Hikayat Nabi Sulaiman, Anak yang Berbakti kepada Orangtua (2)
Kajian Tasawuf bersama Ustadz M. Nurul Hadi Amin.
Bagian Kedua:
Pemuda itu sedang melakukan shalat, lalu Nabi Sulaiman masuk ke dalamnya dan memberikan salam kepada pemuda itu. Pemuda itu pun mempercepat shalatnya dan menjawab salam Nabi Sulaiman.
“Sebab apa kau bisa berada di dasar laut ini?” tanya Nabi Sulaiman mengawali pembicaraan.
“Wahai nabiyallah, sesungguhnya bapak saya adalah seorang laki-laki yang lumpuh dan ibu saya adalah seorang wanita yang buta. Saya merawat keduanya selama tujuh puluh tahun. Saya merawat keduanya dengan penuh kasih sayang. Ketika ajal menjemput ibu saya, dan berdoa kepada Allah ‘Ya Allah, panjangkanlah umur anakku dalam keadaan selalu takwa kepada-Mu’ dan ketika ayah saya wafat dia berdoa kepada Allah ‘Ya Allah, tempatkanlah anakku ini di tempat yang tidak ditemukan oleh setan’,” cerita pemuda itu kepada Nabi Sulaiman.
Sejenak keduanya terdiam. “Setelah saya memakamkan kedua orang tua saya, saya berjalan-jalan ke tepi pantai untuk menghilangkan kesediahan saya. Lalu saya melihat kubah yang bercahaya, kubah tersebut sangat indah, saya masuk ke dalamnya untuk melihat keindahan kubah tersebut. Lalu datanglah malikat dari beberapa malaikat. Malaikat tadi membawa kubah tersebut ke dalam laut, sedangkan saya berada di dalamnya,” ucap pemuda itu melanjutkan ceritanya.
“Pada zaman siapa kamu mendatangi pantai?” tanya Nabi Sulaiman penuh penasaran.
“Pada zaman Nabi Ibrahim ‘alaihi sallam,” jawab pemuda itu.
Sejenak Nabi Sulaiman terdiam, mengingat kembali sejarah. Begitu terkejutnya Nabi Sulaiman ketika mengetahui bahwa jarak zamannya dengan zaman Nabi Ibrahim itu adalah dua ribu empat ratus tahun. Begitu panjangnya umur pemuda dan yang anehnya lagi tidak dijumpai satu helai rambutnya yang beruban.
“Lalu, bagaimana kamu bisa mendapatkan makan dan minun?” tanya Nabi Sulaiman.
“Wahai Nabiyallah, setiap hari datang kepadaku seekor burung yang membawakanku makanan sebesar kepala manusia. saya memakanya, saya merasakan kenikmatan yang belum pernah saya rasakan di dunia, setelah saya memakannya, saya tidak lagi merasakan lapar, haus, gerah, dingin, tidur, kantuk dan sifat-sifat yang dirasakn oleh manusia pada umumnya serta saya juga tidak merasakan kesepian,” jawab pemuda itu kepada Nabi Sulaiman.
“Maukah kamu ikut denganku di kerajaanku atau kamu ingin kembali kepada tempatmu?” Nabi Sulaiman memberikan penawaran kepada pemuda itu.
“Wahai nabiyallah, tolong kembalikan aku ke tempat semula,” pinta pemuda itu kepada Nabi Sulaiman.
Lalu Nabi Sulaiman memerintahkan Asif Barkhiya untuk mengembalikan pemuda itu ke tempat semula, saat itu juga pemuda itu hilang dari pandangan Nabi Sulaiman dan rombongan.
Dari kisah tersebut kita bisa mengambil hikmah bahwasanya doa orang tua itu sangatlah mustajab dan tidak bisa diragukan lagi. Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ثَلاَثُ دَعَوَاتٍ يُسْتَجَابُ لَهُنَّ لاَ شَكَّ فِيهِنَّ دَعْوَةُ الْمَظْلُومِ وَدَعْوَةُ الْمُسَافِرِ وَدَعْوَةُ الْوَالِدِ لِوَلَدِهِ
"Tiga doa yang mustajab yang tidak diragukan lagi, yaitu doa orang yang dizalimi, doa orang yang bepergian (safar), dan doa orang tua pada anaknya,” (HR Ibnu Majah).
Oleh karena itu, kita sebagai anak seharusnya berbakti kepada orang tua. Minimal dengan tidak membuatnya sakit hati, atau syukur-syukur bisa membuat mereka bangga, serta merawatnya dengan kasih sayang, dan masih banyak lagi hal yang bisa dilakukan. Jangan sampai kita menyakiti hati mereka dan selalu mengharapkan ridha dari orang tua.
Dari Abdullah bin ‘Amru radhiallahu ‘anhu, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
رِضَى الرَّبِّ فِي رِضَى الوَالِدِ، وَسَخَطُ الرَّبِّ فِي سَخَطِ الْوَالِدِ
“Ridha Allah tergantung pada ridha orang tua dan murka Allah tergantung pada murka orang tua” (HR. Hakin, ath-Thabrani).