Hasyim Wahid, Penyair 'BungLon' dan Penyuka Mistisisme Jawa
KH Hasyim Wahid (Gus Im), dalam perjalanan Nahdlatul Ulama (NU) dikenal sebagai tokoh yang bergerak di arus bawah (underground). Bahkan, di antara kaum muda Nahdliyin yang aktif dalam gerakan sosial, Gus Im dikenal sebagai tokoh 'Gerakan Bawah Tanah' -- khususnya ketika NU di bawah Orde Baru.
Yang penting dari pribadi Hasyim Wahid adalah karyanya dalam bentuk buku. Di antaranya, "Telikungan Kapitalisme Global" dan buku puisi "BungLon!". Satu-satunya buku yang menjadi dokumen Kepenyairan Hasyim Wahid.
Putra bungsu Kiai Wahid Hasyim dan adik kesayangan Gus Dur ini, meninggal dunia di RS Mayapada Jakarta, Sabtu 1 Agustus 2020, pukul 04.18 WIB. Jenazahnya dimakamkan di Kompleks Pemakaman Pesantren Denanyar Jombang. Innalillahi wa inna ilaihi rajiun.
Hasyim Wahid lahir di Jakarta 30 Oktober 1953. Menaruh perhatian pada anggur, sastra, musik klasik/rock/metal, seni tempa logam/tosan aji, mistisisme Islam, sejarah, geopolitik, dan masalah intelijen. BungLon! (2005) adalah kumpulan puisinya yang pertama dan satu-satunya sepanjang hidupnya.
Dalam bukunya, BungLon! (cetakan : I, Juli 2005, diterbitkan Fresh Book, Jakarta. Sebelumnya, diterbitkan pertama kali PT Koekoesan, Depok, Juni 2005, memuat 71 puisi dalam 88 halaman.
Jurnalis senior Budiarto Danujaya dan penyair Radhar Panca Dahana, di antara memberikan pengakuan atas kepenyairan Hasyim Wahid. Satu testimoni KH Mustofa Bisri yang cuma satu kata itu: “Dahsyat!” Ada separagraf petikan dari Harian Kompas, dan halaman paling belakangnya pun separagraf petikan wawancara dengan harian Kompas, bertanggal 28 Mei 2000.
Berikut di antara karya-karya puisi Hasyim Wahid:
Tentang Bunglon dan Manusia
Ratusan bunglon penuh warna-warni
asyik bertarung sendiri di dalam
kandang beton berkubah dua
setelah menyandera lebih dari
dua ratus juta manusia.
Nah, pertanyaannya, saudara:
Apakah bunglon-bunglon itu
terlalu sadis ataukah
manusia-manusia itu
terlalu masokhis?
2005
Doa Untuk Naik ke Surga Bersama Charlie Chaplin*
Selewat umur limapuluh
ketika tak sanggup lagi menempa kata
ketika terlalu lelah untuk membentuk tawa
aku cuma berdoa agar bisa
naik surga bersama Charlie Chaplin
Ketika seorang gila di Eropa
membunuh berjuta-juta nyawa
seorang diri ia melawan
dengan menirukan bentuk kumisnya
Ketika pemodal raksasa di Amerika
mencekik leher buruh berjuta-juta
seorang diri ia melawan
dengan mencemooh keserakahan mereka
Karena itu, wahai Yang Maha Mulia, perkenankan ia
yang pernah menghibur ratusan juta jiwa
masuk ke surga Mu
(agar aku pun bisa
ikut berjalan di belakangnya
menghadap Mu)
Yang Maha Agung di surga
ijinkan aku naik ke langit Mu yang penuh duka bersama
pembangkang baka yang jarang tertawa
pelawak abadi yang selalu sedih
incaran polisi, musuh politisi
Biarkan kami datang ke hadapan Mu
Biarkan kami mengibaskan topi di hadapan Mu
Biarkan kami menghibur Mu
2005
---------------------
*Sir Charles Spencer Chaplin (1889-1977), pelawak, aktor dan sutradara film.
Tentang pemanggungan Puisi
Bermula dari hobi ngumpul bersama sejumlah pemusik rock, lama-lama Gus Im—sebutan akrab KH Hasyim Wahid—membikin terobosan nyleneh: membaca puisi politik gaya metal. Berlangsung di Taman Ismail Marzuki (TIM) pada 2017, acara itu mengiringi peluncuran buku puisinya yang berjudul BungLon.
Puisi yang berisi kritik sosial politik itu dibacakan Ombat H. Nasution, vokalis metal senior, dengan teknik menggeram-geram serta diiringi besutan gitar elektrik kelompok rock progresif Discus yang melengking-lengking. Suatu inspirasi yang lama terpendam baginya.
Ide ”puisi metal” ini lahir setelah adik dia mendirikan komunitas Indonesian Progressive Rock pada 1999. Gus Im adalah penggemar Jimi Hendrix sampai Metallica. Dari sinilah muncul pikiran ”nakal”nya untuk memadu puisi dan rock sebagai parodi kepada penguasa. Kawan-kawannya sepakat. Jadilah aksi panggung yang unik di TIM Jakarta.
Kiai nyentrik ini juga membuat musikalisasi puisi para penyair nasional dalam bahasa Inggris untuk dibawa ke dapur rekaman dunia. Dalam satu puisinya, dia mengutip sebait lirik Purple Haze, lagu Jimi Hendrix, yang dinyanyikan si jawara di Woodstock pada 1969 sebagai protes: Permisi! Biarkan aku mencium Langit! (Riadi Ngasiran)