Hary Tanoe dan Profesi Wartawan
SEBAGAI wartawan yang menggeluti profesi ini sejak tahun 1974, saya koq tiba-tiba merasa profesi saya ini sedang “dirusak” oleh orang kaya raya kaliber Hary Tanoe.
Sedih, kecewa dan marah. Karena yang "merusak" adalah orang yang hanya mengandalkan uang. Yang mengukur segala-galanya dari sisi uang.
Merasa punya uang banyaaaaak, lalu seenaknya memperlakukan wartawan atau pekerja media.
“Pengrusakan” itu tidak terlihat seperti sebuah benda yang bisa dipegang. Tapi melalui sistem. Sehingga prosesnya hanya bisa dirasakan.
Menariknya, sekalipun tidak bisa dipegang, namun “pengrusakan” ini dapat dilihat dengan telinga serta dapat didengar oleh mata.
Semua pemangku kepentingan apakah itu PWI, AJI, SPS, ASTVI, KPI dan LSM Media Watch, seperti terhipnotis dengan “pengrusakan” ini. Mereka seperti tidak tergerak atau terpanggil.
Persoalan ini sebenarnya sudah sejak beberapa tahun lalu menjadi bahan perbincangan di kalangan sejumlah Jurnalis. Tetapi yang menjadi kelemahan dari pembicaraan tersebut, tak ada yang berani mengambil inisiatif. Tak ada yang berani mengambil resiko atau “risk taker”.
Setiap kali ada wartawan atau pekerja pers yang keluar atau dikeluarkan dari perusahaan pers milik Hary Tanoe, rata-rata yang bersangkutan dengan segera menghubungi teman-teman di luar. Lalu bercerita.
Ada yang bercerita dengan menekankan, legah setelah terbebas dari kungkungan situasi yang tidak nyaman. Ada yang ceriah karena bisa keluar dari sebuah “lingkaran setan”.
Tapi ada pula yang menggerutu sambil menyalahkan Hary Tanoe.
Saya termasuk wartawan yang sering dikontak dan diajak untuk mendengar kemudian ditanya bagaimana melakukan penghentian atas tindakan “perusakan” tersebut.
Mungkin karena mereka tahu, saya termasuk korban awal dari Hary Tanoe sebagai pemilik RCTI, anggota grup MNC. Atau mungkin juga mereka membaca karakter saya yang "nothing to lose" atau seperti supporter Persebaya, "bondo nekat".
Namun saya berusaha menahan diri. Pertama saya tidak mau dianggap sakit hati oleh tindakan Hary Tanoe pada tahun 2005. Kedua saya sadar Hary Tanoe, sejak di zaman Presiden SBY – 2004, hingga saat ini terus berhasil menciptakan kesan sebagai investor pers yang baik dan sukses.
Dia juga seorang pengusaha yang pintar berpolitik. Jaringannya di dunia politik, melebihi apa yang saya punyai. Terakhir, dia juga sahabat Donald Trump, Presiden Amerika Serikat – yang konotasinya adalah Hary Tanoe berteman baik dengan orang paling berkuasa di dunia.
Last but not least important, dia seorang pemeluk Kristen yang bisa tampil dalam dua sosok. Kadang kala sebagai seorang pendeta, tapi bisa juga seperti Ustadz. Tergantung kebutuhan , keperluan dan misinya. Dia sosok pendukung pluralisme dan non primordial.
Pendek kata perbedaan kelebihan dia dengan saya, sangat dompleng. Apalagi kalau sudah bicara soal keyakinan dan ibadah. Mana ada saya pernah diberitakan menyumbang pembangunan gereja apalagi masjid. Beda jauh dengan Hary Tanoe.
Dengan alasan itu, mana mungkin saya bisa mengkritisi Hary Tanoe.
Sehingga kepada beberapa teman yang kelihatannya sudah tak sabar melihat prilaku Hary Tanoe saya hanya katakan :
“Mustahil kita melakukan perlawanan, mengoreksi atau apapun bentuknya terhadap Hary Tanoe. Kalian jangan lupa, boss media ini, seorang yang cerdas, penuh perhitungan dan setiap perkara yang dihadapinya, selalu dia menangkan. Dia orang yang memiliki uang yang bisa membeli apa saja”
“Ingat Mbak Tutut dan Mas Bambang Try ?”, kata saya, menunjuk dua anak penguasa Orde Baru.
Kenyataannya, tokh kedua anak bekas Presiden Soeharto tersebut yang menurut perkiraan saya, lebih dulu kaya dan punya pengaruh dibanding dengan Hary Tanoe, tokh bisa dia kalahkan.
