Hijrah dan Jihad, Bagaimana Makna Sesungguhnya?
"hijrah dan jihad dipahami sebagai upaya maksimal umat Islam untuk meningkatkan kualitas hidup dan mengatasi masalah yang berkembang di masayarakat yaitu dampak ekstraksi atas lingkungan hidup, soal korupsi, masalah hoaks dan ujaran kebencian, politik uang, penanganan sampah, soal pendidikan, masalah anak dan perempuan".
"Seringkali di televisi, khususnya para artis menyebut dirinya hijrah ketika memakai busana yang sesuai dengan ajaran Islam. Sementara ada juga yang menyebut soal jihad. Dua kata ini terkadang tumpang tindih. Bisakah ustadz menjelaskan hal itu"
Demikian pertanyaan diajukan Indah Nur Hasanah, warga Jl Kaliasin Surabaya pada ngopibareng.id.
"Hijrah dan jihad sering dikaitkan di dalam satu bab hadits, demikian dijelaskan ustadz Alhafiz Kurniawan. Berikut penjelasan lengkapnya:
Hijrah dan jihad merupakan perintah Allah yang memiliki keutamaan luar biasa. Hijrah dan jihad memerlukan pengorbanan maksimal.
Dengan hijrah dan jihad, seseorang “harus” rela meningggalkan kampung halaman, harta, aset, jaringan bisnis, dan lain sebagainya.
Hal ini tergambar pada Surat At-Taubah ayat 111 sebagai berikut:
"Sungguh, Allah telah membeli dari orang-orang mukmin diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang pada jalan Allah; lalu membunuh atau terbunuh sebagai janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil, dan Al-Quran. Siapakah yang lebih menepati janjinya (selain) daripada Allah? Bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu lakukan itu. Itulah kemenangan yang besar,” (Surat At-Taubah ayat 111).
Selain ayat Al-Quran, hadits Rasulullah SAW juga menerangkan keutamaan hijrah dan jihad. Hihijrah dan jihad ini amal yang tidak ringan.
Keduanya menempati posisi ketiga setelah shalat pada waktunya dan berbakti kepada orang tua sebagaimana riwayat Imam Bukhari berikut ini:
Artinya, “Perihal ini ini ada riwayat dari Ibnu Mas’ud. ‘Aku bertanya kepada Rasulullah, ‘Wahai utusan Allah, amal apakah paling utama?’ ‘Sembahyang pada waktunya,’ jawab Rasulullah SAW. ‘Lalu apa lagi?’ tanyaku. ‘Lalu berbakti kepada orang tua,’ jawabnya. ‘Kemudian apa?’ tanyaku. ‘jihad di jalan Allah,’ jawabnya. Lalu aku diam. Andaikan kutambah pertanyaan, niscaya ia akan menjawabnya,’” HR Bukhari.
Rasulullah SAW menerangkan bahwa keutamaan jihad setara dengan ganjaran shalat dan puasa sepanjang waktu tanpa putus. Imam Bukhari juga meriwayatkan hadits berikut ini:
Artinya, “Perihal ini Abu Hurairah meriwayatkan, seseorang mendatangi Rasulullah SAW, lalu berkata, ‘Tunjukkan padaku sebuah amal yang setara keutamaan jihad?’ Rasulullah menjawab, ‘Aku tak menemukannya.’ Rasulullah melanjutkan, ‘Apakah ketika seorang pejuang keluar kau sanggup masuk ke masjid, lalu shalat tak berhenti dan berpuasa tanpa berbuka?’ ‘Siapakah yang sanggup melakukan itu?’ Abu Hurairah berkata, ‘Sungguh, kuda seorang mujahid yang terikat pada tali kekangnya akan dicatat sebagai kebaikan,’” (HR Bukhari).
