Hijrah dalam Perspektif Negara Bangsa
Tahun Baru Hijrah 1 Muharram 1444 H mempunyai kesan tersendiri bagi Dr KH As'ad Said Ali. Mustasyar PBNU ini mencatat "Tahun Baru Hijrah (Dalam Perspektif Negara Bangsa)".
Renungan Wakil Ketua Umum PBNU (2010-2015) ini cukup mengajak kita berpikir panjang akan kehidupan kebangsaan Indonesia. Tentu, terkait dengan kehidupan dan perjuangan Rasulullah Muhammad shallallahu alaihi wasallam (Saw). (Redaksi)
Banyak pendapat ulama yang menyoroti hijrah Nabi Mohammad Shallallahu alaihi wasallam (Saw) dari Makkah ke Madinah yang menganggap sebagai awal bangunan struktur negara yang berbeda dari masa sebelumnya. Masyarakat Madinah dan sekitar nya terdiri dari penduduk Madinah (Anshar), Muhajirin dari Makkah, Yahudi terdiri Bani Qainuqa, Quraizah, Auf, Nadhir serta suku Baduy pengikut Zoroastra sepakat berada di bawah kekuasaan yang dipimpin Nabi Muhammad Saw.
Mereka menyepakati piagam madinah (Misak Madinah) yang berisi pengakuan terhadap kepemimpinan Nabi Saw, menghormati hukum dan membela Madinah dari serangan dari Luar. Sekitar makam Baqi pada waktu itu menjadi pusat kegiatan ekonomi yang sebagian besar dimiliki oleh kaum Yahudi. Piagam Madinah merupakan “kontrak-sosial” yang menjadi elemen utama konsep negara bangsa seperti pengakuan hak dan kewajiban warga negara dan sistem kesejahteraan sosial- ekonomi serta konsep multikulturalisme.
Nabi Saw memberi contoh bagaimana menjadi pemimpin yang adil dan bersikap persuasif dan membimbing umatnya. Namun Nabi juga bersikap tegas menghukum yang bersalah atau yang berkhianat. Dua kabilah Yahudi yang melanggar kesepakatan karena bersekutu dengan agresor dari Makkah terpaksa diusir kecuali mereka yang bertaubat mematuhi segala aturan yang berlaku.
Pemimpin Agama Musyawarah-Mufakat
Sepeninggal Nabi Muhammad Saw, pemimpin pemerintahan dan sekaligus merangkap sebagai pemimpin agama dipilih secara musyawarah-mufakat. Tokoh yang disepakati disebut “khalifah Ar Rasyidin". Setelah Khalifah terpilih lalu diikuti sumpah setia dari para pemimpin suku dan golongan masyarakat. Empat khalifah yaitu Abu Bakar Siddiq R.a, Umar bin Khattab R.a, Ustman bin Affan R.a dan Ali bin Abi Thalib Karamallahu wajhahu (Kwa) dan keempatnya disebut Khulafaur Rasyidin atau khalifah yang mendapat petunjuk Allah.
Setelah Khalifah keempat wafat, terjadi perebutan kekuasaan yang dimenangkan oleh bani Umayah yang memindahkan pusat kekuasaan ke Damskus Syria. Artinya pusat pemerintahan tidak di tanah suci. Pemimpin tertinggi juga tidak lagi dipilih secara musyawarah yang melibatkan segenap elemen masyarakat, melainkan dipilih atas dasar keturunan. Prinsip piagam Madinah terlupakan.
Oleh karena itu sejak Bani Umayah, tidak bisa disamakan dengan era Khulafa Ar Rasyidin. Khalifah secara turun temurun , menyimpang dari konvensi yang dipraktekkan oleh empat sahabat Nabi diatas. Khulafaur Rasyidin, selain dekat dengan Nabi selama hidupnya sehingga menerima bimbingan agama secara langsung.
Hijrah Nabi Muhammad Saw, juga mengandung konsep nation state dan nasionalisme atau cinta tanah air (Hubbul Wathan). Ketika sampai di Madinah dari perjalanan panjang dari Makkah, Nabi berdoa “Ya Allah, sesungguhnya aku menyintai tanah kelahiranku Makkah, maka jadikanlah aku mencintai Madinah atau bahkan lebih besar lagi cintaku itu."
Sistem kepemimpinan politik turun temurun atau dinasti sama dengan sistem politik negara sekitarnya pada waktu itu al Bizantium (Nasrani), dan Persia (Majusi). Kedua Kekaisaran tersebut juga merangkap sebagai pemimpin agama.
Meskipun Indonesia tidak berdasarkan khilafah, tetapi esensi khilafah itu tercermin dalam sila pertama “Ketuhanan Yang Maha Esa“ yang menurut ajaran Islam bermakna Tauhid. Islam yang bersifat inklusif dengan prinsip ukhuwah Islamiah (saudara seagama), ukhuwah wathaniyah (saudara sebangsa), ukhuwah bashariyah (persaudaraan sesama manusia).
Demikian wallahu a'lam bisshawab.
DR KH As'ad Said Ali
Pengamat Sosial Politik, tinggal di Jakarta.
Advertisement