Hindari Biaya Sewa, Pedagang Ini Rela Jualan dalam Makam Covid-19
Sejauh mata memandang hanya tampak gundukan tanah dengan nisan identitas di atasnya. Maklum tempat ini memang kuburan. Sepi. Ini adalah Tempat Pemakaman Umum (TPU) Keputih Surabaya. Di sini pula banyak korban COVID-19 dimakamkan.
Mendengar cerita makam COVID-19 saja sebagian orang mungkin akan merinding dan enggan berkunjung. Apalagi membuka usaha di tengah kuburan. Apalagi warung kopi. Tentu orang akan berpikir, tak masuk akal membuka warung kopi di tengah kuburan. Apalagi membuka usaha di lokasi yang dianggap tak membawa hoki.
Namun, anggapan seperti itu tak berlaku bagi Bu Mamud, 52 tahun. Dia adalah warga Keputih, Kecamatan Sukolilo, Surabaya. Bu Mamud punya usaha warung kopi di tengah TPU Keputih. Warung ini biasa buka dari jam delapan pagi sampai jam setengah lima sore.
Untuk datang ke warung ini, harus masuk gapura kompleks TPU Keputih. Jalannya panjang, dikelilingi pemandang makam dengan rumput hijau di atasnya. Kurang lebih 200 meter dari gapura, sebelah kiri jalan akan tampak warung motor dengan beratapkan terpal. Inilah warung kopi milik Bu Mamud. Warung motor ini selain beratapkan terpal juga bernaung di pohon yang rindang. Tapi saat reporter Ngopibareng berkunjung beberapa waktu yang lalu, pohon ini baru saja dipangkas. Bikin suasana agak panas.
Kata Bu Mamud dia memilih TPU Keputih sebagai tempat berjualan dikarenakan tidak adanya biaya sewa. “Anak saya itu bagian dari keamanan TPU Keputih. Alhamdulillah jadi saya bisa jualan di sini. Kalau orang luar yang mau jualan di sini tak bisa,” katanya.
Bu Mamud sudah berjualan di sekitar TPU Keputih lumayan lama. Dia sudah berjalan di lokasi ini sekitar dua tahun. Awalnya Bu Mamud was-was untuk berjualan di tempat ini. Apalagi TPU Keputih adalah makam Covid-19 terbesar di Surabaya. Bu Mamud merasa takut karena COVID-19 ini gampang menular.
Saat itu, setiap kali mau berangkat jualan, ia mengaku selalu ada rasa khawatir. Satu sisi ada rasa khawatir jualan di makam COVID, tapi sisi lainnya dia terlanjur mempunyai pelanggan tetap yang sayang ditinggalkan. Para pelanggan warung kopi Bu Mamud ini tentu saja dari para petugas TPU atau anggota paguyuban perawat makam.
“Ya jarang orang-orang luar yang mampir di sini. Biasanya orang-orang habis nyelawat yang langsung pulang. Penghasilannya juga tak pasti. Pokoknya dilakukan dengan telaten. Rezeki sudah diatur sama Gusti Allah,” kata Bu Mamud.
Sebelum membuka usaha di tempat tak lazim ini, Bu Mamud sempat bekerja sebagai buruh pabrik selama 21 tahun. Dia bekerja di salah satu pabrik rotan di Kabupaten Gresik.
Tapi Bu Mamud kemudian memutuskan resign tanpa pesangon sepeser pun. Lalu dengan modal yang sudah dikumpulkan selama bekerja di pabrik, Bu Mamud berjualan pisang keju di sekitar Jalan Ngagel.
Awalnya, dagangan Bu Mamud sangat laris. Sehari dia bisa mengantongi duit sekitar Rp1 jutaan. Namun usaha ini tidak bertahan lama. Bu Mamud akhirnya gulung tikar. Penyebabnya, pisang keju ini dianggap makanan musiman. Jadi lambat laun pasti akan sepi pengunjung.
Dia kemudian berpikir keras untuk membuka usaha lainnya. Akhirnya ketemu ide untuk membuka warung kopi dengan menggunakan gerobak roda tiga. Apalagi ada jaminan lokasi dari anaknya yang juga penjaga makam TPU Keputih ini.
”Awalnya takut buat jualan di sini. Tapi mau bagaimana lagi? Banyak petugas-petugas yang dulunya nganggur gara-gara korban PHK sekarang bisa kerja lagi di TPU. Ada hikmah di balik musibah,” pungkas Bu Mamud.
Penulis: Asa Secita R (Magang)