Hidup Nelongso Menjalani Karantina di Asrama Haji Sukolilo
Hidup di wilayah zona merah Covid-19 benar-benar bikin jantungan. Padahal berbagai upaya sudah dilakukan untuk menghindar tertular virus Corona. Misalnya mengisolasi diri dan tak melakukan aktivitas di luar rumah. Namun toh akhirnya tertular juga.
Seperti yang dialami pasangan suami istri lanjut usia yang enggan disebut namanya. Tempatnya tinggalnya ditetapkan sebagai zona merah. Bukan hanya zona merah, tapi sudah semerah-merahnya karena puluhan orang sudah tertular virus Corona di wilayah ini. Rasa-rasa deg-degan takut tertular terus menghantui.
Hingga akhirnya moment of truth pertama dijalankan. Pasangan suami istri lansia ini menjalani rapid test. Hasilnya, mereka berdua dinyatakan reaktif. Pasangan suami istri ini pun shock yang sebenar-benarnya. Bukan hanya mereka berdua, tapi juga anak-anaknya yang selama ini memantau kesehatan mereka. Anak-anaknya memang tak tinggal serumah lagi. Namun terus memantau kondisi mereka.
Berbekal hasil rapid test yang reaktif ini, Pemerintah Kota Surabaya kemudian meminta pasangan ini untuk menjalani test swab. Mereka pun kemudian manut untuk mengikuti test swab di salah satu rumah sakit swasta di Surabaya. Usai menjalani test swab, pasangan lansia ini pun diminta Pemerintah Kota Surabaya untuk menjalani isolasi di salah satu hotel di kawasan Gubeng Surabaya.
"Bapak sama ibu itu kooperatif. Mereka berangkat sendiri. Berbeda dengan tetangga lainnya yang melarikan diri ke kampung halaman mereka. Menolak untuk isolasi. Padahal hasil rapid test reaktif," kata sang anak bercerita kepada Ngopibareng.id.
Pasangan lansia ini pun kemudian menjalani isolasi di salah satu hotel di kawasan Gubeng tersebut. Di hotel ini, setidaknya mereka bisa merasa agak nyaman, meski tak senyaman di rumah sendiri. Minimal untuk urusan kebersihan dan fasilitas. Hotel memang jagonya. Namun, untuk urusan makan, masih jauh dari kata nyaman. Jatah makan seringnya tak membangkitkan selera makan. Makanya tak heran, jika banyak warga yang menjalani isolasi di hotel ini, minta kiriman makan dari keluarga dari rumah.
"Saat mengantar makanan saya melihat sendiri, keluarga lain ternyata juga ada mengantar makanan. Apa yang dirasakan oleh bapak dan ibu, ternyata tak dirasakan sendiri," kata anak.
Kurang lebih pasangan lansia ini menjalani isolasi di hotel selama seminggu. Hingga suatu malam, mereka diobrak-obrak oleh petugas yang menyuruh mereka pindah ke Asrama Haji Sukolilo. Pasangan lansia ini tak paham, mengapa mereka harus pindah ke Asrama Haji Sukolilo? Mereka sebelumnya juga tak menerima pemberitahuan. Pokoknya, malam itu juga harus pindah. Seolah tak ada hari esok. Truk Brimob sudah disiapkan untuk membawa mereka ke Asrama Haji Sukolilo.
"Jadi membayangkan, orang tua diobrak disuruh pindah malam-malam. Seperti memindah pesakitan. Pakai truk pula. Jadi bertanya-tanya, siapa sebenarnya yang melakukan stigma kepada penderita Covid?" katanya anak sedih.
Informasi yang diterima pasangan lansia ini juga sepotong-potong. Mereka hanya mendengar jika warga yang menjalani isolasi di hotel, yang negatif boleh pulang. Lalu apakah pasangan lansia ini positif Corona berdasarkan test swab dengan menggunakan PCR? Mereka tak tahu juga. Karena sampai dengan saat ini hasil test swab dengan PCR secara resmi tak pernah diberitahukan kepada pasangan lansia ini. Apalagi anaknya.
