Hidup Indah Bersama Nabi dan Segenggam Garam
Memuliakan al-Musthafa,
menghidupkan hatiku
Segala dosa dan salah diampuni
Aku berharap hidup bahagia bersamanya
Aku berharap bertemu dengannya
Hingga aku tak lagi berduka karena dosa
Dialah sang paripurna
Dialah puncak segala keindahan
Dialah sang kekasih
Menyebut namanya,
menyembuhkan segala duka lara
manakala ia menyapaku
Memuliakan dia
makin menambah rinduku kepadanya
Al-Musthafa bagai permata
dan mawar mewangi.
Sebagai muslim yang beriman, pastilah kita selalu terdorong untuk ittiba (meneladani) Nabi Saw dalam segala aspek kehidupan dengan sepenuh bahagia dan sukacita. Tak terkecuali dalam hal memperingati hari-hari besar Islam.
Setiap tanggal 12 Rabiul Awwal, misalnya, kita rutin merayakan Maulid Nabi Saw. Kita juga rutin memperingati Isra Miraj, Idul Fitri, Idul Adha, Asyura, dan sejumlah hari besar Islam lainnya.
Peringatan hari-hari besar Islam tentu harus lebih dari sekadar seremonial dan rutinitas belaka. Kita harus mampu memetik hikmah dari serangkaian perayaan itu sebagai bekal kehidupan kita yang lebih baik. Bagaimana caranya? Yaitu, dengan memahami latar belakang sejarah dari hari-hari besar Islam itu.
Sebuah buku hadir untuk tujuan tersebut, yaitu agar kita mengetahui secara jelas perihal konteks sejarah dan meraih pesan-pesan moral yang begitu berharga dari hari-hari besar tersebut. Selamat membaca!
Segenggam Garam
الناس على دين ملوكهم
Rakyat/bawahan itu mengikuti atasan.
Sa’di Syirazi, penyair dan sastrawan terkemuka dari Persia, suatu bercerita : Raja Anusyirwan dari Persia yang adil itu, diiringi para pembantunya, suatu hari pergi berburu rusa di sebuah hutan. Ketika rusa diperoleh, ia meminta para punggawa menyembelih dan nyate.
Bumbu-bumbu kemudian disiapkan. Tetapi ada satu yang ketinggalan : garam. Raja meminta salah seorang di antara mereka mencari segenggam garam di rumah penduduk desa terdekat.
Sebelum dia berangkat, Raja berkata : “Belilah garam rakyat itu sesuai harganya. Kamu jangan membiasakan diri mengambil milik orang lain di kampungmu, mentang-mentang kamu pejabat kerajaan/negara. Jika kamu melakukannya, maka kampung/desa itu akan bangkrut dan miskin”.
Si punggawa heran : “tuan raja, apakah yang salah bila aku ambil segenggam garam itu, seberapalah harga barang yang remeh temeh itu?”.
Dengan tenang Raja menjawab : “Kezaliman dan petaka di dunia ini dimulai dari sesuatu yang kecil. Tetapi orang-orang yang datang kemudian akan mengambil lebih besar dari pendahulunya. Dan begitu seterusnya.
Jika Raja mengambil hanya segenggam garam, maka para pejabat akan merampas tanah satu hektar.
Jika Raja mengambil sebiji apel dari kebun milik orang/rakyat, para pejabat akan mencabut pohon itu seakar-akarnya.
Jika Raja membolehkan mengambil lima butir telor. Maka seribu ekor ayam akan menyusul dipanggang si pejabat.
Orang zalim memang tak ada yang kekal. Tapi kutukan atas kezaliman akan abadi”.
(KH Husein Muhammad/07.02.25)