Lalu apa pengertian hijrah itu? Apakah hijrah masih diperintahkan sementara Rasulullah sendiri pernah bersabda bahwa setelah peristiwa Fathu Mekkah, hijrah tidak ada lagi? Ulama berbeda pendapat perihal hijrah ini. Hijrah dan jihad dimungkinkan bila negara mengumumkan kondisi darurat militer. Sebagai keterangan Jalaluddin As-Suyuthi berikut ini:
Artinya, “Rasulullah SAW bersabda, ‘Tak ada hijrah setelah fathu Mekkah.’ Ulama mengatakan, hijrah dari darul harbi ke darus salam tetap disyariatkan hingga Hari Kiamat. Hadits ini ditakwil oleh ulama pada dua pandangan. Pertama, Tak ada (perintah) untuk hijrah (meninggalkan) kota Mekkah setelah peristiwa fathu Mekkah karena kota itu sudah berubah menjadi darul Islam. Sedangkan hijrah disyariatkan bagi mereka yang mendiami darul harbi. Di sini terkandung mukjizat Rasulullah SAW bahwa Mekkah akan kekal sebagai darul Islam sehingga tak terbayangkan untuk hijrah. Kedua, tak ada hijrah setelah fathu Mekkah yang keutamaannya melebihi keutamaan hijrah sebelum peristiwa fathu Mekkah sebagaimana firman Allah SWT, ‘Tidak sama orang di antara kamu yang berinfak sebelum dan berperang.’ ‘Tetapi jihad dan niat’ maknanya, tetapi kamu memiliki jalan untuk mengejar keutamaan-keutamaan dalam pengertian hijrah. Itu bisa didapat dengan jihad dan niat baik dalam segala hal. ‘Jika kamu diminta berjuang, maka berjuanglah,’ maknanya bila negara memanggilmu untuk berjuang dalam sebuah peperangan, maka sambutlah panggilan negara itu,” (Lihat Jalaluddin As-Suyuthi, Ad-Dibaj ala Shahihi Muslim ibnil Hajjaj, [Saudi: Daru Ibni Affan, 1996 M/1416 H], cetakan pertama, juz III, halaman 397).
Imam Bukhari juga meriwayatkan bentuk hijrah dan jihad bagi perempuan. Perempuan memiliki alternatif untuk mendapatkan keutamaan hijrah dan jihad di jalan Allah sebagaimana riwayat hadits Imam Bukhari dan keterangan dari Ibnu Baththal perihal hadits tersebut:
Artinya, “Perihal ini ada riwayat dari Aisyah RA. ‘Wahai Rasulullah SAW, kami memandang jihad sebagai amal paling utama. Apakah kami boleh berjihad?’ tanya Aisyah RA. ‘Kalian boleh menunaikan haji mabrur sebagai jihad paling utama,’ jawab Rasulullah SAW... Mahlab berkata bahwa hijrah adalah perintah wajib di masa-masa awal Islam bagi pemeluk Islam karena jumlah mereka yang sedikit dan keperluan mereka untuk bergabung dan berkonsolidasi. Ketika Allah menaklukkan Kota Mekkah, masyarakat memeluk Islam berbondong-bondong, maka gugurlah kewajiban hijrah. Yang tersisa hanya kewajiban jihad dan niat baik bagi orang yang melakukannya atau ketika musuh menyerang. Sementara Allah menjadikan ibadah haji sebagai amal yang lebih utama dibanding jihad karena ketidakperluan mereka pada jihad,” (Lihat Ibnu Baththal Al-Qurthubi, Syarah Shahih Bukhari, [Riyadh: Maktabah Ar-Rusyd, tanpa catatan tahun], juz V, halaman 5-6).
Dari pelbagai keterangan ini, kita dapat menyimpulkan bahwa perintah hijrah secara fisik bersifat wajib di awal penyebaran agama Islam atau dalam kondisi darurat seperti awal pergerakan kemerdekan 1945-1946. Sedangkan dalam suasana kondusif seperti ini, hijrah dan jihad dipahami sebagai upaya maksimal umat Islam untuk meningkatkan kualitas hidup dan mengatasi masalah yang berkembang di masayarakat yaitu dampak ekstraksi atas lingkungan hidup, soal korupsi, masalah hoaks dan ujaran kebencian, politik uang, penanganan sampah, soal pendidikan, masalah anak dan perempuan, atau soal layanan publik, dan banyak masalah lain. Wallahu a'lam. (adi)