Haul Kiai Moenasir Ali, Gerilya Batalyon Condromowo ke Pejuang NU
Bertempat di Kompleks Baitul Munasir, Desa Pekukuhan, Mojosari, Mojokerto, sabtu malam ini digelar Haul ke-22 KH. Moenasir Ali, ulama pejuang di masa perang gerilya mempertahankan kemerdekaan RI di tahun 1945 hingga 1949.
Kiai Moenasir mencatatkan diri sebagai satu dari ulama Nahdlatul Ulama yang meneruskan karir militernya pasca revolusi kemerdekaan.
Di masa peperangan, Kiai Moenasir adalah Komandan Batalyon Pasukan Hizbullah yang terkenal dengan nama Batalyon Condromowo atau dalam pasukan gerilya diberi label Batalyon 39/Brawijaya.
Publikasi penelitian berjudul 'Dari Militer ke Panggung Politik: Biografi KH. Muhammad Munasir Ali Tahun 1958-1998, yang ditulis Tim Universitas Jember, Farid Hidayat, dkk menyebutkan setelah melewati masa perang gerilya dan karir militernya, KH Moenasir Ali menjadi tokoh NU yang berkiprah dalam panggung politik, khususnya di parlemen.
Kiprah politik KH Moenasir Ali tidak lepas dari pendidikan di pesantren dan karirnya dalam Hizbullah dan militer. Pendidikan pondok pesantren membentuk karakter dan kepribadiannya.
Jiwa-jiwa Pejuang
"Kemudian ditambah ketika almarhum menjadi Komandan Hizbullah mampu membentuk jiwa kepemimpinannya saat memimpir pasukan tempur Batalyon Condromowo," ungkap Taufiq.
Pasca pensiun dari militer tahun 1958, Moenasir Ali tertarik pada perjuangan politik. Dorongan tersebut kemudian Moenasir ditarik menjadi anggota Dewan Nasional tahun 1958 dan Dewan Perancang Pembangunan Nasional 1959.
Karir politiknya semakin terbuka ketika awal Orde Baru, Moenasir Ali ditarik menjadi anggota DPRGR tambahan tahun 1967-1971. Hal itu kemudian berlanjut ketika ia menjadi anggota DPR sampai tahun 1987.
Selama menjadi anggota Parlemen, Moenasir Ali secara kolektif banyak menyumbangkan pikiran dan gagasannya dalam setiap kebijakan maupun gerakan yang dilakukan DPR atas kebijakan Pemerintah maupun permasalahan bangsa.
Setiap pergerakan ia tidak lepas dari pengaruh pengetahun politik dari pesantren, yang kemudian ditambah dengan pengalamannya dalam militer yang menuntut sikap tegas dan berani dalam menghadapi suatu permasalahan.
"Hal itulah kemudian yang diimplementasikannya dalam setiap sikap politiknya," tegasnya.
Sementara selain berkiprah dalam parlemen, Kiai Moenasir juga aktif di NU. Ia menjadi Pengurus Besar Pertanu sampai tahun 1973, yang kemudian melebur menjadi HKTI dengan organisasi tani lainnya.
Munasir Ali juga menjadi salah satu tokoh yang membentuk HKTI, sekaligus menjadi Ketua 1 HKTI.
Kemudian dalam struktural NU, Kiai Mienasir diamanahi menjadi Sekretaris Jenderal PBNU tahun 1979-1984, Mustasyar PBNU tahun 1984-1989, Rois Syuriah tahun 1989-1994, dan Mustasyar tahun 1994-1999.
Selama menjadi pengurus NU, ia banyak melakukan terobosan terutama yang berkaitan dengan kesekretariatan dan keorganisasian sebagai Sekretaris Jenderal PBNU, ia juga menjadi salah satu tim perumus pemulihan Khittah NU pada Muktamar di Yogyakarta tahun 1989.
Haul ke-22 KH Moenasir Ali malam ini juga bersamaan dengan peringatan 14 tahun wafat sang putra yang juga pernah menjadi petinggi PBNU dan Menteri Negara BUMN era kepemimpinan Presiden KH. Abdurrahman Wahid.
Haul berlangsung di kompleks makam keluarga 'Baitul Munasir' pinggiran barat-utara Kota Mojosari, Mojokerto. Hadir sebagai pembicara dalam haul yang disiarkan langsung TV9 tersebut, KH Agus Sabuth Panoto Projo, putra ulama kharismatik, almarhum KH. Hamim Djazuli atau Gus Miek.
Sebelumnya, pada Jumat (8 Maret) malam, juga digelar kegiatan 'Ngopi Santai' menggali Kisah Perjalanan Hidup 2 Tokoh Asli Mojosari Mojokerto yang mendunia, KH Moenasir Ali dan KH Rozi Munir.
Diskusi santai menghadirkan pihak keluarga, peneliti sejarah, pemerintah daerah, dipandu Wiyanto Su'ud yang juga Tim Pengusul Pahlawan Nasional untuk KH Moenasir Ali.