Saat tiba di Asrama Haji Sukolilo, pasangan ini makin stres. Apalagi saat menemukan fasilitas di Asrama Haji Sukolilo tak sebaik di hotel. Bahkan, di toilet kamar masih ditemukan sisa BAB yang belum disiram. Janji Pemerintah Kota Surabaya untuk menyulap Asrama Haji Sukolilo menjadi sekelas hotel berbintang untuk tempat karantina belum terbukti
"Bapak bersih-bersih sambil marah-marah. Bapak bahkan mengabari harus bersih-bersih selama dua jam, sebelum bisa tidur agar lebih nyaman," katanya.
Setelah sampai di Asrama Haji Sukolilo pun kondisinya malah tak lebih baik. Pasangan lansia masih tak diberitahu alasan kenapa harus dipindah ke Asrama Haji Sukolilo? Sampai kapan mereka akan tinggal di Asrama Haji Sukolilo?
Pertanyaan sepele seperti itu sampai sekarang belum terjawab. Entah sampai kapan. Masih mending saat di hotel masih ada grup WhatsApp yang bisa komplain atau sekedar bertanya ke petugas. Apalagi grup WhatsApp saat di hotel ada pendampingan dari psikolog. Namun, saat pindah ke Asrama Haji Sukolilo, grup ini menjadi tak berlaku.
"Jangan membayangkan ada informed consent. Padahal orangtuaku itu sebenarnya juga pasien yang harusnya diberitahu apa yang dilakukan oleh tenaga medis terhadap mereka," ujarnya.
Urusan makan juga belum ada perbaikan. Menu yang disajikan masih belum membangkitkan selera. Kata si anak, menunya malah masih lebih baik dapur umum untuk sahur dan buka. Si anak jadi tahu menu lebih baik karena dia terlibat di dapur umum untuk sahur dan buka warga. Untuk urusan makanan ini, tapi ada satu yang bisa dipastikan. Minuman pokak resep Bu Risma dan telur rebus. Tak jarang telur rebus itu bahkan sampai dibuang-buang karena bersisa.
Karena belum ada perbaikan urusan makanan itu, keluarga akhirnya juga masih kirim makanan. Saat kirim itu pun, tak langsung diberikan. Karena semua makanan kiriman keluarga, dikumpulkan dulu ke petugas. Ada waktunya sendiri petugas akan membagikan kiriman makanan itu.
"Seringnya sih, petugas membagikan setelah Maghrib. Padahal bapak ibu kebiasaan buka di rumah, begitu buka puasa langsung makan besar, tak hanya takjil," kata anak.
Si anak justru khawatir kondisi psikologis orang tuanya malah makin memburuk saat di Asrama Haji Sukolilo Surabaya. Ujung-ujungnya, malah berdampak kondisi fisik orang tuanya.
Apalagi mereka termasuk kelompok rentan. Ibunya punya penyakit diabetis akut, sedangkan bapaknya ada masalah jantung dan pernafasan. Anaknya sebenarnya malah mengharapkan orangtuanya menjalani isolasi mandiri di rumah saja. Bukan isolasi di karantina yang malah berkumpul dengan orang lain yang mungkin positif corona. Apalagi kondisi mereka berdua tak menampakkan gejala klinis positif corona. Mereka sehat-sehat saja.
Anak membayangkan orangtuanya menjalani isolasi mandiri ala aktor Detri Warmanto yang juga menantu Men PAN-RB, Tjahjo Kumolo. Dia diketahui terinfeksi Covid-19. Sejak dinyatakan positif, dia pun langsung melakukan karantina mandiri di sebuah rumah yang terpisah dari istri dan anak-anaknya. Bukan di tempat karantina atau rumah sakit.
Si anak semakin menjadi khawatir setelah mendengar cerita teman suaminya yang kondisinya malah semakin buruk saat menjalani karantina di rumah sakit. Teman suaminya ini, harus menjalani karantina di rumah sakit setelah ada gejala pneumonia. Padahal hasil test swab belum keluar dan tak ada indikasi klinis positif Corona. Kondisi teman suami saat masuk karantina sebenarnya masih sehat-sehat saja. Namun malah makin drop dan akhirnya tak bertahan setelah menjalani karantina. Bisa jadi dia malah tertular Corona saat di karantina.
Namun, atas semua pertanyaan dan keluhan ini, kepada siapa harus bertanya? Entahlah....
Mugi-mugi bapak dan ibu tetap sehat.