Hidupkan Mlaku-Mlaku Nang Tunjungan, Apa yang Kurang?
Jalan-jalan malam di Tunjungan Surabaya makin enak. Pedistriannya sudah lebar. Tata lampu kota semakin indah. Nyaman dipakai untuk hang-out.
Dalam skala berbeda, bisalah kita bandingkan dengan Orchard Road Singapura, Bukit Bintang Kuala Lumpur, Lafayett Paris, Shibuya Tokyo, dan Collins Street Melbourne.
Lokasi Tunjungan yang di wilayah nol kilometer Surabaya sangatlah mendukung. Dekat pusat perbelanjaan terbesar. Tak jauh dari pusat pemerintahan. Dan bisa diaskses dari segala penjuru arah angin Surabaya.
Cita-cita mengembalikan Tunjungan sebagai pusat jalan-jalan kota (city walk) sudah ada sejak lama. Walikota Risma memolesnya dengan sungguh indah. Nggak percaya? Cobalah sempatkan jalan-jalan di wilayah itu malam hari.
Tak terasa seperti di Indonesia. Nyaman, indah, dan mengesankan. Di indonesia, rasanya inilah jalan lama paling ideal yang layak jadi citywalk untuk bisa dinikmati sekarang.
Hotel tersedia di sekitarnya. Mulai bintang 5 sampai dengan bintang 2. Malah dalam waktu dekat akan tambah lagi dua hotel di jalan yang namanya populer lewat lagu karangan musisi jadul: Mus Mulyadi.
Waktu menjadi Direktur Utama Wira Jatim Group, saya memberanikan diri investasi membangun hotel di situ. Namanya Varna Culture Hotel.
Saya tahu secara bisnis tidak akan menguntungkan seperti Bekizaar Hotel yang juga saya bangun di depan Tunjungan Plaza. Tapi demi menghidupkan Mlaku Mlaku Nang Tunjungan, hotel dengan bangunan cagar budaya itu diwujudkan.
Sebagai destinasi, Tunjungan sungguh sudah memenuhi syarat menjadi pusat city walk utama kota Surabaya. Aksesibilitasnya ciamik dan amenitas alias fasilitas pendukungnya sudah oke. Tinggal memikirkan atraksinya.
Beberapa waktu terakhir, Pemkot Surabaya menggelar event di Tunjungan. Menutup jalan di malam hari setiap bulan. Ada berbagai kegiatan di dalamnya. Mulai musik sampai dengan bazaar berbagai barang dan jajanan.
Juga Car Free Day yang digelar setiap minggu pagi.
Tapi rasanya masih kurang. Pemerintah memang bisa menciptakan stimulus kegiatan. Tapi biasanya tak bisa menjamin kelanjutannya. Namanya kegiatan stimulus seharusnya memang tidak harus terus-menerus.
Atraksi sebaiknya digerakkan masyarakat. Cuma mereka perlu diberi iming-iming sehingga mau membuat bisnis yang mendatangkan orang secara berkelanjutan. Membuat orang terus menerus merasa perlu datang ke Tunjungan.
Salah satu yang paling cepat menggerakkan orang datang adalah kuliner. Mulai coffee sampai dengan restoran yang bisa menjadi tempat nongkrong segala lapisan.
Lalu bagaimana caranya membuat pengusaha cafffee dan restoran tertarik berbisnis di Jalan Tunjungan? Janjikan insentif untuk mereka.
Bisa saja Pemkot mengundang Asosiasi Pengusaha Restoran Indonesia (Asperindo) yang anggotanya punya restoran di mana-mana. Juga para pemegang franchise coffee global seperti Starbuck, Coffee Bean, Mac Donald, KFC, Burger King, dan sebagainya.
Jangan lupa brand coffee lokal seperti Coffee Toffee, Bengawan Solo, Excelso, atau caffee shop yang sekarang tumbuh bak jamur di musim hujan.
Dorong mereka untuk menyewa venue di sepanjang Jalan Tunjungan. Lalu beri insentif bebas pajak hotel dan restoran yang memang menjadi kewenangan kota. Bisa setahun atau dua tahun. Saya yakin mereka akan tertarik.
Cara seperti ini sudah pernah dijalankan dengan sukses ketika Pak Bambang DH walikota dan saya wakilnya. Saat itu, kami ingin menggenjot pariwisata kota.
Diidentifikasilah apa saja yang bisa digerakkan. Ada empat hal yang bisa "dijual". Wisata shopping, wisata kuliner, wisata religi, dan wisata golf.
Lalu dibikinlah city branding beserta berbagai atraksinya. Waktu itu dipilih Sparkling Surabaya. Atraksinya dibuatlah Surabaya Shopping Festival setiap tahun di bulan Mei.
Tapi kami tak mungkin menggerakkan itu dengan dana APBD. Tidak mungkin milyaran rupiah untuk membikin event satu bulan diambil dari dana rakyat. Pasti akan ribut diprotes anggota dewan.
Yang mungkin adalah berkolaborasi dengan swasta. Kita ajak Asosiasi Pengusaha Pusat Belanja Indonesia (APPBI) Surabaya. Mereka kita minta patungan untuk bikin event sebulan penuh. Di masing-masing mallnya.
Juga membuat event konser musik untuk menunjukkan kepada publik Indonesia bahwa aman. Bikin konser musik dengan para musisi kenamaan yang disiarkan langsung TV nasional. Juga tanoa sepeserpun biaya APBD.
Bagaimana bisa? Mereka kita beri insentif sesuai dengan kewenangan pemerintah kota. Yang paling mungkin saat itu adalah membebaskan mereka memasang reklame insidentil di seluruh pelosok kota. Malah tahun berikutnya hanya memberi keringanan. Bukan bebas sepenuhnya.
Hasilnya? Selama 5 tahun event tahunan itu menjadi unggulan. Kunjungan wisata terus meningkat secara signifikan. Para pengusaha girang karena penjualan terus berkembang. Warga ikut senang karena ada hiburan gratis tahunan.
Cara kolaboratif seperti ini semakin mungkin saat ini: di era kolaborasi. Pemerintah tidak mungkin ambil segalanya. Yang mungkin membuat regulasi dan fasilitasi yang bisa menggerakkan swasta.
Tentu, cara itu bagus juga untuk menghidupkan kembali city walk legendaris Surabaya: Mlaku-Mlaku nang Tunjungan.
Eh...jangan lupa tambahkan fasilitas parkir umum di sekitar Tunjungan. Parking Park. Sarana pendukung ini perlu disediakan Pemkot karena investasi gedung parkir masih belum menarik bagi swasta.
Monggo dicoba Bu Risma. Kami semua pasti mendukungnya! (Arif Afandi)