Hindari Segala Bentuk Kerakusan, Ini Pesan Moral Haedar Nashir
Ketua Umum PP Muhammadiyah, Haedar Nashir berwasiat, pentingnya umat Islam menjaga solidaritas dan mengambil spirit Idul Adha. Spirit itu tak lain adalah kerelaan berkurban.
"Bersamaan dengan perayaan ‘Idul Adha, umat Islam dari seluruh dunia saat ini tengah menunaikan ibadah haji di tanah suci. Mereka telah selesai menunaikan wukuf dan kini sedang mabit di Mina untuk jamarat. Dengan jiwa ‘Idul Adha, berkurban, dan berhaji tentu diharapkan setiap insan muslim dalam menjalani kehidupan semakin lebih baik dalam mewujudkan keshalihan dengan melakukan segala amal kebaikan dalam hidup," tuturnya.
Dengan berkurban maupun berhaji dan ibadah lain bagi yang menunaikannya, setiap muslim melakukan penjinakkan atau bahkan peluruhan terhadap penyakit egoisme dan cinta berlebihan terhadap segala hiasan dunia seperti harta dan tahta.
Allah memberikan gambaran tentang watak manusia sebagai berikut:
زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ الشَّهَوَاتِ مِنَ النِّسَاءِ وَالْبَنِينَ وَالْقَنَاطِيرِ الْمُقَنْطَرَةِ مِنَ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَالْخَيْلِ الْمُسَوَّمَةِ وَالْأَنْعَامِ وَالْحَرْثِ ۗ ذَٰلِكَ مَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا ۖ وَاللَّهُ عِنْدَهُ حُسْنُ الْمَآبِ
Artinya: “Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).” (QS Ali Imran: 14).
Pada ayat lain Allah berfirman yang mengandung peringatan yang artinya: “Katakanlah, “Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, istri-istri, keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan Rasul-Nya dan dari berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya.” Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik.” (QS. At-Taubah: 24).
Bahwa musuh terbesar manusia adalah diri sendiri yang mencinta ego dan kesenangan dunia melebihi kewajaran, sehingga mengidap penyakit ta’bid ‘an al-nafs (diperbudak diri) dan ta’bid ‘an al-dunya (membudakkan diri pada dunia). Sejarah manusia sesungguhnya dimulai dari pertarungan hidup menaklukkan segala hasrat dan kepentingan diri dan angkara dunia di tengah relasi orang lain dan lingkungannya. Qabil putra Adam tega membunuh saudaranya Habil demi kepentingan diriya. Fir’aun sewenang-wenang memperlakukan orang lain, bahkan karena kecongkakannya Raja Ramses itu menyatakan diri sebagai “tuhan yang maha tinggi”. Qarun yang konglomerat selain pelit juga rakus menghisap orang lemah dan menguasai kekayaan publik secara semena-mena.
Sementara Hammam di zaman kekuasaan Bani Israel itu menunjukkan karakter sebagai pejabat korup dan menyalahgunakan kekuasaannya demi kepentingan dirinya, sehingga jabatannya tidak menyejahterakan rakyatnya.
"Jika ketimpangan sosial masih tinggi dan segelintir orang menguasai kekayaan negeri tanpa rasa sungkan, hal itu menunjukkan luruhnya solidaritas sosial yang autentik dari kehidupan kolektif bangsa ini."
Pada titik dialektik antara hasrat dan kendali diri di tengah hegemoni hasrat duniawi itulah sesungguhnya Ibrahim, Ismail, dan Siti Hajar melalui peristiwa Qurban mengajarkan mozaik ruhaniah yang berharga. Bahwa setiap insan beriman akan naik tangga ke puncak keutamaan tertinggi jika sukses menalukkan diri dan dunianya demi sesuatu yang lebih luhur dan hakiki. Mana mungkin ketiga insan kekasih Tuhan itu rela hati berkorban nyawa Ismail, jika mereka masih terbelenggu oleh ego diri dengan segala kepentingannya yang ragawi. Mereka adalah insan yang terbebaskan dan tercerahkan dari hasrat egoisme yang naif, kemudian menjelma menjadi para altruis yang selalu peduli dan berbagi bagi kepentingan orang banyak.
Ketika bangsa ini masih dililit problem kesenjangan sosial dengan seglintir orang atau kelompok kecil menguasai bagian terbesar kekayaan negeri. Tatkala korupsi, konflik sosial, dan perilaku ajimumpung masih menjadi pemandangan umum. Sesungguhnya sumber utamanya karena ketamakan ego untuk memiliki apa saja dengan hasrat rakus. Mereka hanya mengabdi pada libido ketamakan yang tak berkesudahan, tak peduli bila harus merugikan kehidupan sesama dan lingkungan semesta.
