Hijrah: Menyelamatkan Jiwa, Menghidupkan Dunia
oleh: KH Husein Muhammad
Dari sebuah gua yang sepi, senyap dan pengap, Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wasallam (Saw) tampil dengan senyum dan percaya diri. Tuhan melalui Jibril telah membisikinya pesan-pesan profetik yang harus disampaikan kepada dunia yang tengah sekarat dan dalam kegelapan yang pekat.
Tuhan memproklamirkannya sebagai kekasih, Nabi dan utusan-Nya. Muhammad bin Abdillah sendirian, melangkah setapak demi setapak tetapi pasti dan tanpa gentar, meski pedang Umar yang tajam bakal menebas lehernya. Ia menghadapi “Jagoan” Makkah paling ditakuti itu dengan senyum dan keramahan yang tulus.
Senyum manis dan keramahan penuh itu meluluhkan hati yang keras sang jagoan. Tak lama kemudian, ia bertekuklutut, bersimpuh di hadapan Nabi sambil bersumpah untuk siap, kapan dan di manapun, membelanya meski dengan mempertaruhkan nyawanya sekalipun.
Tiga belas tahun lamanya Nabi Muhammad saw menawarkan gagasan profetik-humanistik. Ia menyerukan kaumnya di Makkah untuk beriman kepada Allah. “hai manusia, hanya Tuhan saja yang seharusnya kalian sembah, yang kalian agungkan, bukan yang lain”, ujarnya setiap saat.
Sejumlah orang mengikuti seruannya, tetapi masih lebih banyak lagi yang menentangnya. Kehadiran Nabi dengan gagasan monoteistik itu telah mengganggu ketenangan tradisi, mengancam kekuasaan status quo. Maka penindasan demi penindasan terhadap Nabi dan pengikutnya terus berlangsung, setiap hari, setiap saat dan dengan segala cara; merayu, mengancam, teror, kekerasan fisik, sampai politik isolasi.
Menjelang tahun ketiga belas misi profetiknya, para penentang Nabi sudah kehabisan akal dan kehilangan cara untuk menghentikan gerakan dakwah Nabi. Di Dâr al-Nadwah, semacam balai sidang/musyawarah, mereka berembuk. Suara hingar-bingar, meledak-ledak penuh emosi memenuhi ruang itu. Berbagai usulan muncul. Keputusan akhir kemudian diambil: Muhammad harus dibunuh malam hari secara ramai-ramai. Jika klan Muhammad menuntut darahnya, mereka akan patungan untuk memberinya tebusan.
Ketiak Bertemu Malaikat Jibril
Jibril segera hadir di kamar Nabi dan membisikinya soal rencana pembunuhan itu. Syeikh Yusuf al Nabhani mengenai ini mengungkapkan peristiwa ini dalam puisi Na’tiyahnya begini :
وَاَتاهُ بِمَكْرِهِم جِبْريلُ فَبَدَا كَيْدُهُم وَخَابَ الدَّهَاءُ
“Dan karena makar mereka, Jibril datang
Mereka gagal
dan politisi cerdas mereka hilang akal”
(Al-Majmu’ah al Nabhaniyyah fi Al-Madaih Al-Nabawiyyah)
Tuhan segera mengizinkan beliau hijrah ke Yatsrîb (kini bernama Madinah). Nabi sendiri merasa begitu berat meninggalkan tanah kelahirannya itu. Tetapi nyawa manusia begitu berharga. Ia selalu menyaksikan betapa banyak nyawa dan derita manusia, sahabat-sahabatnya, yang terancam, gara-gara mengikutinya. Ia ingin agar tak ada lagi nyawa melayang sia-sia dan agar mereka tak lagi menderita. Perjuangan masih panjang. Ia harus meninggalkan kota itu demi keselamatan jiwa-jiwa itu. Tetapi lebih dari itu adalah menyelamatkan kebebasan, keimanan dan menyebarkan risalah Tuhan yang universal dan maha penting.
Menatap Ka'bah dan Bukit-bukit
Sebelum meninggalkan rumahnya, Nabi menatap Ka’bah dan bukit-bukit di sekeliling Makkah dengan hati mengharubiru. Ia begitu mencintai tempat kelahirannya, tempat bermain dan menggembala domba ketika kanak dan remaja. Ia mengingat dengan penuh, sahabat-sahabat yang mengalamai penyiksaan, penderitaan dan kelaparan yang tak tertahankan,sambil mendoakan mereka kedamaian dan kebahagiaan di akhirat, di sisi Tuhan. Tuhan memang sudah menjanjikan hal ini. Kata-Nya : “Maka orang-orang yang berhijrah, yang diusir dari kampung halamannya, yang disakiti pada Jalan-Ku, yang berperang dan yang dibunuh, pasti akan Aku maafkan kesalahan-kesalahan mereka, dan pastilah Aku masukkan mereka ke dalam surga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya, sebagai pahala dari Allah. Dan pada sisi Allah pahala yang baik”.(Q.S.3:195). Ia juga mendoakan keselamatan bagi sahabat-sahabatnya yang sudah lebih dahulu meninggalkan Makkah (hijrah). Ia mengetahui, kini, hanya bersama sahabat setianya: Abu Bakar dan sepunya Ali bin Abi Thalib serta beberapa orang saja yang diminta menemaninya. Dengan mata basah, beliau menyampaikan kata pamit:
“O, Makkah yang indah,
Aku mencintaimu seluruh
Jika saja tidak karena pendudukmu terus mengganggu,
Aku tidak akan meninggalkanmu. Pasti.
