Hidup Pas Pasan, Tapi Damai dan Saling Toleransi dengan Lingkungan Sekitar
Siang itu, Lilik Asowati (50) begitu menikmati ngemong cucu keponakanya yang ditaruh dalam kereta bayi. Ia mendorong kereta bayi bola balik di aula lantai dua Gedung Setan. Bayi pun tampak liyer liyer.
Lilik yang sudah menghuni Gedung Setan sejak tahun 1977 mengaku sangat kerasan. Sejak anak-anak, remaja,menikah sampai punya anak masih tetap bertahan tinggal di Gedung Setan. "Bagaimana tidak kerasan. Semua orang yang saya cintai, semua keluarga saya tinggal di sini. Anak anak lahir, sekolah dan besar di sini. Jadi, ya kerasan," aku Lilik keturunan Ambon dan China Jogja.
Kondisi Gedung Setan yang kumuh dan sedikit angker tak membuat Lilik dan keluarganya kecil hati lalu pindah dari Gedung Setan. Sebaliknya makin lama makin menyatu dengan kondisi yang ada. ‘’Kalau sekarang sudah ramai. Dulu di lantai dua penghuninya bisa dihitung jari. Kalau malam sepi dan sedikit ngeri.. ngeri gitu ha..ha. Lama lama ya.. biasa. Sekarang sudah ramai karena penghuninya sudah banyak,’’ aku Lilik.
Penghuni yang tinggal di lantai II Gedung Setan harus hidup sedikit repot. Sebab, kamar mandi, WC, tempat cuci pakaian maupun piring berada di lantai satu. Karena itu, penghuni kalau mau mandi, mencuci harus turun ke lantai satu. Aktivitas itu tak hanya berlangsung setahun, dua tahun tapi puluhan tahun.
Lilik sendiri tanpa disadari sudah melakukan semua aktivitas itu selama 45 tahun. Luar biasa. Itu karena Lilik mulai menghuni Gedungh Setan sejak 1973. "Kuncinya ya dinikmati dan disyukuri saja," aku Lilik.
Lilik yang bersuamikan pria keturunan Arab itu menempati kamar berukuran 3 x 6 hanya memiliki dua kamar. Letaknya persis di dekat tangga kayu. Setelah anak anaknya tumbuh besar dan menikah maka, perlu kamar tambahan. Sebab, untuk kontrak di luar sangat mahal. Kalau ukuran kontrakan sedang sedang berkisar Rp 500 ribu per bulan.
Bagi keluarga Lilik uang sebesar itu sangat besar dan terasa memberatkan. "Untuk makan sehari hari saja pas pasan. Mendingan hidup di sini (Gedung Setan),’’ aku Lilik yang suaminya berjualan madu keliling itu.
Karena itu Lilik memilih menambah kamar baru. Caranya, kamar berukuran 3 x 6 itu ditingkat dengan kayu. Untungnya bangunan Gedung Setan plafonnya sangat tinggi. Sekitar sepuluh meter lebih. Jadi, kalau ditingkat tidak masalah. Kini, keluarga Lilik punya tiga kamar baru di lantai atas. Jadi sekarang Lilik punya lima kamar. "Satu kamar, dua kepala keluarga (KK) karena anak sudah menikah. Ditambah ada saudara yang ikut tinggal. Jadi, satu kamar ada tujuh orang," aku Lilik.
Kata Lilik, rata rata penghuni Gedung Setan memang tingkat ekonominya pas pasan. Umumnya mereka bekerja di toko, pabrik, jadi sales atau kerja serabutan. Makanya, untuk merawat apalagi memperbaiki Gedung Setan yang bangunannya sudah udzur jelas sangat berat.
Beruntung banyak donator yang membantu. Baik perorangan maupun dari yayasan. Puluhan kursi plastik untuk duduk saat kebaktian juga hasil sumbangan. Begitu juga kipas angin di aula yang setiap Sabtu disulap menjadi gereja juga hasil sumbangan donator. ‘’Sampai mengecat bilik bilik sekat yang ditinggali penghuni juga dicat donator,’’ kata Lilik.
Aula tak hanya disulap menjadi gereja saat hari Sabtu, tapi juga dipakai rupa rupa keperluan. Mulai rapat RT, rapat penghuni, hajatan, perayaan keagamaan dan lainnya. "Nek sampeyan teko pas Imlek wow....rame temen (Kalau Anda datang pas hari Imlek wah sangat ramai). Semua penghuni kebagian angpao," tambah Lilik.