Dua anak Jenderal Besar Soeharto, dibuat oleh Hary Tanoe tak berkutik. Tutut kalah dalam dalam sengketa kepemilikan stasiun TV, TPI sementara Bambang Try tersingkir dari kepemilikan di RCTI dan PT Bimantara Citra.
Dan perlawanannya terhadap Mbak Tutut dan Mas Bambang terjadi ketika Pak Harto masih hidup.
“Apalagi hanya saya atau kalian. Siapa lah saya, siapa pula kalian. Lebih baik kita urus diri sendiri dan biarkan media dan wartawan di Indonesia, dikuasai oleh Hary Tanoe”, ujar saya.
Menurut analisa saya rasa percaya diri Hary Tanoe sebagai orang bisnis, orang kuat dan berobsesi menjadi Presiden RI, membesar dan dimulai dari sini. Setelah dia mampu mengalahkan Mbak Tutut dan Mas Bambang Try,
Menurut saya, situasi yang menempatkan Hary Tanoe berada di atas panggung yang kokoh, seperti sebuah siklus. Nah kalau sudah siklus yang berbicara, tak satupun yang bisa mengubah siklus tersebut.
Walaupun begitu saya juga percaya akan datang kelak sebuah perubahan . Meminjam istilah di penghujung era Orde Baru : “Tiada pesta yang tanpa akhir……”
Nah sejak Selasa kemarin saya terus digugah oleh beberapa sahabat yang juga peduli dan prihatin atas “perusakan dan kerusakan” yang terjadi di Komunitas wartawan. Di antaranya Budhius Ma’ruff, seorang mantan Producer RCTI.
Apakah ini tanda siklus sedang berubah atau pesta mulai mendekati tanda akhir.
“Sejarah suratkabar SINDO harus kita luruskan. Jangan biarkan Hary Tanoe cerita sama anak buahnya bahwa tim abanglah yang tidak bisa bekerja cepat sehingga pekerjaan penerbitan SINDO itu diberikan kepada tim lain. Saya kan masih pegang hologram Seputar Indonesia yang dibuat oleh bagian artistik. Notulen rapat persiapan di bulan Januar 2005 pun masih saya simpan. Abang harus bicara",berkata Urang Awak ini penuh semangat.
Pada saat yang hampir bersamaan saya ditelpon oleh seorang karyawati yang pernah menangani bagian iklan SINDO.
“Maaf abang. Saya sayangkan, abang bisa terpancing merespon tulisan Dirut SINDO. Dia itu cuma suruhan Hary Tanoe. Dan begitulah cara HT mengadu-domba abang dengan sesama wartawan. Sadar dong abang”, kata wanita yang tidak mau disebut namanya.
Ia bersemangat sekali mengajak saya mendengar curhatannya selama bekerja di SINDO.
Sebelumnya saya sudah diberi saran oleh Tommy Suryopratomo, Drektur Utama Metro TV yang mantan Pemimpin Redaksi harian “Kompas”.
Tommy juga menyarankan agar saya tidak menyalahkan Dirut SINDO yang ‘mengecam’ saya.
“Kasihanilah dia bang. Dia berada di tingkat jauh dari abang. Dengan saya aja dia, masih berada di bawah. Dia terpaksa memperlakukan Hary Tanoe dan melihat bosnya itu seperti malaekat, sementara kita-kita ini cuma seperti tinja. Saya harap abang tidak terpancing, sehingga perpecahan di kalangan wartawan semakin meruncing”, kata Tommy lagi.
Menurut Tommy, Dirut SINDO sebagai wartawan yang masih muda, perlu dibantu dan disadarkan.
“SINDO hanya mengikuti jurnalistik HT. Setiap hari hanya jelek-jelekin lawan HT”, tambah Tommy
Yang saya tangkap dari WA-nya, Tommy berusaha meyakinkan saya agar tidak terjebak dalam perbenturan dengan Dirut SINDO.
Karena perbenturan antar wartawan itulah mungkin yang dituju oleh Hary Tanoe.
Saya pun merenung kemudian mengingat-ingat sejumlah kejadian yang bersifat merusak integritas wartawan, ketika saya dipercaya Hary Tanoe sebagai Pemimpin Redaksi RCTI, lebih dari 10 tahun laluj
Karena tutur katanya yang halus dan wajahnya yang simpatik, saya sempat larut dalam arti, saya ikuti perintah-perintahnya. Sampai pada satu titik saya bersikap : “Enough is Enough”.
Halaman ini tidak cukup mengungkapkan kejadian-kejadian itu. Tetapi saya akan membukukannya dan menerbitkan pada moment yang tepat.
Tujuannya bukan untuk melampiaskan rasa kecewa atau rasa sakit hati, Tidak !
