Heran... Kapolda Sowani Pelanggar Hukum
Oleh: Djono W. Oesman
Jarang terjadi, Presiden Jokowi menegur Polri, keras. Begini: "Jangan gadaikan wibawa Polri dengan sowan ke pelanggar hukum." Karena ada Kapolda baru, Kapolres baru, sowan ke sesepuh ormas pelanggar hukum.
-----------
Presiden Jokowi mengatakan itu, saat memberikan pengarahan kepada Kasatwil tahun 2021, dipublikasi dalam video di akun YouTube Sekretariat Presiden, Jumat, 3 Desember 2021.
Presiden Jokowi di podium, kepada peserta rapat: "Saya sudah lama sekali ingin menyampaikan, ada Kapolda baru, Kapolres baru, malah datang sowan kepada sesepuhnya ormas yang sering membuat keributan. Benar ini."
Dilanjut: "Saya tanya ke Kapolres, mengapa Bapak melakukan ini? Katanya, supaya kotanya kondusif."
Dilanjut: "Tapi apakah cara itu betul? Hati-hati... jangan menggadaikan kewibawaan dengan sowan kepada pelanggar hukum. Saudara-saudara, Polri harus memiliki kewibawaan."
Kelihatan di video, Presiden Jokowi mengatakan itu dengan serius. Marah. Seperti memendam kegundahan tentang hal itu, selama ini. Tampak pada kalimatnya: "Saya sudah lama sekali ingin menyampaikan..."
Apa tanggapan polisi? "Apa yang disampaikan oleh Pak Presiden itu, luar biasa. Kita apresiasi, kita siap laksanakan dan kita sudah laksanakan jauh-jauh hari sebelumnya, sesuai dengan perintah Pak Kapolda," kata Kabid Humas Polda Metro Jaya, Kombes E. Zulpan kepada pers, Jumat 3 Desember 2021.
Zulpan: "Saya rasa, itu hal yang benar, ya. Dan, Pak Kapolda (Metro Jaya) sudah sampaikan berulang kali, dalam rangka penegakan hukum yang berkeadilan. Tidak perlu sowan-sowan ke ormas. Buat apa? Kalau ormasnya salah, kita tindak. Seperti Pemuda Pancasila salah, kita tindak. FBR salah ditindak. Tidak perlu sowan-sowan."
Dilanjut: "Yang perlu diperhatikan adalah masyarakat kecil, yang perlu pertolongan polisi. Kalau ormas tidak perlu. Polda Metro (jajaran) tidak ada sowan-sowan ke ormas. Kalau ada, sampaikan ke saya."
Polda Metro Jaya sudah dikenal, jajarannya bertindak tegas. Di bawah komando Kapolda, Muhammad Fadil Imran, Polda Metro sudah bertindak tegas terhadap FPI, setahun lalu. Ini sangat terkenal.
Sampai di sini, bisa disimpulkan, bahwa selama ini (sebagian) polisi merasa ragu-ragu, gamang, galau. Bisa terjerumus kepada rasa tidak percaya diri. Dalam menghadapi tekanan massa. Atau ormas.
Kesimpulan ini tampak jelas dari pernyataan Presiden Jokowi. Tentang jawaban Kapolres yang ditanya Jokowi: "Supaya kotanya kondusif."
Mengapa supaya kotanya kondusif? Bisa disimpulkan, karena ormasnya dinilai garang. Kalau tidak disowani polisi, maka kotanya bisa tidak kondusif. Diacak-acak.
Pada penegasan Jokowi, bahwa Polri jangan menggadaikan kewibawaan. Ini sangat keras. Artinya, Polri jangan sampai jiper terhadap pelanggar hukum. Masak, negara kalah (sowan) oleh pelanggar hukum?
Hebatnya, Presiden Jokowi di forum yang sama juga mengatakan, jangan membendung kritik dari masyarakat. Biarkan kritik masyarakat terhadap pemerintah, tetap hidup.
Presiden Jokowi: "Contoh kecil-kecil saja, mural dihapus. Saya tahu, enggak mungkin itu perintahnya Kapolri. Juga, enggak mungkin, perintahnya Kapolda. Perintahnya Kapolres, juga mungkin nggak mungkin. Itu sebetulnya urusan di Polsek yang saya cek di lapangan tapi nyatanya dihapus."
Dilanjut: "Urusan mural saja, ngapain sih? Wong saya dihina, saya dimaki-maki, difitnah... udah biasa. Ada mural saja, takut. Ngapain? Hati-hati... Ini kebebasan berpendapat."
Diakhiri: "Tapi, kalau sampai menyebabkan ketertiban masyarakat di daerah terganggu, beda soal. Sehingga saya mengapresiasi, itu dibalik oleh Kapolri, dengan membuat lomba mural. Hasilnya positif."
Jelas, Jokowi membuat perimbangan. Balancing. Antara sikap tegas dengan demokratis.
Batasan ini harus dipahami secara persis, oleh polisi. Tegas, bukan berarti mencopoti mural. Demokratis, bukan berarti sowan ke pimpinan ormas pelanggar hukum.
