Hikayat Pencari Kursi
Minggu lalu, dalam sebuah pertemuan, Adi Adrian—keyboardist group musik KLa Project itu, bercerita panjang lebar. Belakangan itu, dia sibuk sekali. Membuat simulasi.
Dia menjelaskan tentang Sainte Lague. “Apakah ini calon lagu?” tanya seorang teman. Dia menggeleng. Bukan sepertinya.
Ternyata, metode Sainte Lague ini termaktub dalam UU No. 7 Tahun 2017, tentang Pemilu. Cara penghitungan ini dipolulerkan Andre Sainte Lague. Seorang pakar matematika asal Prancis.
Adi menjelaskan, partai harus memenuhi ambang batas (parliamentary threshold); 4 persen. Lalu suara itu dikonversi jadi kursi di DPR RI sesuai daerah pemilihan (Dapil). Suara dibagi dengan bilangan 1, 3, 5, 7, dan seterusnya.
Jadi urusan simulasi ini, terkait nasib karibnya, Katon Bagaskara. Penarik suara Lagu Yogyakarta itu, tengah mengadu peruntungan. Bertarung sebagai calon anggota DPR RI dari Dapil DIY.
“Dari data C1 terakhir, saya mensimulasi, sebesar apa kemungkinan Katon lolos,” jelasnya. Sayangnya, hasil simulasi itu tak seperti diharapkan. Katon sepertinya tak bisa menjemput impian.
Dia bak pungguk merindukan bulan. “Sepertinya gagal. Butuh keajaiban,” tambahnya lirih. Dan perkiraan Adi tepat. Hasil rekapitulasi KPU DIY pada Sabtu, 11 Mei lalu memastikan analisa itu.
Hanya delapan orang lolos. Nama tenar seperti Mbak Titiek Soeharto dan Katon Bagaskara, tersingkir. Termasuk Roy Suryo, mantan menteri yang terkenal karena panci itu, juga tak dapat kursi.
Sebenarnya, seberapa susahnya mencari suara? Seorang teman, pengasuh pondok pesantren juga berbagi usaha. Dia maju jadi calon anggota DPR dari Dapil Madura.
Hasil pleno KPU Jatim membuatnya senasib. Kursi impiannya di Senayan, sirna. “Pertempuran di Madura berat,” tutur Gus Monib dalam logat Maduranya.
Awalnya dia bimbang, akhirnya tetap maju perang. Itupun setelah penugasan partai turun di akhir pendaftaran. Waktu kampanye, cuma tersisa dua bulan.
Dalam pengalamannya, konflik sudah bermula dari titik pemasangan baliho kampanye. Salah tempat, tak sampai sepekan, baliho dirusak orang. Uang sia-sia hilang.
Bila ingin suara di Madura, kontestan harus silaturahmi ke tiga pemilik kunci. Pertama tokoh agama, pemilik wilayah spiritual. Yakni para sesepuh, kiai, pengasuh pondok pesantren, hingga ustaz.
Konflik sudah bermula dari titik pemasangan baliho kampanye. Salah tempat, tak sampai sepekan, baliho dirusak orang. Uang sia-sia hilang.
Kedua bertemu Blater, ini para jawara penguasa jalanan. Ketiga, mendapat restu Klebun, para Kepala Desa. “Yang paling penting, ya dukungan Klebun,” jelasnya.
Klebun ternyata tokoh sentral. Penguasa masyarakat Madura sebenarnya. Karena masyarakat lebih menuruti kata mereka.
Karena Klebunlah, perawat warga Desa. Konon, modal menjadi Klebun sangat tinggi. Bisa tembus hingga 1 milliar rupiah. Mirip biaya anggota DPRD.
Dalam pengalamannya, pengikat restu itu komitmen transaksional. Modal besar yang utama. Program kerja atau pendekatan personal tak bertaji.
“Jadi, biarpun ulama dan jawara mendukung, tanpa restu para klebun, pasti suara tergulung,” paparnya.
Para pencari kursi setengah mati berburu mimpi. Tapi, ternyata semua tergantung setebal apa dompet yang terisi. Hikayat demokrasi setengah hati.
Ajar Edi, kolumnis ngopibareng.id
Advertisement