Tapi membagikan pengalaman berharga bagaimana berhadapan dengan sosok yang berwajah simpatik tapi memiliki sikap dan kepribadian yang bertolak belakang.
Sekaligus untuk mengingatkan kepada publik bahwa profesi wartawan, termasuk salah satu pintu masuk untuk merusak persatuan dan kesatuan rakyat serta bangsa Indonesia.
Kita tidak boleh terlengah oleh kata-kata manis dan sikap baik di permukaan seseorang.
"Don't judge the book from its cover":
Kita perlu mencegah pebisnis yang tidak jelas komitmen dan rekam jejaknya di dunia pers, untuk menjadi dominator.
Sebab perusakan ini pula melahirkan media dengan opini menyesatkan dan menggiring timbulnya perang opini partisan yang tak berkesudahan.
Saya teringat pada sebuah liputan RCTI soal pemerintahan Presiden Joko Widodo. Terjadi pada awal-awal pemerintahan. Liputan yang menggambarkan tentang kegagalan Jokowi sebagai Presiden baru. Judulnya ada kata : "....Maling Kundang...."
Laporan itu antara lain menampilkan seorang Hary Tanoe bagaikan seorang presenter yang piawai dalam ekonomi.
Saat itu saya tidak terlalu mempedulikannya. Karena saya menilai liputan itu sebagai bagian dari kelanjutan permusuhan Hary Tanoe dan Surya Paloh. Saya tempatkan itu sebagai hiburan gratis pelepas lelah. Saya hanya kaget saja, sebab pendiri CNN Ted Turner, tidak pernah tampil seperti HT. Atau Ruppert Murdoch pemilik Fox, Star dan Sky TV, tak pernah muncul di layar TV miliknya seperti HT.
Hary Tanoe memang tidak mendukung Jokowi-JK dalam Pilpres 2014. Sementara Surya Paloh dengan Metro TV menjadi pendukung utama Jokowi-JK. Liputan RCTI itu seolah mengoreksi semua liputan Metro TV.
Tapi pekan ini, ingatan itu muncul dengan satu kesadaran, RCTI dan TV lainnya, dibawah kendali Hary Tanoe, sedang dimanfaatkan untuk kepentingan bisnis dan politiknya.
Saya bercuriga, opini publik tentang pemerintahan yang sah, sedang “dirusak” oleh Hary Tanoe melalui media miliknya.
Jadi tujuan saya menerbitkan buku itu sekaligus untuk mengingatkan semua kalangan yang masih peduli pada persatuan dan keutuhan bangsa – agar orang kaya seperti Hary Tanoe, jika berkelakuan "merusak" persatuan bangsa, harus ditindak.
Dia tidak pantas diberi izin, kesempatan untuk mengelolah media. Karena media tersebut akan diselewengkannya untuk tujuan dan misinya.
Media-medianya itu sudah masuk Pasar Modal sebagai milik publik, sehingga sudah saatnya Menteri Keuangan atau Otoritas Jasa Keuangan melakukan suspensi atas perdagangan saham MNC.
Jika di era SBY, Menkeu Sri Mulyani bisa menghentikan perdagangan saham Bumi Resources, mengapa kali ini dengan MNC, tidak bisa?
Kendati begitu, apapun yang saya suarakan, tetap perlu disaring. Hary Tanoe misalnya perlu ditanya, diberi kesempatan menyatakan hak jawab dan pertanggung jawabannya. Sejauh mana kebenaran citra yang terbentuk bahwa dia melakukan "perusakan".
Biarkan publik menilai.
Oleh sebab itu semuanya saya kembalikan kepada publik, termasuk para Jurnalis dan pekerja pers sekaligus pemerintah. Untuk memilih.
Apakah kita akan biarkan Hary Tanoe terus “merusak” pers Indonesia atau kita bersama-sama menghentikannya ?
Sementara kepada Hary Tanoe, saya minta untuk tidak marah, dan tak tersinggung dengan ungkapan-ungkapan saya. Jangan pula gunakan tangan orang lain menyanggah saya.
Sebagai orang besar, orang kaya, yang menduduki posisi tinggi di semua bisnis anda harus melihat sorotan ini sebagai sebuah konsekuensi logis. Ibarat pohon yang sudah semakin tinggi, terpaan angin pasti lebih banyak dan kencang.
Sampai saat ini persepsi saya bahwa HT orang baik, taat bersembahyang, tak pernah bisa saya lupakan.
Namun itu semua tidak bisa mencegah saya untuk tidak bersuara kritis tentang HT.
Bung, Pak dan Mas Bro HT, Kiranya Tuhan Memberkati Kita Berdua. Amin.
*) Derek Manangka adalah Wartawan Senior yang tingal di Jakarta.
Advertisement