Hindari Perceraian, Perkuat Tiga Pilar Ketahanan Keluarga
Dalam membina keluarga, tentu setiap orang menginginkan adanya kebaikan dan kebahagiaan dalam kehidupan keluarganya. Hal ini sebagai perwujudan rasa cintanya kepada mereka, yang mana kecintaan ini merupakan fitrah yang Allah telah tetapkan kepada jiwa setiap manusia.
زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ الشَّهَوَاتِ مِنَ النِّسَاءِ وَالْبَنِينَ وَالْقَنَاطِيرِ الْمُقَنْطَرَةِ مِنَ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَالْخَيْلِ الْمُسَوَّمَةِ وَالْأَنْعَامِ وَالْحَرْثِ ذَلِكَ مَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَاللَّهُ عِنْدَهُ حُسْنُ الْمَآبِ
“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia; dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga)” (QS Ali ‘Imran:14).
Isu ketahanan keluarga makin marak diperbincangkan di masyarakat khususnya bagi masyarakat Indonesia mengingat semakin meningkatnya angka perceraian, khususnya gugat cerai yang dilayangkan ke meja pengadilan.
Tiga Pilar Penting
Ketahanan keluarga adalah kemampuan keluarga dalam mengelola masalah yang dihadapinya berdasarkan sumberdaya yang dimiliki untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Dalam hal ini, kebutuhan keluarga tersebut dapat dilihat dari tiga aspek yaitu, yaitu ketahanan fisik, ketahanan sosial, dan ketahanan psikologis.
1. Ketahanan Fisik
Ketahanan fisik mencakup kepada kebutuhan primer dalam keluarga seperti terpenuhinya kebutuhan pangan, sandang, papan, pendidikan dan kesehatan. Aspek fisik bisa kita sebut juga sebagai aspek material, yang mana ini merupakan komponen penting di dalam keluarga karena memang tak jarang pula ketidakharmonisan dalam keluarga dipicu karena adanya masalah kecil yang tidak terpenuhi dari ketahanan fisik ini.
Berdasarkan data yang diterbitkan Badilag MA, mayoritas penyebab perceraian didorong dua persoalan besar yang sering dialami dalam gugatan perceraian yakni persoalan ekonomi dan perselisihan yang tidak berkesudahan dalam membina mahligai rumah tangga. Persoalan kurang tanggung jawab dalam memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga mendapat angka yang cukup besar dalam banyak kasus perceraian.
2. Ketahanan Sosial
Mengenai ketahanan sosial, bisa terlihat pada pembagian peran, dukungan untuk maju dan waktu kebersamaan anggota keluarga, membina hubungan sosial yang baik, dan mekanisme penanggulangan masalah dalam keluarga tersebut.
Hal tersebut menunjukkan bahwa memang diperlukannya komunikasi positif dalam segala aspek di lingkungan keluarga untuk menunjang terpenuhinya ketahanan sosial. Apabila berorientasi pada nilai agama, maka komunikasi antar anggota keluarga akan berlangsung efektif. Islam juga mengajarkan nilai komitmen keluarga yang tinggi melalui sikap saling menjaga dan melindungi kehormatan keluarga.
أَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ قُوٓا۟ أَنفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا ٱلنَّاسُ وَٱلْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَٰٓئِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَّا يَعْصُونَ ٱللَّهَ مَآ أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan,” (QS. At-Tahrim : 6)
3. Ketahanan Psikologis
Ketahanan psikologis, hal ini ditunjukkan apabila keluarga mampu menanggulangi masalah non fisik dengan melakukan pengendalian emosi secara positif. Di dalam konsep psikologis keluarga maka diperlukan kepedulian satu sama lain terutama dari pihak suami dan istri.
Kepuasan anggota keluarga dalam berkehidupan rumah tangga menjadi indikator seberapa kuat ketahanan psikologis yang dimiliki sebuah keluarga. Menyiapkan waktu berkualitas untuk komunikasi positif tatap muka setiap anggota keluarga merupakan upaya yang bisa dilakukan untuk menjaga ketahanan keluarga khususnya bagi keluarga modern yang telah terbiasa menggunakan media digital sebagai alat komunikasi di era modern saat ini. Demikian ulasan Nurul Mahmudah, dipetik dari mui-digital.