Donatur makin ramai saat hari hari perayaan agama. Mereka biasanya datang silih berganti berbagi rejeki membawa aneka bantuan. Ya sembako, pakaian ya uang. Semua penghuni dapat bagian tanpa kecuali. Bahkan ada donator yang membangunkan kamar tingkat seorang penghuni. "Mungkin mereka kasihan melihat keluarga itu. Anaknya banyak tapi kamarnya sedikit. Makanya harus ditingkat supaya ada kamar tambahan. Semua biaya ditanggung donatur tadi," ujar Lilik.
Penghuni Gedung Setan lintas suku dan agama. Ada Tionghoa, Jawa, Arab, Ambon dan lainnya. Sedangkan pemeluk agama ada Kristen, Islam dan lainnya. Sikap toleransi para penghuni sangat tinggi. Tidak pernah ada gesekan kalau soal agama. Sebab, para penghuni saling menghormati dan menghargai.
Hanya saja lanjut Jacob, yang masih bersaudara Lilik, hidup di bangunan tua seperti Gedung Setan harus sedikit bersabar. Sebab, jika turun hujan bocor dimana mana. Makanya, setiap penghuni berusaha memperbaiki sendiri kamarnya dengan melapisi pakai terpal atau plastik agar tidak bocor. "Ya seperti bilik itu," kata Jacob sambil menunjuk bilik sebelah kamarnya.
Pengurus Gedung Setan Sutikno Djijanto mengaku prihatin dengan kondisi Gedung Setan yang mulai rusak di sana sini. Terutama pada atap dan genteng serta penyanggah yang menyebabkan kebocoran. Tapi, berharap penghuni memperbaiki jelas tidak mungkin. Sebab, rata rata ekonominya pas pasan. "Satu-satunya ya berharap dari donator. Makanya, kami senang kalau ada donator yang peduli mempebaiki Gedung Setan," harap Sutikno.
Kamar Sutikno plafonnya juga rusak parah. Tampak jebol di sana sini. Kalau hujan juga bocor. Perb aikan hanya dilakukan semampunya. "Ya begini lah kondisinya," kata Sutikno.
Sutikno lama hidup di Jakarta. Saat pindah ke Gedung Setan ketiga anaknya memilih bertahan di Jakarta. Yang nomor satu sekarang dapat beasiswa S2 di jerman. Begitu yang nomor dua dapat beasiswa di Belanda. Sedangkan yang ragil masih kuliah semester akhir di Bina Nusantara (Binus) kawasan Kebun Jeruk, Jakarta Barat.
"Sejak kecil anak anak kami didik mandiri. Juga fokus belajar layaknya orang Jepang. Yakni, belajar mengulang dan mendalami setiap mata pelajaran yang baru diajarkan di sekolah. Makanya, anak anak dapat rengking terus ," aku Tik bangga.
Apa yang membuat sampeyan penghuni begitu kerasan di tinggal di Gedung Setan. Apakah karena tidak dipungut biaya? Lilik mengaku karena sejak kecil, remaja, menikah bahkan sampai punya anak tinggal di Gedung Setan. "Ini rumah kami. Ini keluarga kami ya.. kerasan," aku Lilik.
Selain itu lanjut Lilik, Gedung Setan lokasinya strategis, pas di tengah kota. Jadi, kemana kemana dekat dan terjangkau. "Kemana mana juga cepet dan biayanya murah," akunya.
Diakui Lilik penghuni memang digratiskan, tidak membayar sewa gedung. Itu sudah berlaku secara turun temurun sejak kakek, nenek, bapak ibu, mereka mengungsi ke Gedung Setan tahun 1948 lalu. "Jadi, tidak sembarangan orang bisa masuk ke sini. Kecuali masih ada keturunan atau hubungan saudara dari pengungsi pertama. Selain itu tempatnya sangat terbatas," ungkap Lilik.
Meski demikian setiap kepala keluarga (KK) ditarik iuran sangat ringan. Per bulan, per KK hanya membayar Rp 15 ribu. Uang itu digunakan membayar iuran kematian (Rp 3 ribu), PBB (Rp 7 ribu), dan perbaikan (Rp 5 ribu). Sedangkan listrik bayar sendiri sendiri atau patungan.