Sesungguhnya, pada tingkatan perwira Polri, hal itu sudah 'sego jangan'. Iwak tempe. Makanan sehari-hari. Baik pada sekolah staf dan pimpinan tinggi (Sespimti) atau arahan Kapolri. Mengapa masih ada yang belum paham?
Sebagai perimbangan, ingat zaman Orde Baru. Pada kasus Penembakan Misterius, disingkat Petrus. Operasi pemberantasan preman pada 1983 sampai 1985. Sangat terkenal. Kejem.
Dr Abdul Haris Fatgehipon, dosen FISIP Universitas Pattimura, Ambon, dalam makalah ilmiah bertajuk "The Relationsip Amongst Soeharto, Military, And Muslim In The End of New Order Regime (publikasi 2016) menyebutkan:
"Masyarakat sekarang (2016) terkenang zaman Orde Baru. Karena di zaman itu, pelanggar hukum sangat takut pada aparat. Kondisi sekarang sebaliknya."
Petrus, dalam makalah Dr Abdul Haris, dimulai dari Yogyakarta, Semarang, Jakarta, Bandung, Surabaya.
Awalnya, Pangkopmtib Sudomo, tahu banyak bajing loncat di sekitar pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta. Sangat mengganggu ekonomi pelabuhan. Lalu, Sudomo seizin Presiden Soeharto, menembaki para preman di situ. Dihabisi. Mayatnya dikubur.
Itu dilanjutkan Panglima ABRI, Jenderal LB Moerdani. Dengan cara lebih galak. Para pelanggar hukum, di mana pun (bukan hanya di Tanjung Priok), ditembak mati. Mayatnya dikarungi, digeletakkan di pinggir jalan. Dipamerkan. Bertujuan shock therapy. Efek jera.
Bener. Tingkat kejahatan turun drastis. Masyarakat tidak berani protes. Meski ribuan korban Petrus bergelimpangan di pinggir jalan, tanpa protes. Yang protes, dihabisi. Pers di bawah kendali Mabes ABRI. Bukan menteri penerangan.
Jangankan preman. Orang baik-baik saja, tapi bertato, sangat takut diciduk. Sampai nekad menghapusi tato. Dengan cara: Lokasi tato disetrika panas. Tato hilang, ganti mbonyok. Seminggu kering. Seminggu lagi mengelupas. Jadilah relief.
Alhasil, tenang. Pembangunan lancar. Investor asing (karena merasa aman) terus masuk. Mbangun pabrik. Menyerap pegawai. Buruh bisa beli-beli. Kredit-kredit. Roda ekonomi bergerak. Rodanya gemertak. Karena karatan di zaman Orde Lama yang miskin. Makan sego jagung. Iwak lombok.
Pembangunan Orde Baru berperiode-periode. Dinamakan Repelita (Rencana Pembangunan Lima Tahun). Dari Repelita satu sampai lima. Total 25 tahun.
Setelah Repelita selesai, dilanjut. Namanya Tahap Tinggal Landas. Kayak pesawat take off. Menuju kemakmuran bersama. Yang belum pernah tercapai. Sebab dikorup.
Cara represif dikritik melanggar HAM. Dalam bisik-bisik. Dalam gedung kampus. Toh, kebijakan represif Orde Baru jalan terus.
Penguasa Orde Baru lebih cerdas banding para penghuni kampus. Saat itu. Preman, jelas melanggar HAM orang lain. Merampas HAM masyarakat. Lha, masak perampas HAM, ketika HAM-nya dirampas negara, lalu diprotes? Bukankah negara adalah wasit bagi masyarakat? Yang wajib memberi reward and punishment?
Begitulah sejarah Indonesia. Disebutkan: Pembangunan ekonomi, menuju kemakmuran bersama, butuh stabilitas nasional. Siapa mengganggu stabilitas nasional, berarti mengganggu pembangunan. Disebut: Musuh negara. Ngeri...
Dr Abdul Haris mengakhiri makalahnya, dengan kalimat ini:
"Pendekatan keamanan tetap diperlukan dalam pembangunan. Sebab tanpa rasa aman, pembangunan tidak bisa berjalan. Pendekatan keamanan di era reformasi harus mengkedepankan aspek penegakan dan penindakan hukum. Tanpa melihat latar belakang objek hukum."
Saudaraku... manusia bebas memilih. Kumpulan manusia namanya bangsa. Yang bebas menentukan arah jalannya. Bangsa mengorganisir diri jadi negara. Dipimpin kepala negara, diawasi parlemen, menetapkan garis besar haluan.
NKRI sudah memilih Demokrasi Pancasila. UUD 1945. Kata 'demokrasi' intinya kebebasan bicara-bertindak. Tapi, tidak pernah ada demokrasi absolut. Bebas mutlak. Tidak ada. Seumpama ada, maka bubar-lah kumpulan manusia itu. Jangankan, negara membangun. Orang bertetangga saja bisa bunuh2-an. Chaos.
Kebebasan tetap dalam koridor. Disebut demokrasi bertanggung-jawab. Pada hukum. KUHP.
Karya ilmiah Dr Abdul Haris 2016 itu, relevan dengan pernyataan Presiden Jokowi di atas: "Heran... Kapolda, Kapolres, kok sowan ke pelanggar hukum?"
Masyarakat kini memantau, apa tindak lanjut Kapolri?