Henry Kissinger, Pancasila dan Tata Dunia Baru
Henry Kissinger, lahir 1923 dan Menlu Amerika Serikat pada 1973 - 1977 pada era Presiden Nixon dan Gerald Ford. Ia Menlu yang hebat dan peraih Nobel Perdamaian pada 1973.
Ia pelopor politik “Detente" (Peredaan ketegangan) dengan Uni Soviet, merintis hubungan AS - RRC dan berperan dalam perjanjian Camp David (Arab - Israel ) dan Perjanjian Paris (perdamaian AS - Vietnam Utara).
Namun, Henry Kissinger dianggap tokoh kontroversial karena mendorong kudeta di Chili dan politik kekerasan di Argentina. Saya punya catatan, pendapat seorang negarawan Arab tentang Henry Kissinger yang berdarah Yahudi Jerman tersebut. ( امريكا قوية لسببين ؛ اولا - تبحث عن خونية الو طن فى بلدهاوتقتلهم . ثانيا - وتبحث عن الخونية فى الدول الاخرى وتستعملهم , Amerika Kuat karena 2 hal: pertama, menangkap pengkhianat negara di dalam negeri dan membunuhnya. Kedua, menangkap pengkhianat negara lain dan menggunakannya untuk kepentingan Amerika (Subversi).
Pancasila dan Dunia Baru
Pada September 1960, Presiden Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) pertama H Ir Sukarno dalam sidang Majelis Umum PBB menggetarkan para pemimpin dunia yang hadir dengan pidato yang bertajuk To build The World a New (Membangun Suatu Dunia Baru). Dalam pidato tersebut Bung Karno secara tegas menolak premis bahwa di dunia hanya ada dua ideologi yaitu Marxisme-Leninisme (Komunisme) dan Liberalisme yang saling berhadapan.
Bung Karno menegaskan masih ada satu ideologi tengah yang menjadi solusi untuk mewujudkan dunia yang damai yaitu Pancasila. Bung Karno juga menegaskan bahwa merupakan suatu ketidakadilan, sebagian besar negara Asia, Afrika dan Amerika Latin masih menjadi negara koloni negara besar yang mengendalikan dunia.
Hanya dalam waktu sekitar satu dekade, berkat semangat dekolonisasi yang digaungkan sejak saat itu, sekitar 40 negara Asia, Afrika dan Amerika Latin memperoleh kemerdekaannya. Kemudian terbentuklah suatu kekuatan baru dunia yaitu negara Negara Non-Blok atau Non- Alignment yang dipimpin oleh Indonesia.
Sampai sekarang substansi pidato tersebut itu masih relevan, terutama dikaitkan dengan kecenderungan para pendukung Neo-Liberalisme yang ingin mendominasi dunia. Seperti thesis Samuel Huntington dan Francis Fukuyama bahwa Peradaban Barat akan unggul atas Peradaban Timur (Jepang, China, India): dan Islam (Timur Tengah, Asia Tenggara). Upaya tersebut bermakna suatu upaya untuk memaksakan peradaban Barat (Neo-Lib) berlaku di seluruh dunia (Globalisme).
Dengan kemampuan teknologinya, Barat merasa mampu untuk mencapai tujuan tersebut. Spirit imperalisme dan kolonialisme berwujud menjadi penetrasi budaya melalui instrumen teknologi informasi, tekanan ekonomi dan politik. Slogan Presiden DonaldTrump yang terkenal “American First“ menggambarkan pandangan umum bangsa kulit putih khususnya Anglo Saxon.
Tekanan Politik
Tekanan politik tampak dari subversi AS dan Barat dengan memanfaatkan Isu Arab Springs dan terorisme untuk menghancurkan negara negara Timur Tengah yang anti- AS/Barat. Melalui tekanan ekonomi bisa dilihat dari perang ekonomi AS-Jepang dari 1990-1998 sehingga terjadi krisis moneter di Asia termasuk Indonesia. Sampai saat ini ekonomi Jepang tidak mampu bangkit atau stagnan.
AS pada era Trump, melancarkan perang ekonomi terhadap RRC meskipun tidak mencapai hasil, negara Tirai Bambu itu mampu bertahan. Dan dari perang Ukraina-Rusia yang timbul dari manuver Barat mendorong Ukraina bergabung kedalam NATO, berubah menjadi embargo ekonomi Rusia. Artinya AS dan Barat mencegah Rusia kuat secara ekonomi, sebab Rusia mewakili “peradaban Erasia, campuran antara Eropa-Asia”.
Penyeragaman peradaban bertentangan dengan realitas bahwa setiap bangsa memang berbeda satu sama lain karena pengaruh ekologi (lingkungan). Jadi upaya penyeragaman peradaban lahir dari ambisi untuk menguasai negara atau bangsa lain. Padahal setiap bangsa merupakan kekuatan mandiri yang mempunyai hak berdaulat masing-masing.
Dengan demikian Pancasila adalah alternatif, sebagai solusi dari konflik peradaban dunia pada saat ini. Bukankah Pancasila dengan semboyan “Bhineka tunggal ika“ berisi prinsip pengakuan perbedaan suku dan agama?. Dan perbedaan itu akan memperkuat masing-masing kalau didasari pada ikatan perlunya menjalin persahabat sejati sebagai “sesama penghuni bumi”.
DR KH As'ad Said Ali
Penulis buku Negara Pancasila, Pengamat Sosial Politik, tinggal di Jakarta.
Advertisement