O, Ka’bah yang anggun,
Betapa mulianya engkau.
Jika saja tidak karena darah yang terus mengalir
Aku tidak akan ingin berpisah dengamu,
Selamanya, selamanya.
Tetapi aku kini harus pergi, harus pergi
Aku harus menyelamatkan nyawa manusia”.
Langit merah saga beringsut menjadi temaram. Ia berkerudung gulita. Makkah sunyi-senyap, bagai kota mati. Para pengikut Nabi telah meninggalkan Makkah beberapa hari sebelumnya, menuju Habasyah, Etiopia. Yang tersisa hanyalah Nabi, Abu Bakar dan Ali bin Abi Thalib. Penduduk kota itu tidur lebih awal agar tengah malam bisa bangun dan tak mengantuk. Abu Bakar, teman setianya, menunggu dalam cemas di balik batu-batu di seberang rumah Nabi. Ali, anak pamannya, sudah sampai di rumah, lalu masuk ke kamar Nabi dan segera mengambil selimut yang biasa dipakai sepupunya itu. Ia diminta Nabi tidur di atas tikar-tidurnya. Dan Nabi Saw, seperti biasanya, mengambil air wudhu, shalat dan berdo’a dengan seluruh jiwa. Sementara itu, para pembunuh berpencar di semak-semak di sekeliling rumah itu. Mata mereka tak berkedip mengawasi rumah Nabi. Pedang sudah diasah berjam-jam sejak siang, hingga rambut licin bisa ditebasnya, begitu tajam. Dengan satu kali “pluit” komando mereka secara serentak bangkit, bergerak cepat lalu mendobrak rumah itu dan menghunuskan pedang itu untuk ditebaskan ke tubuh nabi secara bersama-sama.
Langkah ke Luar Rumah
Usai shalat dan berdoa Nabi yang mulia itu membuka pintu dan melangkah keluar. Di luar rumah, Nabi tak melihat siapa-siapa, tak ada orang, sepi. Nabi menemui Abu Bakar yang seperti tak sabar, untuk selanjutnya bersama-sama menuju gunung Tsaur (Banteng). Para pembunuh begitu kecewa; “Muhammad lolos”, kata mereka.
Tiga hari kedua orang yang saling mengasihi itu berada di dalamnya. Abu Bakar sempat gemetar ketika berpuluh kaki musuh mendekatinya. Ia mendengar dengan jelas teriakan-teriakan dan hentakan kaki-kaki kuda yang mendekat ke arah gua. “Jika saja musuh-musuh itu melihat kakinya atau kaki Nabi, pastilah tamat sudah riwayat mereka berdua”, katanya dalam hati. Sementara Nabi tetap tenang. Beliau melihat dengan jelas kecemasan sahabatnya itu, lalu berusaha menenangkannya. Katanya: “Sahabat, jangan bersedih hati, Tuhan bersama kita”. Mereka lepas dari pengejaran para pembunuh. Esoknya mereka keluar dari gua itu dan melanjutkan perjalanan menuju Madinah untuk bertemu dengan rakyat di sana yang sudah lama merindukan kehadirannya.
Sambutan untuk Nabi ketika di Madinah
Ketika Nabi memasuki pintu Madinah, perempuan-perempuan kota itu berbaris untuk menyambutnya dengan suka cita sambil bernyanyi dan menari riang :
طَلَعَ البَدْرُ عَلَيْنَا
مِنْ ثَنِيَّةِ الوَدَاعِ
وَجَبَ الشُّكْرُ عَلَيْنَا
مَا دَعَا لِلِّه دَاع
“O, Purnama dari lembah Wada’ di Makkah
telah terbit di tengah kami
Ayo kita berterima kasih pada Tuhan
Seorang laki-laki berteriak : “Hai Bani Qailah, inilah orang yang kalian tunggu-tunggu. Dia telah datang, telah datang”. Wajah mereka sumringah. Bibir-bibir yang mengembang manis tampak di mana-mana. Nabi dan Abu Bakar, sahabat setianya, tetap di atas untanya. Para penyambut bingung, mana di antara dua orang penunggang unta itu yang namanya Muhammad. Abu Bakar membaca pikiran mereka. Dia segera memayungkan jubahnya di atas kepala Nabi. Kini mereka tahu yang mana utusan Tuhan yang lama dirindukan siang dan malam itu.
Hampir sepuluh tahun Nabi di kota yang berpendar cahaya ini. Ia rindu kembali ke kampungnya di Makkah untuk mengunjungi rumah tempat ibu yang melahirkannya sekaligus ke Bait Allah, rumah Tuhan. Ia pun pergi bersama beribu sahabatnya. Abu Sufyan, salah seorang arsitek pembunuhan Nabi bersama para pengikutnya, gentar. Tubuh mereka bergetar. Nabi mengerti. Dengan suara tenang penuh wibawa Nabi mengatakan : “Kalian bebas. Kalian boleh pergi ke mana saja dengan aman dan damai”.
(Cirebon, 05-12-10/Repost, 11.08.2021-HM)