Ketika manusia cinta diri dan dunia secara berlebihan, mereka tak pernah puas diri meraih kedigdayaan dunia hingga ajal memisahkannya (QS At-Takatsur: 1-2). Tidak kenal tua maupun muda, bahkan siapapun, makanala cinta kuasa dan dunia sudah menyala-nyala dalam diri manusia, maka segala cara ditempuh dan dihalalkan. Mereka secara lahiriah tampak perkasa di hadapan orang lain, tetapi sejatinya menjadi orang lemah karena menjadi budak dunia. Nabi Muhammad mengingatkan bahwa melawan hawa nafsu sebagai jihad akbar. Perang menaklukan diri melebihi perang Badr dan Uhud.
Secara fisik ibadah qurban ialah berkorban materi atau seekor hewan. Lebih dari itu secara ruhani berqurban hakikatnya melawan hawa nafsu menuju tangga taqwa. Allah berfirman dalam Al-Quran:
لَنْ يَنَالَ اللَّهَ لُحُومُهَا وَلَا دِمَاؤُهَا وَلَٰكِنْ يَنَالُهُ التَّقْوَىٰ مِنْكُمْ ۚ كَذَٰلِكَ سَخَّرَهَا لَكُمْ لِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَىٰ مَا هَدَاكُمْ ۗ وَبَشِّرِ الْمُحْسِنِينَ
Artinya: “Daging-daging dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketaqwaan dari kamulah yang dapat mencapainya.
Demikianlah Allah telah menundukkannya untuk kamu supaya kamu mengagungkan Allah terhadap hidayah-Nya kepada kamu. Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik.“ (QS Al-Hajj: 37).
Pada suatu hadits disebutkan bahwa Zaid Ibn Arqam, ia berkata atau mereka berkata: “Wahai Rasulullah SAW, apakah qurban itu?” Rasulullah menjawab: “Qurban adalah sunahnya bapak kalian, Nabi Ibrahim.” Mereka bertanya: “Apa keutamaan yang kami akan peroleh dengan qurban itu?” Rasulullah menjawab: “Setiap satu helai rambutnya adalah satu kebaikan.” Mereka bertanya lagi: “Kalau bulu-bulunya?” Rasulullah menjawab: “Setiap satu helai bulunya juga satu kebaikan.” (HR. Ahmad dan Ibn Majah).
Karenanya setiap muslim yang berqurban mengandung makna ruhani dirinya menanam dan menebar benih kebaikan selain untuk dirinya tetapi untuk sesama umat manusia. Tanamkan jiwa peduli, berbagi, dan beramal kebajikan lebih-lebih untuk orang-orang yang membutuhkan. Termasuk bagi saudara-saudara sebangsa di NTB maupun di tempat lain yang tengah ditimpa musibah. Kembangkan solidaritas sosial yang memupuk persaudaraan, toleransi, perdamaian, dan kebersamaan yang tulus sebagai sesama anak bangsa.
Kembangkan kebiasaan gemar menolong, berbagi rezeki, melapangkan jalan orang yang kesulitan, mengentaskan mereka yang lemah, membela orang yang terrzalimi, suka meminta dan memberi maaf, mengedepankan kepentingan orang banyak, dan berbagai kebaikan sosial yang utama. Sebaliknya hindarkan diri dari segala bentuk kerakusan yang merugikan orang lain dan menimbulkan kerusakan hidup seperti korupsi, gratifikasi, eksploitasi alam, monopoli, oligopoli, kejahatan kerah putih, politik uang, serta segala tindakan amoral dan asosial.
Islam mengajarkan persaudaraan sesama dan menjauhi segala perbuatan nista. Dalam kehidupan sehari-hari sikap sosial yang luhur dan mulia harus terus ditumbuhkan ketika egoisme cenderung merebak dalam kehidupan bangsa. Jika ketimpangan sosial masih tinggi dan segelintir orang menguasai kekayaan negeri tanpa rasa sungkan, hal itu menunjukkan luruhnya solidaritas sosial yang autentik dari kehidupan kolektif bangsa ini. Jauhi kekerasan, permusuhan, kebencian, dan saling menghinakan sesama anak bangsa agar keutuhan negeri tetap terjaga secara harmoni.
Pasca-Idul Adha setiap muslim perlu merayakan solidaritas sosial sebagai budaya dan praksis sosial untuk membela kaum lemah, mengadvokasi kaum kaya agar mau berbagi, dan menebar serbakebajikan dengan sesama yang bersifat melintasi. Budaya dan praksis solidaritas sosial juga disebarluaskan melalui harmonisasi sosial yang memupuk benih-benih toleransi, welas asih, damai, dan saling memajukan yang membawa pada kebajikan hidup kolektif yang luhur dan utama.
Orientasi keagamaan dalam kehidupan sosial yang indah ini jangan mekar sesaat di kala ritual, tetapi mewujud dan menyebarluas sepanjang masa dalam kehidupan sebagai pantulan iman dan ihsan yang merahmati semesta alam. (adi)