat setempat. Eklektisisme inilah yang dipahami dari ajaran Imam Ibn Idris Asy-Syafii atau Imam Syafii, sebagai madzah fikih mayoritas Islam di bumi Nusantara dan sebagian besar dunia.
Sementara Islam di Indonesia berjalan penuh dinamis tanpa gejolak dan kekerasan, di luar negeri, khususnya di Timur Tengah seolah tak ada damai dan penuh peperangan, hingga kini. Tengok, di Suriah, Irak, Lebanon, Afghanistan, dll.
Para ulama dan kiai pesantren di Nusantara, mengajarkan nilai-nilai Islam. Tak menganggap remeh prinsip-prinsip yang diajarkan leluhurnya terdahulu. Dengan prinsip-prisip yang selaras nilai Islam, masyarakat Jawa secara umum dikenal toleran, tidak arogan, dan menghargai orang lain.
Nilai ajaran leluhur orang Jawa, sebagaimana juga diimplementasikan para ulama pesantren, mengajarkan di antara Sepuluh Falsafah Hidup agar manusia dapat bermanfaat di dunia dan selamat di akhirat.
Berikut dikutip dari catatan Ratih Poeradisastra, Sepuluh Falsafah Hidup Orang Jawa:
1.Urip Iku Urup. Hidup itu nyala.
Hidup itu hendaknya memberi manfaat bagi orang lain di sekitar kita. Semakin besar manfaat yang bisa kita berikan tentu akan lebih baik.
2. Memayu Hayuning Buwana, Ambarasta Dur Hangkara.
Manusia hidup di dunia harus mengusahakan keselamatan, kebahagiaan, dan kesejahteraan serta memberantas sifat angkara murka, serakah, dan tamak.
3. Sura Dira Jaya Jayaningrat, Lebur Dening Pangastuti.
Segala sifat keras hati, picik, dan angkara murka hanya bisa dikalahkan dengan sikap bijak, lembut hati, dan sabar.
4. Ngluruk Tanpa Bala, Menang Tanpa Ngasorake, Sekti Tanpa Aji-aji, Sugih Tanpa Bandha.
Berjuang tanpa perlu membawa massa. Menang tanpa merendahkan atau mempermalukan. Berwibawa tanpa mengandalkan kekuasaan, kekuatan, kekayaan, atau keturunan. Kaya tanpa didasari kebendaan.
5. Datan Serik Lamun Ketaman, Datan Susah Lamun Kelangan.
Jangan gampang sakit hati manakala musibah menimpa diri. Jangan sedih manakala kehilangan sesuatu.
6. Aja Gumunan, Aja Getunan, Aja Kagetan, Aja Aleman.
Jangan mudah terheran-heran, Jangan mudah kecewa, Jangan mudah terkejut-kejut, Jangan manja.
7. Aja Ketungkul Marang Kalungguhan, Kadonyan lan Kemareman.
Janganlah terkungkung oleh keinginan untuk memperoleh kedudukan, kebendaan, dan kepuasan duniawi.
8. Aja Keminter Mandak Keblinger, Aja Cidra Mundak Cilaka.
Jangan merasa paling pandai agar tidak salah arah, Jangan berbuat curang agar tidak celaka.
9. Aja Milik Barang Kang Melok, Aja Mangro Mundak Kendo.
Jangan tergiur oleh hal-hal yang kelihatan mewah dan bagus. Jangan berpikir mendua agar tidak hilang niat dan patah semangat, harus fokus.
10. Aja Adigang, Adigung, Adiguna.
Jangan sok kuasa, sok besar, dan sok sakti.
Advertisement