Meski demikian tetap murah karena tarifnya dimasukan ke dalam tarif sosial. Penghuni pun tidak banyak menggunakan listrik. Paling ada tv dan kipas angin. Penulis melihat hanya ada satu bilik di lantai dua menggunakan AC. Apakah masih berfungsi atau tidak, penulis tidak bisa memastikan karena bilik tadi tutup. Penghuninya mungkin lagi bekerja.
Selama ngobrol dengan Lilik dan Jacob, seorang perempuan penghuni keturunan China bolak balik naik turun tangga. Sambil bawa piring, gelas maupun alat memasak lainya. Rupanya penghuni tadi mencuci piring, mencuci pakaian dan memasak di lantai.
Penghuni Gedung Setan rata rata memiliki pengalaman mistis. Terutama saat awal awal menempati Gedung Setan. Lilik sendiri mengaku sudah tak terhitung lagi melihat penampakan-penampakan. "Dulu kalau sudah malam kalau lewat tangga mau ke lantai dua jarang ada yang berani sendirian. Minimal berdua. Buluk kuduk terus merinding," aku Lilik.
Kabarnya ada Noni Belanda yang kerap muncul di tangga? Lilik mengaku sering mendengar penghuni kerap melihat penampakan Noni Belanda tadi. Tapi, Lilik sendiri setiap lewat tangga kalau malam hari bulu kuduknya selalu merinding. "Yang biasa ditampaki itu sebagai perkenalan kepada penghuni baru. Tapi, lama-lama ya biasa saja meski kadang masih takut," aku Elly.
Kata Jacob penguasa Gedung Setan adalah Pak Jenggot. Itu karena orangnya tinggi besar dan berjengot yang sering membuat penampakan kepada penghuni Gedung Setan. "Apakah Pak jengot orang bule atau China tidak tahu. Yang jelas sosoknya tinggi besar, kuning dan berjenggot," aku Jacob.
Lilik punya pengalaman. Suatu malam suami Lilik ingin buang hajat besar yang harus turun ke lantai satu. Sebab, kamar mandi dan WC ada di lantai satu. Suaminya pun membangunkan Lilik agar mau menemani. Tapi, karena ngantuk berat Lilik enggan. Akhirnya, suaminya sendirian buang hajat.
Mendadak saat bung hajat muncul Pak Jengiot tadi. Mulanya kecil lama lama besar. Suami Lilik yang keturunan Arab berusaha membaca surah surah ayat suci yang bisa dihafalnya. Tapi, Pak Jengot tadi bukannya malah pergi atau menghilang. Tapi, penampakan makin besar. Seolah olah di depan wajah suaminya.
Kontan suaminya kabur lari menuju kamar di lantai dua. Suara gedebuk gedebuk begitu keras hingga terdengar sampai kamar hingga membangunkan Lilik. "Saya sudah menduga suami saya pasti melihat," batin Lilik. Begitu suaminya masuk kamar langsung membangunkan Lilik. "Ma. Ma. Bangun. Aku mau cerita. Aku baru melihat Pak Jenggot," tutur suami Lilik yang masih ngos ngosan. "Besok saja ceritanya," sahut Lilik karena masih ngantuk.
Kata Lilik, sekitar tahun 1973 sampai 1980 suasana Gedung Setan memang cukup serem. Selain sepi penghuni juga tidak banyak. Bahkan saat kali pertama menghuni kamar yang sekarang Lilik pernah menemukan granat nenas. Tapi, karena takut granat tadi langsung di buang ke sungai sebelah Gedung Setan. "Tidak tahu granat dari mana itu," aku Lilik.
Lain lagi cerita Jacob, para penghuni awal Gedung Setan dulu banyak menemukan tulang manusia di atas plafon lantai dua. Cerita penghuni lama, tulang tadi mungkin bkas orang bunuh diri atau korban siksaan tentara Jepang. Sebab, saat Jepang menguasai Indonesia Gedung Setan dijadikan markas Jepang untuk menyiksa tawanan. "Coba sampeyan naik ke plafon. Itu ada tangganya," ujar Jacob.
Di lantai dua memang ada tangga bambu untuk naik ke plafon. Karena tinggi plafon lebih 10 meter maka, panjang tangga bambu lebih 10 meter. Tapi, dari dasar lantai dua dari lubang lubang bisa dilihat kalau jarak plafon dengan atas atau genteng juga tinggi. Lebih sepuluh meter. Makanya, banyak tukang tidak berani membentulkan atap yang bocor. Selain beresiko juga angker. "Hanya tukang yang punya nyali saja yang berani memperbaiki atap bocor," tutur Jacob.
Advertisement