Hidayah bagi Malcolm X, Saat Wuquf di Arafah
Esensi dari ibadah haji adalah kesamaan derajat di antara manusia. Hal itu disimbolkan dalam pakaian ihram yang tak terjahit.
Sedangkan warna putih dari baju ihram itu sendiri menggambarkan kesucian mereka di hadapan Allah SWT. Karena esensi ibadah haji adalah persamaan derajat, maka tidak mengherankan pengalaman spiritual ibadah haji bisa mengubah cara pandang seseorang.
Malcolm X, tokoh Muslim kulit hitam Amerika Serikat, bisa menjadi contoh. Ia yang semula sangat rasis kemudian berubah menjadi anti-rasis setelah mendapat pengalaman berharga dari wukuf di Padang Arafah.
Pengalaman tersebut meyakinkan Malcolm X bahwa semua orang adalah sama. Artinya setiap orang adalah setara. Mereka harus saling menghormati dan menghargai satu sama lain meskipun mungkin mereka berbeda dalam hal-hal duniawi, seperti status sosial, warna kulit, budaya, asal usul keturuan dan sebagainya.
“Hal yang membedakan di antara mereka hanyalah ketakwaan masing-masing kepada Allah SWT. Orang-orang yang telah melaksanakan ibadah haji diharapkan memiliki kesadaran tinggi akan makna kesetaraan ini. Tidak sebaiknya mereka justru lupa akan makna baju ihram yang pernah dipakainya,” tutur Muhammad Ishom, dosen Fakultas Agama Islam Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Surakarta.
Malcolm X adalah seorang kulit hitam Amerika, anak seorang pendeta Kristen Baptis, yang kemudian memeluk Islam setelah bergabung dengan sebuah organisasi bernama The Nation of Islam. Ini terjadi setelah ia banyak berdiskusi dan membaca buku-buku Islam di balik jeruji besi. Ia dijebloskan ke penjara karena kasus perampokan yang dilakukannya pada tahun 1946 ketika berusia 20 tahun.
Di dalam penjara, ia sangat tertarik terhadap konsep-konsep ajaran Islam. Ia hidup di zaman rasisme Amerika yang berlangsung dari abad 17 hingga tahun 1964 dimana pada waktu itu orang-orang kulit hitam dilarang berbaur dengan orang-orang kulit putih. Mereka diperlakukan secara diskriminatif baik secara sosial, politik, budaya maupun ekonomi.
Sekeluarnya dari penjara pada tahun 1952, ia terus mendalami Islam dan tetap bergabung dengan The Nation of Islam. Organisasi ini terutama beranggotakan orang-orang Afro-Amerika Muslim yang berjuang untuk melepaskan diri dari Amerika Serikat dan berdiri sendiri sebagai negara yang terpisah. Di dalam organisasi ini ia terpilih menjadi juru bicara dan sering memberikan ceramah atau pidato dalam berbagai forum termasuk dalam Konferensi Asia Afrika di Bandung pada tahun 1955. (bersambung)
Advertisement